CalseRatna

Hidup ini berbicara tentang bertahan dan berjuang

            “Rara sayang,” panggilan lembut Bunda membuat gerakan tanganku yang sedang sibuk menghapus air mata terhenti.

“Ya?” jawabku lirih.

“Sebenarnya, ada banyak sekali hal yang ingin Bunda jelaskan padamu mengenai kehidupan.” Aku balas menatap mata Bunda yang tengah menatapku sendu dengan nanar, tanpa sadar tangisku kembali pecah. Entah mengapa ucapan Bunda membuatku berpikir bahwa waktunya tidaklah lama lagi. Bunda benar-benar tidak bisa kembali sehat seperti dulu.

“Mendekatlah”-Bunda menepuk sisi kosong di tempat tidurnya, sehingga aku menurut dan duduk di sana, kemudian Bunda memeluk tubuhku lembut-“Rara, hidup ini bukan hanya tentang bagaimana perasaanmu  saat menjalaninya sayang. Saat kamu remaja atau menjelang dewasa nanti, ingatlah pesan Bunda, hidup juga tentang bertahan dan berjuang.” Setelah itu, sebuah kotak di samping tempat tidur Bunda berbunyi nyaring. Banyak orang berlari kedalam, menarikku paksa dari tubuh Bunda, sementara tubuh Bunda telah lemas dan tidak bergerak sama sekali. Seolah ada sesuatu yang telah pergi dari tubuhnya dan saat sesuatu itu pergi dari tubuhnya, saat itu pula adalah hari dimana awal kehidupanku aku lalui tanpa adanya sosok Bunda yang sangat aku cintai.

***

 “Hei, kabar kalian gimana? Aku rindu, baru saja aku tiba di kamar kost,” bisikku sambil menata beberapa pakaian dari dalam koper menuju almari.

“Baik,” jawab sahabat-sahabatku secara kompak dengan nada yang datar. Aku menurunkan ponselku dari telinga dengan bingung, lalu mengamati setiap detailnya dengan teliti. Ponselku masih nampak normal, seperti biasanya. Mungkin saja hanya perasaanku, tidak biasanya tanggapan sahabat-sahabatku secuek ini. Mungkin saja mereka sedang ada masalah sehingga mereka terbawa suasana. Aku tersenyum kecil dan kembali menempelkan ponsel ke telingaku.

“Ya sudah kalau gitu, good night yaaa.” Aku memutuskan untuk menghentikan percakapan, kemudian kembali terfokus pada almari pakaianku. Baru saja aku meletakkan ponselku ke lantai, sekarang ponselku dengan riuhnya bergetar. Kutatap layar dan ternyata nomor Ayah yang telah menghubungiku. Buru-buru aku menerima telepon dengan penasaran, tidak biasanya Ayah meneleponku malam-malam begini.

“Rara,” panggil Ayah dengan suaranya yang serak, seolah keadaannya sedang tidak baik-baik saja. Padahal baru saja dua jam yang lalu kami berpisah.

“Ya?” tanyaku kawatir.

“Kamu sedang dimana?” tanya Ayah. Pertanyaan pembukaan yang basa-basi.

“Di Kost, Yah.” Hening beberapa lama, lalu tiba-tiba saja aku mendengar Ayah menangis di ujung telepon, membuat perasaanku menjadi gusar. Aku mengigit bibir bawahku cemas. Sepenuh hati aku ingin segera kerumah, memastikan kondisi Ayah saat ini. Apakah Ayah baik-baik saja?

“Maafkan Ayah, Ra,” aku mendengar Ayah menghelakan nafasnya pelan, sebelum ia melanjutkan “Ayah ditipu teman Ayah, sekarang usaha Ayah bangkrut, kamu masih ada uang tabungan?” aku tercenung lama, kembali aku menurunkan ponsel dari telingaku dan menatap ponsel itu dengan nanar. Apa ponselku sudah mulai rusak? Kenapa hal-hal aneh dan tidak masuk akal selalu terdengar dari lubang speaker-nya?

“Ra?” aku mendengar suara Ayah dari speaker ponsel dengan nanar. Aku harus menanggapi ucapan Ayah dengan kata-kata macam apa? Aku melirik celengan berbentuk beruang madu di dalam almariku dengan hening. Bukannya aku pelit atau semacamnya, tapi tabungan ini adalah pemberian Bunda, kalau tidak terpaksa, enggan rasanya bagiku untuk memecahkan tabungan dari tanah liat ini. Kembali aku menempelkan ponsel pada telingaku.

“Ada yah,” jawabku agak linglung, sambil meraih celengan tanah liat, kemudian memeluknya dengan tangan kiriku.

“Syukurlah, Ayah janji akan segera mencari uang secepatnya.” lalu telepon terputus, meninggalkanku terhadap kesedihan dan kesepian yang bahkan tidak bisa aku jelaskan menggunakan kata-kata. “Bagaimana nasib kuliahku?” Pertanyaan itu tiba-tiba saja muncul di dalam hatiku saat aku mempertanyakan alasan mengapa perasaanku menjadi terasa begitu hampa.

***

Ada yang mau aku bicarain sama kamu,” Aku menghelakan nafasku dengan getir, sementara air mata mulai berjatuhan dari pipiku. Aku mengigit bibir bawahku keras-keras, berusaha memfokuskan rasa sakitku disana, tetapi yang ada bibirku berdarah dan rasa sakit di balik dadaku semakin nyata.

Aku benci sama KAMU!!danPLAK!” aku menghelakan nafasku sekali lagi, berusaha menyetabilkan nafasku. Bagaimana bisa aku bertingkah seolah hari ini adalah hari normalku seperti yang sudah-sudah, sementara beberapa jam yang lalu, sahabat terbaikku menampar pipiku dan mencemoohku di depan umum? Sahabatku sendiri, membenciku, karena pacarnya berkata bahwa ia mendekati sahabatku lantaran ingin berkenalan lebih jauh denganku. Jelas sekali bahwa pacarnyalah yang salah, tetapi kenapa sahabatku membenciku? Seolah-olah aku adalah perempuan penggoda yang merebut pacarnya. Kemudian, seperti virus, fitnah menyebar, membuat sahabat-sahabatku yang lainnya mulai menjauhiku, menatapku dengan sinis. Saat bertemu mereka aku tidak bisa berhenti membayangkan, apa yang sedang mereka pendam di balik tatapan mereka yang sinis itu.

Seolah belum cukup, ponselku bergetar lagi. Sama seperti kemarin, Ayah meneleponku. Kali ini keadaannya semakin kacau. Ia berkata bahwa ia berusaha mencarikan hutang untukku. Aku terlalu lelah menggapi ucapannya sampai aku ingin sekali berlari ke lantai teratas gedung kostku, kemudian melompat kebawah.

Saat gagasan itu terbayang dalam benakku, tiba-tiba saja tangisku terhenti. Aku menatap langit malam dengan kosong, rasa lapar yang sedari tadi aku rasakan mulai tidak terasa, karena kepalaku sedang meyakinkan diriku sendiri untuk melakukan hal gila itu. Ya, melompat dari lantai teratas gedung kost. Bukannya dengan begini semua masalahku akan lenyap?

Lalu, air  mata mulai menetes kembali saat aku disergap rasa bersalah dan rindu yang sangat besar kepada Bunda. Perasaan rindu ini semakin menambah beban di benakku dan semakin menyakitiku. Sehingga semakin bulat niatku untuk melakukannya. Perlahan-lahan aku berjalan kedalam almari, mengambil sebuah jaket wol kesayangan Bunda. Berniat membawanya pergi bersamaku, lalu aku berjalan keluar kamar. Baru sampai di depan pintu, sebuah benda terjatuh dari dalam lipatan jaket.

            Aku meraih benda yang ternyata adalah sebuah amplop itu, kemudian membukanya dan membacanya.

Dear masa depanku, aku menuliskan surat ini kepadamu, agar kamu menyadari bahwa hidup tidak selamanya berbicara mengenai kebahagiaan dan keindahan saja. Selayaknya roda, kehidupan kita pun akan terus berputar. Tidak ada yang dapat menjamin bahwa kita akan terus berbahagia sampai akhir hayat nanti. Akan ada masa dimana kamu merasa begitu putus asa, merasa begitu kesulitan bahkan sampai ingin menyerah. Percayalah, aku juga pernah mengalami semuanya dan memilih untuk terus berjuang meskipun rasanya sangat mustahil.

Satu paragraf pertama surat itu membuatku mengerutkan dahi dalam-dalam lantaran kebingungan. Bagaimana bisa ada sebuah surat dari masa laluku sendiri dari dalam jaket wol Bunda? Kapan aku menulisnya? Lagipula, bagaimana bisa tulisan jelek zaman SD-ku menulis kalimat “berat” seperti ini? Dengan dipenuhi rasa penasaran yang begitu kuat, aku kembali membaca surat itu.

Aku sengaja menulis surat ini untukmu karena aku merasa bahwa akan ada masa dimana aku putus asa kembali, sampai aku ingin menyerah menjalaninya, lalu kembali terbesit dalam pikiranku untuk bunuh diri. Percaya atau tidak masa depanku, aku sangat bersyukur karena saat ini kamu tengah membaca suratku. Itu berarti, harapan yang selama ini kuucapkan di dalam doaku, semua yang rasanya mustahil untuk aku lalui, pada akhirnya berhasil aku lewati. Ternyata harapan dan tekadku tidak pernah menghianatiku.

“Aku bangga padamu karena kamu telah mampu berdiri tegak setelah melalui hal-hal terberat di dalam hidupku. Jika kembali roda berputar kebawah, tengoklah kebelakang, lihatlah kembali aku dengan segala kerapuhan dan keputusaanku, lihatlah dirimu yang masih bodoh dan lemah, kemudian tulislah kembali, sebuah surat untuk masa depanmu.”

Begitu selesai membaca, tubuhku seketika mulai lemas, sementara tangisanku mengeras. Aku memeluk jaket Bunda erat-erat, seolah-olah jaket itu adalah tubuh Bunda yang sangat aku rindukan. Ternyata, Bunda tidak benar-benar meninggalkanku, sampai akhir hayatnya Bunda masih memikirkan masa depanku, dalam bentuk sebuah surat masa lalu ini.

Tangisku terus mengalir karena merasa begitu berdosa pada Bunda, sementara memoriku penuh akan masa laluku, dengan Bunda dan sebuah surat. Saat itu, tepat satu hari menjelang kepergian Bunda. Bunda menyuruhku menulis semua kata-katanya dalam sebuah kertas dan memasukkannya kedalam amplop. Saat aku tanya untuk siapa surat itu, Bunda malah menyuruhku untuk menyimpannya saja sampai Bunda sembuh. Nyatanya, Bunda tidak pernah sembuh dan surat itu mulai terlupakan olehku. Masa-masa awal kehilangan Bunda adalah masa terberat dalam hidupku dan sekarang aku tahu masa tersulit apa yang di maksud dalam surat itu. Masa tersulit itu adalah masa-masa kehidupanku setelah kehilangan sosok Bunda.

Rara, hidup ini bukan hanya tentang perasaanmu  saat menjalaninya sayang. Saat kamu remaja atau menjelang dewasa nanti, ingatlah pesan Bunda, hidup juga tentang bertahan dan berjuang.” Ucapan Bunda terngiang di dalam benakku, sementara kembali aku membaca suratnya. Ucapan Bunda benar, hidup ini bukan tentang apa yang aku rasakan saat ini. Bukan tentang betapa sakitnya hatiku pada sahabat-sahabatku, betapa rindunya aku pada Bunda, atau betapa kecewanya aku pada Ayah, tetapi tentang bagaimana aku terus bertahan dan berjuang mempertahankan momen-momen bahagiaku yang masih bisa aku miliki.

Buru-buru aku mengambil pensil dari dalam kotak pensil, mengambil selembar kertas, kemudian mulai menulis.

***

Beberapa tahun kemudian,

Aku tertawa lebar, membalas sapaan basa-basi dari teman kantor yang kabarnya, memiliki sebuah perasaan padaku. Aku berjalan ke arah meja kerjaku dan aku terlonjak kaget lantaran melihat teman kantorku menangis tersedu-sedunya. Banyak tissue bertebaran di mejanya, bahkan sampai di lantai dan beberapa memasuki area mejaku. Aku menatapnya iba.

“Ada apa?” tanyaku kawatir. Ia menatapku lekat, berhenti mengisak sesaat, kemudian kembali mengisak dengan keras. Buru-buru aku berjalan ke arahnya dan memeluk tubuhnya yang bergetar karena tengah menangis.

“Rommie, tunanganku, dia memutuskanku, dia bilang aku sangat membosankan!!!” tangisnya semakin menjadi. Aku menepuk-nepuk pelan punggung temanku, lalu terus memeluknya sampai tangisannya terhenti. Begitu tangisannya terhenti, ia berbisik padaku, “Aku ingin mati saja,” aku melotot ke arahnya, seolah perkataannya adalah hal yang terbodoh. Kemudian aku meraih dua amplop dari dalam tumpukkan meja kerjaku, lalu menyerahkannya padanya.

“Bacalah,” saranku, ia menatapku heran.

“Apa ini?” tanyanya.

“Anggap amplop yang mulai ke kuningan adalah surat dari masa lalumu, lalu amplop yang satunya adalah surat dari masa depanmu,” jelasku.

“Oke, dari mana aku harus membacanya?”

“Terserah,” jawabku singkat. Temanku menatapku ragu, kemudian ia membuka amplop yang belum berubah warnanya dengan pelan. Setelah membukanya ia membaca isinya dengan berbisik pelan.

“Kepada masa laluku, terimakasih karena kamu tidak pernah menyerah dan terus bertahan. Kamu benar, hidup adalah tentang berjuang dan bertahan. Karena segala perjuangan dan pertahananmu, akhirnya aku berada di sini, tempat yang sungguh luar biasa, tempat yang sangat kamu impikan. Perjuangan dan tekadmu lah yang membuatku bahagia sekarang. Aku mencintaimu masa laluku.” Temanku menatapku dengan matanya yang berkaca-kaca dan kebingungan, kemudian ia membuka satu amplop lainnya, lalu menangis tersedu setelah membaca isinyanya. Sayup-sayup aku mendengar ia meruntuki diri sendiri menyadari betapa bodoh pilihannya untuk mengakhiri hidup.

“Siapa yang menulis surat-surat ini?” tanyanya padaku. Aku tersenyum kecil mendengar pertanyaannya, kemudian bergumam pelan.

“Orang yang menulisnya, adalah orang yang telah membuktikan, bahwa isi surat dari masa lalunya memang benar.”