Ayu

Menemukan sahabat bak menemukan semanggi berdaun empat. Susah dicari, beruntung jika dapat.

Yang Tak Terganti

 

Napasku tercekat. Pandanganku kabur ketika kurasa semakin banyak air masuk ke mulut. Kakiku bergerak heboh selagi tangan mengais-ais udara, berharap siapapun bisa menolongku saat ini. Udara terasa kian menipis dan sebelum aku sempat meraih sesuatu, semuanya menjadi terasa gelap.


Gelap yang menyiksa. Lima detik dalam gelap yang menyiksa-anehnya terganti dengan begitu cepat. Mataku terbuka spontan. Tahu-tahu saja, di depanku banyak orang bergerombol menunjuk-nunjuk sesuatu di depan mereka. Aku mendekat dalam ragu, melewati orang-orang itu dengan sedikit tak sabar. Yang kutahu selanjutnya adalah sesuatu yang sulit kupercaya; ini gila. Di depanku ada diriku dalam figur usia 10 tahunan yang menangisi muka pucat seseorang yang tergeletak di pinggir waduk.


Aku versi cilik meraung-raung memanggil nama anak itu selagi beberapa orang menarikku menjauh. Beberapa langsung menutup muka bocah malang itu dengan koran sementara jempol kakinya diikat. Ia belum tewas! Gertakku tanpa ragu. Dimas masih hidup! Raung figur kecilku dengan nahasnya.


Aku ikut menangis menyaksikan itu. Bersamaan dengan itu, pelan-pelan terasa pijatan lembut diperutku. Itulah yang menuntunku kembali ke alam sadar. Aku terbangun. Langit gading kamar kos adalah hal pertama yang terlihat. Napasku masih terengah. Tenggorokanku kering dan mataku basah.


Si-pijatan-lembut tadi bergerak ke atas dada dan kudapati ia mengeong kecil di depan mukaku. Kumisnya bergerak-gerak lucu selagi ujung lidahnya menjilat daguku. Aku tersenyum kecil. Kuangkat tubuhnya yang tak seberapa berat itu.


"Terima kasih sobat, kau membangunkanku di saat yang tepat," gumamku begitu menengok jam yang rupanya sudah menunjukkan pukul 7.50. Waktunya ngampus. Si Nobi kecil, kucing domestik oranye ini langsung beranjak menuju pintu. Seolah tak sabar melihat dunia luar. Aku jadi sedikit tersenyum karena Nobi. Kuraih kunci kos dan dengan segera kubukakan pintu untuk pangeran oranye itu.


Ia melenggang pergi dengan semangat. Hendak kututup lagi pintu namun terhenti ketika di kejauhan, terlihat sosok yang tak asing tersenyum padaku. Orang yang selalu mengingatkanku pada Dimas dan pada mimpi buruk yang kerap kualami bertahun-tahun ini. Tapi bagaimanapun jua, ia adalah teman baikku. Ah, aku merindukannya


"Mau sampai kapan kau di situ, Gus?"
Aku terkekeh padanya yang juga melontar tawa. Kubuat gerakan agar ia menghampiriku. Ia setengah berlari dengan dua ikat rambutan di masing-masing tangan. Begitu masuk, kupersilakan ia duduk. Aku juga langsung meraih ponsel untuk mengecek sesuatu.


"Nggak ngampus?" Pertanyaan dari Agus bertepatan dengan apa yang sedang kubaca. Dosen tidak datang hari ini.


"Tidak, Gus."
Baguslah, aku bisa ngobrol dengan Agus kalau begitu.


"Seriusan? Kalau mau ngampus, ngampus aja."


"Seriuslah. Begini juga, aku orangnya rajin kuliah tahu." Agus mendengus, ia membuat gerakan muntah yang seolah mencibir pernyataanku. Langsung ku tampol kepalanya dengan gulungan kertas.


"Dibilangin malah meledek. Pulang aja sana!"


"Gitu aja ngambek, Nang. Kayak cewek kau." Aku mendengus pendek sebelum berucap lagi, "Gimana kabar bapak ibu?"


"Baik. Mereka sehat tapi ..."


"Tapi?"


"Aku tidak baik. Aku kehausan, sob. Kau ada kopi atau teh gitu?"


"Belum beli. Lagian kau bilang, kau mau datang minggu depan. Makanya, aku nggak siapin apa-apa."


"Air putih pun tak ada?" Kutunjuk galon dipojok yang tinggal sedikit. "Belum isi ulang."


"Bagus."


"Gimana kalau ke angkringan saja sekalian sarapan?"


"Nanti aja, Nang." Agus menyandarkan punggungnya ke tembok selagi matanya menerawang sekeliling. Seolah ia sedang mengamati isi kamar kos. Mengenai kamar kosku, aku tak mau sombong tapi untuk kamar cowok pada umumnya-kamarku termasuk yang paling rapi.


"Sekarang kau melihara kucing?"
Aku mengikuti arah pandangan Agus. Tepat pada kandang Nobi.


"Awalnya sih tidak. Ceritanya panjang."


"Persingkat dong."


"Intinya, aku menyelamatkan Nobi yang terluka parah saat itu. Karena tak tega untuk mengembalikannya ke jalanan, kuputuskan merawat Nobi. Ini mungkin kedengaran sedikit mengada-ada tapi Nobi kucing yang pintar."


"Kucing pintar?"


"Iya. Terkadang ia bisa memahamiku atau semacamnya. Kau tahu, saat moodku buruk ... dia juga tak pernah menggangguku sekalipun kulepas dari kandang."


"Menarik juga Nobimu itu."


"Begitulah. Dia bahkan tampak berkawan baik dengan kucing hitam tetangga. Terlihat manis."


"Nang, kau terlihat seperti Dimas deh kalau gitu. Dia juga pecinta kucing." Agus menggeleng-gelengkan kepala dan melanjutkan sesi pengamatannya. Jika aku tak salah lihat, kali ini Agus menjatuhkan pandangnya pada sejumlah foto lama yang kutempel di tembok meja belajar.


"Kau masih nyimpen foto itu? Gila, udah jaman kapan?" Agus terkekeh selagi aku turut mengamati foto yang Agus maksud. Foto tiga bocah dekil dengan celana cokelat pramuka dan atasan kaos longgar yang sama dekilnya dengan muka kita. Aku tidak tahan untuk tidak tersenyum. Ada alasan klasik mengapa aku masih memajang foto lama itu; mereka tak terganti. Kedengaran klise ya? Biarlah. Nyatanya itu yang kurasakan.


Aku, Dimas, dan Agus berkawan baik sejak kecil. Sampai sekarang aku belum menemukan orang yang se-edan mereka atau... memang aku yang menjaga jarak? Entahlah. Pokoknya, masa kecil kami adalah alasan yang membuatku tersenyum tiap mengingatnya. Hampir semua, kecuali insiden di waduk sore itu. Banyak hal sederhana kami lalui bersama dan begitu berbekas di ingatanku. Seperti waktu kita nyari jangkrik, ngejar layangan, nyolong mangga, ngisengin orang gila dan masih banyak lagi.


Dan soal waduk itu ... aku tak bisa berhenti menyalahkan diri sampai sekarang. Pernah dengar kisah penyelamatan yang berhasil menolong korban tapi malah menewaskan si penyelamat? Aku dan Dimas, satu diantaranya. Akhir dari kisah itu adalah apa yang sering kumimpikan. Seperti mimpi semalam. Yang kutahu, saat itu, aku berada di titik paling rendah dalam hidupku. Aku kehilangan satu sahabat terbaikku. Sahabat yang menyelamatkan hidupku dan mengorbankan nyawanya. Jika saja saat itu Dimas yang kram, aku bahkan tak yakin kepikiran untuk menolong langsung seperti yang Dimas lakukan. Aku terlalu pengecut.
Bahkan aku masih ingat, aku cuma diam lemas di saat Agus yang gemetaran nekat berlari diatas kerikil. Telapak kakinya berdarah tapi ia tak peduli. Yang terpenting baginya saat itu adalah mencari pertolongan. Kuhela napas selagi kenangan itu terkupas sedikit demi sedikit. Aku, sangat tidak berguna bukan?


"Aku ke sini bukan mau lihat muka sepatmu. Kau tak buru-buru ganti, kulempar pake areng juga." Aku terdiam mendengar penuturan Agus, sebelum akhirnya melontar tawa ringan dan menepuk bahunya.
"Sepertinya aku memang butuh kopi, Gus."


***


Sepanjang jalan pulang, Agus tak bisa berhenti terkesan padaku. Berkali-kali diliriknya kantong plastik hitam di tanganku. Aku jadi merasa tak enak.


"Kau menghabiskan uang sebanyak itu untuk makan kucing?"


"Itu belum termasuk yang lain sih," sahutku sedikit canggung. Agus malah makin berdecak kagum.


"Makanan yang kau telan lebih murah dari makanan kucing."


"Tak apa karena itu yang kusebut dengan persahabatan, Gus."


"Gitukah?"


"Iya. Memangnya bersahabat harus melulu dengan manusia?"


"Tidak sih," sahutnya cepat, "pokoknya aku salut padamu."


Aku terkekeh sembari memasukan tangan kiriku ke kantung jaket. Pandangku yang semula fokus di bahu jalan, mendadak saja beralih ke seberang jalan dekat pot yang ditumbuhi tanaman rambat. Ada Nobi di sana. Terdengar ia mengeong serak selagi kaki depan kecilnya menekan-nekan perut kucing hitam milik tetangga. Spontan, aku bergerak cepat mendekat disusul Agus dibelakangku. Bau anyir langsung tercium tajam dan asalnya dari si kucing hitam yang tergeletak lemas.


Nobi masih mengeong serak. Ia tak lagi menekan-nekan si kucing hitam tapi ia ikut rebah di samping temannya itu. Tanganku sedikit gemetar saat mencoba menyentuh si kucing hitam.


"Sudah mati?" Agus jongkok disebelahku. Aku mengangguk. Darahnya cukup banyak. Jika dilihat lebih detail lagi, ada jejak darah dari tengah jalan hingga ke trotoar. Kemungkinan tertabrak kendaraan. Entah itu orang atau bahkan Nobi yang meminggirkan kucing malang itu kemari. Yang jelas, hatiku terluka melihat si kucing hitam ini dan juga Nobi yang tampak sedih.


"Nang, mana plastikmu?" Agus menengadahkan tangan. Aku pun menyerahkan benda yang Agus minta. Ia mulai mengurus si hitam selagi aku mengelus-elus punggung Nobi.


"Mau dikubur dimana?"


"Samping kos saja."


"Oke. Ayo." Agus berjalan mendahuluiku dengan membawa si hitam di tangannya. Segera, kugendong Nobi yang malang dan menyusul Agus. Pasti Nobi merasa sangat kehilangan. Sama halnya denganku.


Kutatap punggung Agus dari belakang. Berandai-andai Dimas berada di sini. Dia pasti menjadi orang pertama yang akan menolong si hitam. Terus terang, aku telah bertemu banyak teman baik selama ini tapi seingatku, tak ada yang lebih baik dari Agus dan Dimas. Benar kata orang, menemukan teman baik bak menemukan semanggi berdaun empat. Susah dicari, beruntung jika dapat.