" Persahabatan itu indah. Seindah seni yang menyatukan perbedaan ."
Sayup-sayup terdengar suara jangkrik memecah keheningan malam. Sesekali suara burung malam menusuk gendang telingaku. Langit dipenuhi taburan bintang-bintang yang sedang melihatku mondar-mandir di kamar. Udara terasa pengap menyesakkan. Penuh. Perasaanku pun tak kalah pengapnya. “ Apa ya kira-kira hasilnya ?” tanyaku dalam hati.
***
Bel sedang menjerit tanda pelajaran akan segera dimulai. Jam tanganku sudah menunjukkan pukul 07.15 WIB. Udara pagi juga masih sama seperti tadi malam. Pengap. Kulihat seorang pria perlahan memasuki kelas kami. Kepalanya yang bundar dan telah berhenti memproduksi rambut terasa tidak asing bagiku. “ Permisi anak-anak, bapak mau memanggil Bobi. Bobi, ayo ikut bapak!” perintah Pak Ilham, kepala sekolah kami.
“ Kamu bermasalah ya ?” tanya Acep dan Rina, kedua sahabatku. Tubuhku terasa berat. Kesalahan apa yang telah kulakukan ? Terlambat ? Kasus Bully ? Belum bayar uang sekolah ? Semua pertanyaan itu terus mengusik pikiranku.
Ikuti saja alur hidup ini. kuikuti Pak Ilham menuju ke sebuah ruangan bertuliskan “ Ruang Kepala Sekolah “ . Setelah sampai , Pak Ilham mempersilahkan aku untuk duduk. Sebelum Pak Ilham membuka suara, aku segera memburunya dengan pertanyaan, “ Ada apa Bapak memanggil saya ?”
Pak Ilham tersenyum dan perlahan ia mulai berkata, “ Selamat ya Bobi...minggu depan kamu akan berangkat ke Jakarta sebagai perwakilan provinsi Sumatera Utara dalam acara Forum Remaja Pewaris Budaya Indonesia ( FRPBI ). Semoga kamu dapat menunjukkan banyaknya budaya dari Sumatera Utara. Sekali lagi selamat ya nak “. Dan pengap udara tadi malam sirna berganti udara pantai sore yang segar, jingga, dan hangat. Perasaanku meletup-letup. “ Terima kasih, Pak. Saya akan melakukan yang terbaik,” jawabku penuh percaya diri.
Hari berganti hari menjadi minggu. Tibalah saatnya berangkat ke Jakarta.
Sesekali kulirik wajah perempuan yang kupanggil Mama itu. Dapat kurasakan sudah banyaknya air mata yang tertampung di kantong matanya. Namun, air itu ditahan oleh sebuah tembok. Tembok yang sengaja dibangun untuk melatih anaknya menjadi madiri. Kukatakan pada Mama bahwa ia sangat cantik hari ini. Ia tersenyum. Aku bahagia. “ Sudah lengkap semua Bang ? Tidak ada yang ketinggalan ?”, suara Papa memecah ekspresi khawatir Mama. “ Sudah Pa”, jawabku. Pak Ilham, Acep, dan Rina ikut mengantar. “ Aku siap Ma,Pa”, meyakinkan Papa dan Mama bahwa aku akan baik-baik saja di Jakarta.
Dua jam kemudian aku tiba di Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Kedatanganku disambut oleh ukiran dinding yang unik, bunga taman, dan udara AC yang dingin. Setelah melihat – lihat, mataku kemudian menangkap sebuah tulisan “ Peserta Forum Remaja Pewaris Budaya Indonesia ( FRPBI ) tahun 2017 “. Tulisan itu dipegang oleh seorang pria. Aku segera menuju ke arahnya.
“ Bang, FRPBI ?” tanyaku.
“ Iya Dek. Adek dari Sumatera Utara ?”
“ Iya bang.”
“ Adek tunggu di sini dulu ya. Kita tunggu beberapa peserta yang lain.”, pintanya. Kulihat sekilas dari name tag nya tertera nama Roni Sinuhaji.
Tak lama kemudian seorang anak laki-laki yang menggunakan kemeja merah darah dengan jeans hitam ketat menghampiri Bang Roni dan berkata , “ FRPBI ? saya Ridho Bang.” Bang Roni tersenyum dan mereka berbincang-bincang. Ia juga menyuruh Ridho untuk berkenalan denganku.
Musik nusantara mengalun di bandara. Seperti yang sudah dibayangkan. Akhirnya satu persatu peserta FRPBI sudah berkumpul di Bandara Soekarno-Hatta. “Kepada seluruh peserta acara FRPBI segera masuk kedalam bus yang sudah disiapkan. Ikuti saya ! Jangan terpisah dari rombongan ! Ketika nanti di dalam bus, kalian harus duduk sesuai dengan nama yang tertera pada bangku masing-masing. Apa kalian mengerti ?” kami semua mengangguk.
Kulihat namaku tertera di bus kedua. Dan ternyata Ridho duduk disampingku. “ Wah , kita jumpa lagi,” ucapku. “ Iya...,” jawabnya. Kami mulai menjalin pertemanan yang tadi sempat kami mulai tapi tak sempat disiapkan. Kami berdua semakin akrab.
Perjalanan satu jam ini sungguh tak terasa bagiku. Canda dan tawa mengisi penuh waktuku. Bus mengantarkan kami ke hotel. Hotel Cantika namanya. Ketika di Lobi, Bang Roni memberikan pengumuman bahwa hari ini kami bisa istirahat di kamar masing-masing dan tinggal menunggu pengumuman selanjutnya dari panitia. Tak lama kemudian aku mendapati namaku di kamar nomor 101. Dan ajaibnya, aku sekamar dengan Ridho. “ Eh, kita sekamar rupanya,” ucap Ridho. “ Kok bisa sama lagi ya ? “ tanyaku. “ Ajaib !” ucap kami serentak.
Hari pertama
Tidak ada yang spesial di hari ini. Tapi, aku banyak berkenalan dengan kawan-kawan dari provinsi lain. Ada Cut dari provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Belia dari DKI Jakarta, Budi dari Jawa Barat, dan tak lupa juga Ridho dari Jawa Timur. Bahkan kami menamai pertemanan kecil ini dengan “ Smart Teens “. Agak berlebihan memang, tapi kami senang melakukannya. Kami merasa bahwa kami adalah remaja-remaja yang akan mencerdaskan kehidupan bangsa. Aku optimis dan bersemangat dengan kata-kata terbaik itu. Berasal dari provinsi yang berbeda tidak membuat kami berlama-lama untuk mengulur tali pertemanan. Kami semakin akrab.
Hari kedua
Hari ini , kami diperintahkan untuk menceritakan sebuah cerita rakyat dengan menggunakan bahasa daerah masing-masing. Masing-masing dari kami sudah siap melakukannya. Termasuk aku. Belum saatnya giliranku dipanggil. Setelah ini Ridho. Aku geli dan hampir ingin tertawa melihat bibir Ridho komat-kamit. Ia begitu bekerja keras untuk menghapal cerita rakyat yang akan dibawakannya di depan panitia dan peserta lainnya. Tak kalah lucu, aku melihat Cut sangat tertarik dengan gaya penceritaan Budi dipanggung kental dengan bahasa Sunda yang klasik. Makin kesini aku semakin semangat. Sekarang aku sadar kalau perbedaan itu juga bisa menghasilkan kebahagiaan. Jadi, jangan takut dengan perbedaan karena perbedaan juga bisa membuat kamu bahagia.
Hari ketiga
Hari ini merupakan puncak FRPBI . Kami diminta untuk menampilkan suatu pertunjukan tentang budaya dan ciri khas daerah masing-masing. Tari-tarian misalnya. Aku memutuskan untuk menampilkan tari tor-tor lengkap dengan iringan musik gondang yang telah kusiapkan dan kumasukkan ke dalam sebuah flashdisk.
Cut menampilkan tari saman yang merupakan tarian Suku Gayo. Belia menyanyikan lagu Jali-Jali ciptaan M. Sagi . Budi menampilkan seni pertunjukan wayang golek yang merupakan pertunjukan wayang yang terbuat dari boneka kayu. Ridho menampilkan tari Sendratari Giri Gora Dahuru Daha yang mengambil setting Kerajaan Kahuripan.
Fantastis sekali. Aku sangat terkesima. Pertunjukan seperti ini sangat menarik bagiku. Berbeda-beda ya...berbeda-beda. Hingga secepat kilat semangat menjelajahi Indonesia membuncah ke dalam dadaku. Aku merasa sangat kecil di tengah perbedaan ini. Banyak hal yang ternyata lewat untuk aku pelajari. Aku semakin bersemangat. Dan kami semua semakin akrab.
Setelah semuanya tampil, kami diminta panitia untuk beristirahat di Ballroom hotel. Ada minuman dan beberapa cemilan. Sambil menikmati hidangan, sesekali gelak tawa terdengar dari peserta termasuk aku. Belia sampai tergelak-gelak menceritakan penampilan Budi saat memainkan wayangnya. Karena di beberapa bagian, Budi lupa dialog yang akan dikatakannya dalam pertunjukan. Menurut belia, ekspresi lupa Budi sungguh sangat lucu. Budi tampak malu-malu mendengarkan cerita Belia. Aku, Cut, dan Ridho ikut tertawa terbahak-bahak.
Tiba-tiba obrolan dan tawa kami terhenti, karena salah seorang panitia tiba-tiba mengumumkan agar Belia ke ruang panitia.
“ Kenapa Bel?” tanyaku
“ Ntah. Bentar ya”. Belia berlalu meninggalkan kami dan menghampiri panitia. Kulihat dari kejauhan Belia digiring masuk ke dalam ruang panitia.
Jam istirahat berakhir. Tapi Belia belum keluar dari ruang panitia. Budi, Ridho, Cut, termasuk aku mulai cemas. Kami memutuskan untuk menunggu Belia di kamar masing-masing.
Tak lama kemudian, pintu kamarkudan Ridho diketuk. “ Aku saja yang membuka pintunya !” pintaku kepada Ridho. Ketika aku membuka pintu, kudapati Belia di hadapanku sambil menangis. Aku berteriak memanggil Ridho,” Ridho sini ! ini Belia “.“ Ada apa Belia ?”, tanyaku yang sampai sekarang masih belum dapat jawaban dari Belia. Ia terus menangis. Kuajak Belia sedikit menjauh dari depan pintu. Belia semakin menangis.
Karena semakin panik, aku kemudian meminta Ridho unytuk memanggil Cut dan Budi. Ridho segera menurut dan memanggil Cut dan Budi. Tak lama kemudian, Cut dan Budi sudah ada bersama Ridho dan segera menghampiri aku dan Belia.
“ Sudah, sudah Belia...ada apa ? Ayo ceritakan pada kami ! Kalau kamu terus menangis kami tidak dapat berbuat apa-apa untuk membantumu “.
“ teman-teman ....kayaknya aku harus pulang dulu deh. Bundaku sedang di ICU sekarang. Dia tidak sadarkan diri. Aku tidak tahu pasti kenapa. Tadi papaku menelpon. Karena panik Papaku tidak bisa menjelaskannya panjang lebar. Jadi, Papaku meminta ijin agar aku pulang hari ini.” jawab belia.
“ Panitia mengizinkan?” tanya Ridho
“ Iya...soalnya sampai sekarang Bundaku belum sadarkan diri juga.”
Rasa sedih menghampiri kami. Padahal perkenalan kami baru beberapa hari sebelumnya. Kami sudah melewati masa-masa senang dan sulit bersama. Waktu dan kondisi telah memisahkan kami sekarang. Rasanya sangat menyedihkan melihat Belia mengemas barangnya dan pergi dalam keadaan menangis.
Hari keempat
Hari ini adalah hari terakhir acara Forum Remaja Pewaris Budaya Indonesia ( FRPBI ). Hari ini kami akan pulang ke kota masing-masing. Tak akan kulupakan kenangan-kenangan indah yang sudah kuukir di acara ini. perlahan kubuka buku diary yang sudah kusiapkan. Halaman yang awalnya suci berwarna putih sekarang sudah kunodai dengan tinta biru. Kurangkai kata per kata dengan judul “ Smart Teens: Perbedaan Berbuah Kebahagiaan “ .
Aku berbenah untuk bersiap berangkat pulang ke Medan. kulihat Ridho juga melakukan hal yang sama. Tak lama kemudian, pintu kamar kami diketuk dengan keras. Aku dan Ridho berkejaran membuka pintu. Ternyata Budi dan Cut berada disana sambil buru-buru berkata,” Jangan pulang dulu kawan !” pinta Budi. “ Ayo kita ke rumah sakit”, lanjut Cut.
“ Untuk apa ?” tanyaku heran. Kulirik Ridho pun tak kalah heran. “ Belia, eh salah...Bunda Belia sudah siuman. Ayo kita jenguk. Panitia sudah mengizinkan. Kita bisa jenguk Belia sebentar sebelum ke Bandara”, kata Budi terburu-buru.
Aku tersenyum , Ridho tersenyum. Begitu juga dengan Cut dan Budi. Di lobi hotel, sudah menunggu mobil avanza putih yang sempat aku pesan ketika berpamitan dengan panitia tadi. Mobil ini melaju membawa kami ke Rumah Sakit Arta yang letaknya di Jalan Rawamangun Jakarta Pusat.
Sesampainya disana, Belia rupanya sudah berdiri tepat di depan pintu rumah sakit. Ia tersenyum, ketika kami turun dari mobil tersebut. Belia segera mengajak kami untuk menemui orang tuanya di kamar pasien.
Sambil menuju ke kamar pasien yang dimaksud Belia, kami kembali tertawa dan mengobrol. “ Ah...persahabatan ini indah”, pikirku dalam hati. “ Seindah seni menyatukan perbedaan”. Smart Teens