Apakah yang dimaksud dengan supernova? Apakah supernova yang dialami oleh bintang dapat dialami oleh manusia? Bagaimanakah cara mengatasi "supernova"? Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas, marilah bersama-sama kita simak kehidupan Anna berikut ini ^_^
Supernova nan Indah Merupakan Akhir dari Sebuah Bintang
Pagi ini ketika aku terbangun dari tempat tidur, aku berjalan menuju jendela kamarku, kemudian memandang ke luar jendela dan melihat hamparan langit yang luas yang diselimuti oleh awan hitam tebal yang merata. Padahal tadi malam, langit sangat bersih dan bertaburan bintang. Benar-benar suatu perubahan cuaca yang tak terduga. Sudah tiga hari terakhir cuaca selalu berubah-ubah. Terkadang sangat terik, namun lima menit kemudian menjadi hujan deras. Namun anehnya, entah mengapa perubahan cuaca yang terjadi hampir selalu selaras dengan perubahan suasana hatiku. Cuaca pagi ini seakan merepresentasikan suasana hatiku yang sedang pilu dan kelam. Pilu dan kelam akibat merindukan seseorang yang paling kusayangi.
Hari ini aku akan pergi ke tempat dimana aku merasa paling bahagia sekaligus sedih. Aku akan ke makam orang yang paling kusayangi, Ibuku. Setelah menyiapkan segala sesuatu, aku berangkat ke makam Ibu dengan Ayah dan Pak Tono, Supir keluargaku sejak aku bayi. Kami memakai setelan serba hitam. Selama di dalam mobil kami tidak berbicara sepatah kata pun dan juga tidak saling memandang. Sesampainya di pemakaman, aku melihat sorot mata Ayah yang sedih namun berusaha terlihat tegar. Ayah selalu seperti itu, jarang berbicara dan jarang menunjukkan emosinya, mungkin karena Ayah merupakan tentara yang dilatih agar selalu tegas dan tegar. Entahlah, aku tidak benar-benar dekat dengan Ayah. Aku hanya dekat dengan Ibu, baik secara fisik maupun batin –mungkin karena Ayah hampir selalu pergi dinas keluar kota dan jarang pulang ke rumah–.
Makam Ibu berada di bawah pohon kamboja paling rindang di pemakaman itu. Cukup mudah untuk dilihat, bahkan dari luar pagar pemakaman. Sesampainya di makam Ibu, aku tidak mampu menahan air mata untuk tidak keluar dari pelupuk mataku. “Ibu, Anna datang. Ibu maafkan Anna karena setelah setahun kematian Ibu Anna baru sempat datang ke sini. Maafkan Anna Ibu.” batinku sembari mengusap batu nisan bertuliskan nama Ibu. Ayah merengkuh tanganku tanpa melihatku, seakan Ayah berusaha untuk memberiku kekuatan. Aku menatap Ayah dan mengangguk. Aku segera mengusap air mataku. Aku harus kuat! Aku tidak boleh cengeng! Aku menguatkan hati dan pikiranku dan segera membantu Ayah dan Pak Tono membersihkan makam Ibu.
Setelah makam Ibu bersih, Ayah berkata dengan suara yang parau, “Anna, marilah kita berdoa.” Aku hanya mengangguk. Setelah selesai berdoa Ayah berkata tanpa melihat mataku, “Anna, Ayah harus kembali ke kantor sekarang. Kamu pulang dengan Pak Tono ya, Ayah akan naik taksi saja.” “Iya Ayah.” Jawabku sembari menatap makam Ibu. Itu adalah kali pertama aku berbicara dengan Ayah setelah Ibu meninggal. Bukannya tidak sopan, aku hanya tidak tahu cara berkomunikasi dengan Ayah. Bagitu pula dengan Ayah. Bahkan semasa Ibu masih hidup, hubunganku dan Ayah terlalu canggung. Kami jarang bertemu, terlebih untuk berinteraksi.
Setelah Ayah pergi, Pak Tono memberiku sebuah kotak kayu berlapiskan kain batik berwarna biru dengan motif mega mendung tanpa berkata sepatah katapun. “Ini apa Pak?” tanyaku penasaran. Pak Tono tersenyum dan memberikan tatapan simpati seraya menjawab, ”Kotak itu adalah amanat dari Ibu untuk Non Anna, Ibu menitipkannya ke saya sewaktu Ibu sakit. Kata Ibu, saya harus menyerahkannya ke Nona saat peringatan satu tahun kepergian Ibu. ” Setelah mendengar penjelasan Pak Tono, hatiku perih seakan ada ribuan jarum yang menusuknya, bibirku terkatup rapat dan bergetar hebat, mataku terasa panas dan tak lama ada air yang mengalir di pipiku, hidungku terasa panas dan berair. Aku menangis kencang.
Ibuuu..... Ibuuu..............................
Aku merasa sangat emosional saat menggenggam kotak itu. Aku ingin membukanya, namun aku merasa tak sanggup. Selama beberapa saat yang tidak aku sadari, aku hanya menangis seraya menatap makam Ibu dan mengusap lembut kotak itu. Hingga seseorang datang dan mengangkat tubuhku dari tanah. “Kamu ini bukan anak kecil lagi! Kok hujan-hujanan sih? Lihat bajumu! Kotor kan?” omelnya panjang lebar dengan suara lantang. Aku hanya menatap kosong dan tidak tahu siapa yang aku tatap. Dia mengguncangkan tubuhku dengan keras dan berkata dengan lebih lembut,”Sadarkan dirimu Anna! Tante akan sedih jika beliau melihatmu seperti ayam yang baru dipotong. Sadarlah!”
Ketika Ibu disebut, sontak aku langsung sadar dan fokus. Aku melihat sesosok pria muda yang familier, memakai kaus putih yang dilapisi jaket hitam dan celana dasar berwarna hitam. Lalu dia berkata dengan nada yang jahil,”Aku pinjamkan pundak dan dadaku khusus untuk hari ini. Lain kali kau harus bayar.” Lalu dia memelukku seraya memayungiku. Aku merasakan kehangatan di tubuhku yang mulai menggigil, di saat itulah aku benar-benar sadar bahwa aku telah basah kuyup. “Dean, terimakasih telah mebuatku merasa lebih baik.” ucapku setelah merasa cukup tenang. “Kembali kasih. Ini sudah tugasku sebagai sahabat terbaik yang pernah kau miliki. Haha!” jawabnya sambil tertawa. Ucapannya membuatku bisa tersenyum simpul.
“Sebaiknya kita pulang sekarang, sebelum hujan kembali deras.” ajaknya. “Baiklah, aku akan berpamitan kepada Ibu terlebih dahulu.” jawabku. “Aku juga akan berpamitan kepada Tante.” kata Dean. Kami menunduk. Kemudian Dean berkata dan melihatku dengan tatapan tegas,”Biarkan aku yang berbicara, karena kau pasti akan menangis lagi”. Aku pun mengangguk. Dean lalu melanjutkannya, “Tante, kami akan pulang dulu hari ini, lain kali kami akan datang. Sebenarnya aku bisa datang kapan saja. Namun, yang jadi masalah adalah jadwal Anna yang super sIbuk. Anna sekarang sudah mandiri dan sudah tidak ceroboh lagi, Tante tidak perlu khawatir lagi. Selain itu, Aku akan selalu menjaga Anna. Aku harap Tante percaya padaku. Dan aku ingin mengucapkan terima kasih untuk setiap hal yang tante lakukan untukku dan Anna, dan aku mohon maaf atas segala kesalahan yang aku dan Anna lakukan selama ini. Kami menyayangi Tante. Semoga tante selalu diberi kedamaian. Aamiin.”
Aku benar-benar bersyukur Dean ada di sampingku dan mampu mengucapkan semua yang selama ini ingin kukatakan kepada Ibu. Dean melingkarkan tangannya di bahuku. Lalu kami bangkit dan berjalan keluar dari pemakaman. Pak Tono sudah menunggu kami dengan raut wajah yang gelisah. Setelah kami mendekat, Pak Tono membukakan pintu untuk kami. Kemudian kami menuju rumah.
Sesampainya di rumah, kami disuguhkan teh manis hangat oleh Pak Tono –keluargaku tidak pernah memiliki asisten rumah tangga, karena Ibu selalu ingin merawat dan mengurus keluarga kecil kami secara utuh–. Tidak lama kemudian, Dean pamit untuk mandi di rumahnya –yang terletak di samping rumahku–. Aku juga mandi dengan air hangat dengan nyaman. Setelah selesai mandi aku memutuskan untuk membuka kotak peninggalan Ibu. Di dalam kotak itu terdapat sepucuk surat dan sebuah kalung dengan liontin bintang. Aku membaca surat itu sambil bersandar di salah satu pilar di rumah.
Surat itu bertuliskan,”Untuk Anna anak Ibu yang paling Ibu sayangi. Saat kamu membaca surat ini, mungkin Ibu telah lama pergi dari dunia ini. Maafkan Ibu karena tidak bisa selalu ada di sisimu. Maafkan Ibu yang tidak dapat mendukung dan melindungi cita-citamu lagi. Anna, Ibu berdoa agar Tuhan selalu memberikan kemudahan kepadamu dalam menggapai cita-citamu untuk menjadi seorang model profesional. Ibu bangga Nak melihatmu di majalah dan melihat pertunjukanmu. Namun satu pesan Ibu, jangan pernah sekalipun kamu menjadi orang yang tidak mempunyai hati nurani. Karena orang yang tidak mempunyai hati nurani sama seperti bintang yang kehilangan intinya dan kemudian mengalami supernova. Supernova memang indah, karena bintang akan bersinar 100 kali lebih terang dari kecerahan awalnya, namun ingatlah bahwa ketika bintang tersebut telah bersinar dengan sangat terang, bintang itu akan meledak dan mati. Orang yang tidak mempunyai hati nurani mungkin akan hidup dengan kilauan indah yang menakjubkan, namun dia pasti tidak akan bahagia dan perlahan mempertanyakan arti dari kehidupannya. Seperti orang yang hidup namun mati. Ibu tidak mau anak Ibu satu-satunya menjadi seperti itu. Ibu ingin Anna selalu bahagia. Dan salah satu cara agar Anna dapat memberikan kehidupan untuk hati nurani adalah dengan bersikap lebih jujur, baik kepada sendiri maupun orang disekitarmu. Ibu harap kamu dapat lebih berani untuk berbicara kepada Ayah mengenai cita-citamu. Namun ingat, kamu harus berbicara dengan sopan ya. Walaupun Ayah cukup keras, namun Ibu yakin Ayah pasti akan memahami Anna secara perlahan. Semangat Annaku! Ibu selalu mencintaimu.”
Jadi, selama ini Ibu tahu bahwa aku ingin menjadi model profesional dan sedang berjuang untuk mencapainya. Padahal aku tidak pernah sekalipun mengatakannya kepada Ibu. Jadi bagaimana mungkin Ibu bisa tahu? Aku..... Aku benar-benar merasa bodoh berusaha untuk menutupinya dari Ibu.
Tubuhku lemas. Kakiku mendadak tidak bertenaga. Aku tersungkur jatuh ke lantai, lalu duduk bersimpuh. Tak terasa air mata yang sudah mengering kembali membanjiri pipiku dalam diam. Aku merasakan perih di dalam hatiku. Seakan ada banyak hal yang mengganjal di dalam hatiku. Hatiku seakan berbicara bahwa aku telah melakukan segala hal yang tidak patut dilakukan untuk mencapai cita-citaku. Hal-hal yang membuatku kehilangan orang-orang yang kusayangi, termasuk Ibu. Sekonyong-konyong kenangan masa lalu menghantamku secara bertubi-tubi.
17 bulan yang lalu
Suatu malam di bulan Juni Ibu bertanya dengan sorot mata yang khawatir,”Apa yang sedang kamu kerjakan selarut ini Na? Mengapa kamu tidak beristirahat?” Aku selalu menjawab pertanyaan Ibu dengan senyum simpul. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku sedang berusaha mengejar impianku yang tidak disetujui oleh Ayahku. Impianku menjadi seorang model profesional.
Beberapa hari kemudian, saat aku sedang latihan berjalan dan berpose, tanpa kusadari pintu kamarku sedikit terbuka, padahal aku yakin telah menutupnya rapat-rapat. Aku menjadi resah dan tidak dapat tidur, aku takut Ibu melihatku latihan namun aku juga tidak berani untuk berbicara dengan Ibu dan menanyakannya. Keesokan harinya Ibu tidak membicarakannya. Ibu bersikap seperti biasanya, seakan tidak melihat ada hal aneh yang terjadi semalam. Aku semakin kalut. Akhirnya setelah mengumpulkan segenap keberanian yang kumiliki, aku mengajak Ibu berbicara pada sore harinya, saat Ayah belum pulang ke rumah. “Ibu, apakah Ibu melihat apa yang kulakukan semalam?” tanyaku pada Ibu. Ibu memandangku dengan sorot mata bingung cukup lama lalu tersenyum dan bertanya,”Melihat apa? Ibu bahkan tidak ke kamarmu semalam.” Aku tetap tidak percaya, namun aku tidak mampu bertanya lebih lanjut dan memutuskan untuk mempercayai ucapan Ibu.
Beberapa minggu kemudian aku mendapat tawaran untuk menjadi model di sebuah acara pergelaran busana yang diadakan oleh sebuah brand baru di pusat kota. Aku membohongi keluargaku dengan mengatakan bahwa aku harus melakukan studi lapangan ke pusat kota. Dan aku membohongi guru dan teman-temanku dengan mengatakan bahwa aku harus mengunjungi pamanku yang sedang ditimpa musibah. Ibu, Ayah, dan pihak sekolah tertipu dan mengizinkanku untuk pergi. Akhirnya aku dapat pergi. Berkali-kali aku pergi dengan cara membohongi semua orang. Sampai-sampai lidahku yang awalnya kaku menjadi terbiasa dengan kebohongan, seakan-akan semua kebohongan yang kukatakan merupakan kejujuran.
Pada akhir bulan September, aku resmi menjadi mahasiswa di sebuah universitas di Bandung. Aku tinggal sendiri dan jauh dari keluarga, walaupun demikian kami selalu berkomunikasi. Pada bulan November, Ibu semakin intens mengirimiku pesan teks dan menanyakan kapan aku akan pulang ke rumah, namun aku tidak pernah memberi jawaban pasti. Hingga akhirnya aku menerima panggilan telepon dari rumah sakit saat aku berada di Jakarta. Aku mendapat kabar bahwa darah tinggi ibu kambuh sehingga pembuluh darah di kepala Ibu pecah dan Ibu berada dalam kondisi kritis. Aku menyelesaikan pemotretanku secepat mungkin, dan segera menuju rumah sakit. Akhirnya aku sampai 8 jam kemudian setelah menempuh perjalanan darat dan laut. Namun ketika aku sampai di kamar Ibu, Ibu sudah meninggal. Hati dan pikiranku terasa kosong. Duniaku hancur dalam sekejap. Ini semua salahku. Seandainya aku pulang sekali saja. Seandainya aku dapat merawat Ibu, mungkin hal ini tidak akan terjadi.
Aku tidak ingin mengalami supernova, aku harus jujur dan mengatakan semuanya kepada Ayah. Malam harinya –setelah meneguhkan hatiku– aku segera mengajak Ayah berbicara. Aku menceritakan semua hal yang telah kulakukan tanpa sepengetahuan Ayah. Aku menceritakan awal mulanya aku tertarik untuk menjadi seorang model, waktu dan tempatku berlatih, waktu aku pergi keluar kota untuk berbagai festival dan membohongi semua orang. Selama berbicara aku terus-menerus meminta maaf sembari menangis. Ayah juga menangis. Lalu Ayah berkata dengan lemah, “Ini bukan salahmu, ini salah Ayah. Seandainya saja Ayah tidak melarangmu, mungkin Ibu tidak akan banyak pikiran dan pembuluh darah di kepalanya tidak akan pecah. Seandainya saja Ayah sedikit mengalah. Seandainya saja Ayah tidak terlalu sibuk, mungkin Ayah dapat merawat Ibumu. Mungkin kita masih bersama dan bahagia saat ini. Maafkan Ayah, Anna.” Aku terkejut, tak kusangka Ayah yang selalu bersikap dingin dapat menjadi sosok yang hangat. Aku menggenggam tangan Ayah dan kami menangis semalaman.
Walaupun tidak mudah, aku merasa lega karena telah berkata jujur. Dan aku merasa bersyukur karena masih memiliki Ayah yang menyayangiku. Kini perasaanku menjadi lebih hangat. Terima kasih Ibu atas segalanya, Anna berjanji tidak akan menjadi bintang yang mengalami supernova lagi.