Momen paling membahagiakan dalam hidup ini adalah dapat berkumpul dengan keluarga, karena kebersamaan dengan keluarga lebih berharga dibandingkan apapun.
Kenangan seperti apa yang akan selalu teringat….?
Jam menunjukan pukul 10 pagi, saat aku menaiki kereta menuju tempat yang sudah tidak asing lagi bagiku. Jantungku mulai berdebar-debar karena tak sabar ingin segera sampai. Mataku terus melihat ke luar jendela, menikmati indahnya pemandangan diluar. Suasana, hembusan angin bahkan aromanya, aku benar-benar merindukan semuanya.
Sudah lebih dari 10 tahun aku tidak pulang, aku jadi penasaran seperti apa rumahku sekarang. Saat berusia 18 tahun aku memutuskan untuk meninggalkan kampung halamanku dan belajar di Jakarta. Walaupun awalnya sangat menakutkan, tapi setelah menetap lama disana rasa takut itu pun perlahan menghilang. Tanpa disangka aku telah 10 tahun berada disana. Waktu memang berlalu dengan sangat cepat.
Setelah lebih dari 3 jam akhirnya aku sampai. Aku turun sambil menarik koperku yang berukuran agak besar, karena ini pertama kali aku pulang, aku sudah menyiapkan banyak hadiah untuk keluarga yang telah mendukungku selama ini. Di depan stasiun, ayahku sudah menungguku. Begitu beliau melihatku, dia tersenyum dan berjalan kearahku lalu memelukku erat tanpa berkata apapun. Pelukan yang sangat aku rindukan.
“kenapa kau bawa banyak sekali barang?”tanya ayahku.
Bukan kabar atau keadaanku yang ditanyakan saat pertama melihatku, melainkan barang-barang yang kubawa. Aku tersenyum dan menggeleng.
“tidak banyak, hanya beberapa hadiah yang kubeli di Jakarta untuk semua orang dirumah.”
Lagi-lagi tanpa berkata apapun, ayah membantu membawakan barang-barangku. Ayah memang tidak pernah berubah. Ayahku adalah orang yang pemalu dan sulit mengekspresikan perasaannya, tapi hanya dari raut wajah dan prilakunya aku dapat mengerti bahwa ayahku sangat senang bertemu denganku.
Kami berjalan keluar dari stasiun, menuju mobil tua yang ayah parkir tidak jauh dari pintu keluar stasiun. Begitu melihatnya aku langsung tahu, itu mobil adalah pertama yang ayah beli.
Kapan terakhir kali aku naik mobil itu? Aku masih ingat saat pertama kali ayah membelinya, aku begitu senang dan terus meminta ayah membawaku berkeliling dengan mobil setiap akhir pekan.
“awet juga yah mobilnya.”
“kelihatannya doang, tapi karena sudah tua jadi suka mogok, jadi jangan marah nanti kalo ayah suruh turun buat dorong mobil.”
“kalo gitu kenapa dibawa yah?”
Ayah hanya tertawa seperti hal itu bukanlah masalah besar.
“naik kendaraan umun aja lah, daripada mogok dijalan.”kataku mencoba membujuk ayah. Takut juga kalo dijalan beneran mogok dan harus dorong.
“udah gapapa, kemarin sudah dibawa ke bengkel sama abangmu.”
“artinya aman ni yah?”
“mungkin sih, tapi tadi ayah bawa ke sini baik-baik aja kok.”
Akhirnya dengan perasaan yang masih ragu-ragu aku terpaksa naik mobil itu. Di dalamnya sih masih kelihatan bagus, tidak terlihat seperti mobil yang sudah dipakai selama 10 tahun lebih.
Diperjalanan ayah mulai bercerita tentang berbagai kejadian yang terjadi selama aku pergi. Sesekali ayah tertawa karena ceritanya sendiri, sedangkan aku hanya bisa berdiam diri dan mendengar, karena ayahku susah sekali dihentikan jika sudah mulai bercerita.
Diam-diam aku memperhatikan ayah dari belakang, tiba-tiba bayanganku kembali ketika pertama kali aku meminta ayah mengajakku berkeliling dengan mobil ini, saat itu usiaku baru 12 tahun. Sekarang ayah sudah banyak berubah. Keriput di wajah dan tangannya sudah bertambah banyak. Jika dipikirkan itu adalah hal yang wajar karena tahun ini ayahku berumur 68 tahun, tapi menyadari ayahku yang semakin menua tiba-tiba membuatku merasa sedih. Aku berusaha untuk menahan air mata sambil berpura-pura melihat keluar jendela.
Semakin lama, aku pun mulai mengenali jalan yang sedang kami lalui. Perasaan ku mengatakan bahwa kami sudah dekat.
Benar saja tidak sampai 5 menit kami sudah sampai di rumah yang sangat aku rindukan. Aku tidak sabar bertemu dengan ibuku. Begitu semua barang dikeluarkan dari mobil, aku bergegas masuk ke dalam rumah. Dari depan pintu aku bisa mencium bau kue pie apel yang sering ibu buatkan dulu untukku.
“sepertinya ibumu sedang membuat kue pie apel kesukaanmu”kata ayah yang membuatku tersenyum senang. Aku semakin ingin segera bertemu dengan ibuku.
Aku pergi kearah dapur untuk menemui ibuku dan saat melihat ibuku disana aku memeluknya dengan erat. Rasa senang dan sedih bercampur menjadi satu dalam diriku, hanya 1 hal yang bisa ku pastikan saat ini, bahwa aku benar-benar merindukan semua ini.
~
Aku berjalan mengelilingi rumah seorang diri. Tidak banyak yang berubah dari rumah ini, selain warna cat dan beberapa perabotan yang baru, semuanya masih sama. Lagi-lagi kembali terbayang masa kecil yang kuhabiskan ditempat ini. Foto-foto yang tergantung di dinding membuatku semakin mengingat segalanya.
Aku berjalan menuju kamar yang berada di pojok lantai 2 rumah kami. Dulu itu adalah kamarku, tapi kata ibu kini itu telah menjadi kamar Daven keponakanku. Abangku dan istrinya tinggal dirumah ini bersama orangtuaku, sambil membantu menjalankan bisnis rumah makan yang dibangun ayah.
Aku membuka pintu kamar itu dan benar saja semua memang sudah berubah. Kamar ini kini terasa begitu berbeda. Aku berjalan masuk dan duduk di ranjang. Dulu aku menghambiskan hampir seluruh waktuku di kamar ini, melihatnya sudah tampak berbeda membuatku sedikit sedih.
“Ella ayo makan!”kata ibu berteriak dari bawah.
“iya, sebentar.”
Aku pun segera melupakan perasaan itu dan turun kebawah.
Di ruang makan, abangku dan istrinya sudah datang dan sedang membantu ibu meletakan makanan di meja. Aku segera menghampiri mereka untuk menyapa.
“sepertinya kau bahagia sekali bang, berat badanmu semakin bertambah.”kataku mengejek abangku yang memang terlihat lebih gemuk dari pada yang kuingat sebelumnya.
“waktu hamil Daven, dia yang rebut minta makan ini-itu. Jadi seperti itu deh badannya sekarang.”
“serius kak. Emang kak Anna gak ngidam apapun?”
“memang ada yang gitu la, bukan istrinya tapi suaminya yang ingdam. Temanku ada yang muntah-muntah waktu istrinya hamil.”
“alasan. Muntah si wajar tapi kalo udah minta makan ini-itu sih beda cerita.”
Dengan cepat kaki abangku menedangku pelan, aku tidak membalas dan hanya tertawa melihat kelakuannya. Sudah lama sekali tidak mengejek abangku yang satu ini, rasanya sangat menyenangkan. Mungkin karena ini dari dulu kami sering berkelahi.
Aku berjalan mendekati Ka Anna yang sibuk memberikan susu pada Daven.
“Daven tampan yah bu, untung mukanya ikut ka Anna.”
“hahaha, ayahmu juga bilang hal yang sama saat pertama kali liat Daven.”
Aku ikut tertawa saat melihat wajah abangku yang melihat ibu dengan ekspresi lucu, yang membuat ibu tertawa dan memeluknya.
“sudah berapa bulan ka?”
“sudah 9 bulan. Cepat sekali yah, rasanya baru kemarin beli baju-baju buat dia, sekarag beberapa bajunya udah ada yang gak muat.”
Aku tersenyum sambil bermain dengan tangan kecil Daven yang mencoba menggengam jari telunjukku. Melihat kelakuan daven membuatu dan ka Anna tertawa karena gemas.
Setelah semua masakan selesai kami semua duduk meja makan dan mulai makan. Ibu menuangkan nasi ke piringku dan mengambilkan sepotong ayam goreng yang juga diletakan dipiringku.
“ambil juga ini La, teri sama tempe goreng pedas kesukaanmu.”kata ibu lalu meletakaannya di piringku.
Suasana hangat yang membuatku merasa sangat nyaman. Terlalu lama tinggal seorang diri di Jakarta membuatku lupa bahwa aku pernah merasa semua ini. Melupakan segala perhatian, kasih sayang dan kesenangan seperti ini. Aku lupa bahwa aku punya seseorang yang selalu mengkhawatirkan ku dan selalu mendukungku diam-diam.
Pulang kerumah setelah 10 tahun membuatku menyadari banyak hal. Tidak ada tempat terbaik selain di rumah. Kasih sayang mereka membuatku melupakan berbagai kejadian buruk yang aku rasakan. Berkumpul bersama mereka di sini merupakan kebahagian terbesarku dan berbagai kejadian yang kuhabiskan bersama mereka di rumah ini akan terus menjadi kenangan yang tidak akan pernah bisa terlupakan, berapa lama pun waktu berlalu.