Arufikalam

Orang-orang optimis memandangi mawar dan bukan durinya. Orang-orang pesimis memandangi duri dan mengabaikan mawar- Khalil Gibran

Optim(is)me

“Ternyata masih ada hawa dingin di kota sepanas Surabaya,”celetukku sembari merapatkan dekapan jaket yang melilit tubuhku.

“Dan masih ada jalanan sepi dikota yang katamu tidak pernah tidur ini,”timpal seorang wanita yang tengah memboncengku dini hari itu. Aku tertawa. Wanita itupun turut tertawa meskipun tak serenyah tawaku. Beberapa saat kemudian, kami saling terdiam

Aku sibuk mengamati sudut-sudut Kota Pahlawan. Tak jarang aku selalu melemparkan pertanyaan seputar tempat apa itu, jalan apa ini, kalau mau ketempat itu lewat jalan ini nggak? Atau sekedar berkata, wah sebelum subuh aja banyak angkutan yang sudah beroperasi ya. Wanita itu dengan sabar meladeni pertanyaan-pertanyaanku dan selalu memberiku respon yang menyenangkan untuk ketakjubanku pada Surabaya. Ya, kesabarannya itu membuatku begitu mengaguminya. Kemudian, pikirku melayang pada satu waktu dihari lalu.

--

Aku mengunjungi seorang kawan yang sekarang berdomisili di Surabaya. Sebenarnya bukan hanya sekedar mengunjungi, tapi ada maksud terselubung lainnya. Ada konser Maliq & D’essential yang menarik perhatianku untuk bertandang ke Surabaya. Barangkali receh sekali, hanya untuk sebuah konser, aku rela mengeluarkan budget yang tidak sedikit dan menempuh perjalanan yang tidak sebentar. Padahal aku termasuk orang yang “perhitungan”. Lantas bagaimana lagi, jika untuk pertama kali ada kesempatan menyaksikan secara langsung band yang kamu sukai sejak dulu? Rasa-rasanya tidak sanggup mengabaikan bukan? Pikirku sih begitu.

--

Siang itu, matahari sedang terik-teriknya. Untuk kota sepanas Surabaya, suhu tiga puluh tiga derajat Celcius sudah cukup membakar sekujur tubuh manusia. Bis kota yang kutumpangi membawa penuh penumpang, ada sebagian yang berdiri, ada pula yang bisa tertidur lelap dikursinya. Kernet bis mulai berkeliling, menanyai satu per satu penumpang akan turun dimana, sekaligus membayar biaya perjalanannya. Keringatku mulai mengucur sedikit demi sedikit. Bajuku mulai terasa basah.

“Gila, panas betul Surabaya hari ini,”hujatku dalam hati, sementara mataku tak henti memandangi sosok demi sosok manusia didalam kendaraan itu yang kupikir, “betapa mereka tidak peduli dengan hawa sepanas itu”.

Aku tidak begitu hafal lokasi dimana aku harus turun dari bis kota untuk menemukan seseorang yang akan menjemputku siang itu. Tapi untung saja, wajah itu tidak banyak berubah setelah sekian lama tidak saling berjumpa. Wajah oval dengan aksen kacamata minus yang jarang ia tanggalkan, serta rambut panjang sebahu yang bergelombang membuatku langsung mengenalinya saat kami saling bertatap. Fara, sahabat lamaku yang kukunjungi hari itu.

“Akhirnya, sampai juga. Welcome to Surabaya. Nikmati hawa panasnya,”celotehnya mengejekku yang ia tahu aku selalu tak bisa berkawan dengan hawa itu. Aku langsung memeluknya erat, layaknya sepasang insan yang sudah lama tidak bertemu

“Sial, bagaimana kau bisa tetap hidup disini hah?,”kataku yang langsung membuatku tertawa begitu lepas.

“Berhentilah menghujat, kau tidak akan tahu bagaimana rasanya berjuang di kota ini. Hanya pahlawan yang bisa bertahan hidup dikota pahlawan.”

“Ah.. sialan kau hahaha..”

“Sudahlah, ayo bergegas. Sebelum kau mati kepanasan disini. Tempatku lebih sejuk dari ini.”

--

Telepon genggamku berdering. Ada panggilan masuk. “Ina?,”gumamku. Segera kujawab panggilan itu, barangkali sesuatu yang penting.

“Halo,”sapaku.

“Hei bocah, katanya kau ada di Surabaya ya? Sampai kapan? Kok nggak bilang-bilang?,”suara diseberang san amenghujamku dengan banyak pertanyaan.

“Eh eh sabar sedikitlah hahaha.. Aku baru sampai, ini lagi sama Fara. Sampai kapan ya disini? Sampai urusanku selesai kali ya haha,”kataku membercandai dia. Seseorang diseberang sana tidak terima, kembali dia menghujat dengan hal-hal yang justru membuatku ingin tertawa. Ina selalu begitu, masih tidak juga berubah.  Ah, kedua orang ini, Fara dan Ina selalu membuatku rindu.

“Siapa,”suara Fara tiba-tiba mengagetkan.

“Ina,”jawabku singkat.

“Nanti kita meet up yuk bertiga, sudah lama nggak ngobrol bareng.”

“Boleh juga. It’s not bad idea.”

--

Senja tampak menyala dengan sinar-sinar kemerahannya. Gedung-gedung pencakar langit tampak kokoh, memerlihatkan keperkasaannya merajai kota metropolitan. Memercantik sore yang maha indah, seindah Kuasa-Nya menghadirkan senja. Selepasnya, band kesayanganku akan menggelar pagelaran di salah satu pusat perbelanjaan di Surabaya dan Fara telah mengatur semuanya.

“Kita harus siap-siap dari sekarang. Open gate akan dimulai pukul tujuh,”Fara mengingatkan dan aku hanya tersenyum.

“Bersahabatlah denganku malam ini,”ucapku dalam hati yang masih menatap langit sore itu.

--

“Ini ramai sekali,”seruku.

“Lebih baik kita segera cari tempat di concert area, sebelum orang-orang semakin banyak yang datang.”

Fara berjalan didepanku, menerobos kerumunan orang-orang. Konser malam itu adalah penutupan sebuah acara pameran terbesar di Jawa Timur. Selain pagelaran hiburan yang mendatangkan artis dan band-band ibukota, acara yang digelar juga diikuti oleh sentra usaha seluruh kabupaten dan kota se-Jawa Timur. Tak heran jika khalayak ramai sekali malam itu.

Tak lama berselang, band kesayanganku mulai tampil membawakan lagu-lagunya yang syahdu. Beberapa bagian awal, Maliq & D’essential tampil bersama Fariz RM, seorang musikus legendaris Indonesia. Mereka begitu memukau, hingga membuatku dan penonton lainnya tak bisa menahan diri untuk turut bernyanyi. Concert area benar-benar hidup dengan teriakan-teriakan kami.

--

Sebuah meja bundar dengan cahaya remang-remang. Tidak gelap dan tidak juga terang, hanya redup. Kursi dengan sandaran kecil dan bantalan yang empuk, seakan mampu mengelus punggungku yang terasa sedikit nyeri. Berhadapan denganku, Fara masih asyik dengan ponselnya dan mengabaikanku. Ah, menyebalkan. Tapi kubiarkan. Barangkali ada hal penting lain yang butuh ia selesaikan. Bukankah aku terlalu jahat jika harus memintanya untuk terus memerhatikanku, padahal sejak kedatanganku di kota ini sudah menguras banyak waktunya.

Aku merebahkan kepalaku dimeja bundar itu sembari membuka-buka buku menu yang ada disana. Entah aku begitu lelah malam itu. Ditengah ketidakberdayaanku, tiba-tiba suara yang tak begitu asing mengagetkanku.

“Ah maaf aku terlambat, macet dimana-mana,”serunya.

Ina. Dia akhirnya datang menemui aku dan Fara. Kami memang janji untuk bertemu setelah aku dan Fara selesai menonton konser. Di sebuah resto sederhana yang tidak aku ingat namanya, kami bertiga duduk melingkari meja. Aku mengangkat kepalaku tegak, membaca buku menu dengan benar. Begitu juga dengan dua orang yang dapat kupandangi jelas wajah keduanya. Mereka seolah begitu khusyuk mengamati detail isi menu, berharap menemukan apa yang mereka senangi. Sesaat kemudian, seorang waitress tengah berdiri disebelah meja kami. Bersiap untuk menuliskan pesanan kami dalam buku catatannya. Sepiring nasi goreng seafood, kwetiau, cap jay dan tiga gelas jus alpukat selesai kami pesan dan waitress segera menyiapkannya. Malam itu sedikit kelabu. Cahaya bintang seakan kalah dengan lampu kota yang gemerlapan. Kami memulaui perbincangan yang rasanya sudah lama tidak kami lakukan.

“Apa kabar?,”tanyaku memulai perbincangan itu.

well, everything is good,”jawab Ina dengan gaya sok bulenya.

“Ada cerita baru apa dari kamu?,”celetukku kemudian.

No something interest. Tapi, aku ada kabar baik. Kemarin, aku baru saja menerima panggilan untuk mengikuti tahap seleksi perusahaan yang aku lamar.”

“Oh ya?,”ucapku yang seolah tak percaya bahwa nasibnya begitu beruntung.

Yes, of course baby. Aku benar-benar percaya bahwa setiap usaha tidak akan pernah menghianati hasil. Jika dan hanya jika kita melibatkan Sang Kuasa didalam ikhtiar kita,”jawabnya sembari tersenyum.

“Hei, tumben sekali dia bijak seperti ini. Ada angin apa gerangan? Aku sampai dibuat melongo dengan ucapannya barusan,”batinku.

“Ah bisa saja kamu,”kataku kemudian.

“Ya, aku setuju denganmu, Na. Kadang apa yang kita rencanakan seringkali meleset dari perkiraan, tapi selama kita percaya kita bisa, pasti banyak sekali jalan yang terbuka,”sambung si gadis berkacamata.

“Bagaimana bisa?,”tanyaku heran.

“Beberapa waktu lalu aku hampir putus asa. Penelitianku nyaris gagal karena terkendala birokrasi yang berbelit-belit. Pada waktu yang nyaris sama, aku mendapat kabar bahwa ibuku masuk rumah sakit. Perhatianku terbagi. Tiap hari aku harus menempuh puluhan kilometer supaya semua bisa terselamatkan. Penelitian tugas akhirku dan juga ibuku. Aku nyaris menyerah karena lelah, tapi lagi-lagi Tuhan menyadarkanku, jika aku bisa menengok ke bawah, hal yang aku alami masih jauh lebih baik daripada orang lain, mungkin. Aku tidak pantas mengeluh,”katanya sambil menyeruput jus alpukat sesaat setelah seorang waitress meletakkan pesanan-pesaan kami diatas meja.

Aku dan Fara masih antusias mendengar ceritanya. Mata kami tidak beranjak dari memandang wajah seoarang gadis yang semalam iu mengenakan kerudung merah jambu. Wajahnya terlihat lebih bersih dan segar meskipun ia tampak lebih tirus.

“Tuhan menitipkan sedikit ujian supaya kita lebih kuat, bukan begitu?,”tanyanya dan kami mengiyakan dengan anggukan kepala.

“Bahkan pertemananku hancur tak terselamatkan,”ratapnya sedih dan seketika raut mukanya tertekuk.

Aku sudah mengenalnya lebih dari tujuh tahun. Aku paham benar, kesedihan yang dia rasakan mungkin teramat mendalam. Dia pernah sesedih itu ketika kak Tiara memutuskan pergi dari rumah dan meninggalkan mamanya. Mama yang selama ini ia sudah anggap seperti ibu kandungnya sendiri. Mama yang sedari kecil merawat Ina bahkan hingga ia dewasa. Ya, Ina memiliki masa kecil yang kurang begitu baik. Ia harus diasuh dan dibesarkan oleh saudaranya yang ia panggil Mama, sekalipun kedua orang tua kandungnya masih ada. Aku dan Fara menggeser tempat duduk kami dan mendekati Ina. Tanganku merangkulnya, meyakinkan perempuan itu bahwa semua baik-baik saja.

“Selama aku berteman dengan mereka, aku merasa baik-baik saja. Sampai pada suatu ketika, entah karena alasan apa mereka membicarakanku dibelakang, mereka menjauh. Hal yang paling menyedihkan, mereka bahkan tau ibuku sakit, tapi mereka sama sekali tidak peduli. Sebagai manusia, aku juga butuh dikuatkan, butuh dimengerti, tapi nyatanya mereka tidak ada saat aku membutuhkannya.”

“Kau masih punya kami. Bukankah kau dulu sering bilang, raga kita boleh tidak bersama, tapi hati tidak akan pernah kemana-mana. Telinga kamu selalu terbuka untuk mendengar keluh kesahmu. Jangan pernah memendam semuanya sendiri,”tutur Fara menenangkan.

“Ya, maafkan aku yang sempat melupakan kalian. Pikirku, saat jauh dari kalian aku tidak ingin merepotkan kalian, apalagi jika menambah beban kalian dengan ceritaku. Ternyata, mereka yang dekat tidak serta merta mengertiku seperti kalian. Tapi sudahlah, aku bersyukur Tuhan mengganti semua dengan yang lebih baik. Aku bisa menyelesaikan tugas akhirku tepat waktu dan sekarang aku akan diterima bekerja. Ibuku juga sudah memulih keadaannya,”jelas Ina.

“Syukurlah, aku turut senang. Kau memang perempuan paling tegar yang kukenal setelah ibuku,”pujiku.

“Lalu, kau sendiri bagaimana?,”tanya Ina padaku.

“Aku masih belum menyelesaikan tugas akhirku. Rasanya sulit sekali bagiku untuk tepat waktu seperti kalian,”jawabku sekenanya.

“Apa yang membuatmu sulit?,”tanya Fara.

“Entahlah.”

“Tidak dapat dipungkiri jika tugas akhir itu berat penyelesaiannya, tapi apakah dengan tidak menyelesaikannya semua akan menjadi ringan? Kukira tidak. Bukannya aku bermaksud menggurui, kau tau sendiri kita ada pada posisi yang sama. Aku pernah merasa sepertimu, bahkan kau tau sendiri Ina harus menempuh sekian kilometer setiap harinya supaya apa yang menjadi tugasnya selesai. Lantas, apa yang membuatmu masih sulit?”

Hatiku tersentak. Kupikir apa yang diungkapkan Fara benar. Memang kuakui, hidupku jauh lebih baik daripada Fara dan Ina. Fasilitas apapun masih kudapatkan dari orangtua, tapi justru membuatku tak serajin mereka. Aku bahkan terlambat satu semester dari jadwal seharusnya aku sudah lulus. Aku masih terus berkecimpung dengan tugas akhir, sementara kedua sahabatku ini telah akan mengenyam dunia kerja dan berpenghasilan sendiri. Aku tertunduk malu.

“Ayolah, kau harus lebih semangat dari kami. Tanpa kuceritakan lebih panjang kau tau bagaimana kisahku dan Fara disini. Surabaya memang tak sekejam ibukota, tapi untuk bisa bertahan disinipun kami harus berjuang,”ungkap Ina yang membuatku semakin tertunduk.

“Apapun yang terjadi padamu jangan sampai membuat semangatmu surut. Kau harus tetap yakin kau bisa. Kau harus optimis bahwa tugas akhirmu harus selesai, meskipun kau tidak secepat kawan yang lain. Yakinlah bahwa selalu ada hikmah yang baik disetiap kejadian,”ujar Fara.

Kemudian, mereka memelukku. Aku merasakan kehangatan kasih sayang yang tulus dari kedua sahabat jauhku ini. Mereka yang raganya tidak pernah bisa kutemui setiap hari, tapi cinta kasihnya selalu bisa kurasakan setiap saat. Mereka yang selalu ada untuk menguatkan. Bagiku, mereka pejuang hebat. Surabaya tidak pernah membuat mereka gentar sekalipun. Ah, aku malu jika harus menyerah.

“Terima kasih, sahabatku,”kataku sambil merangkul Ina dan Fara semakin erat.

--

Aku tersenyum. Seusai perbincangan semalam, aku belajar untuk mengenali diriku kembali. Menata kembali rencana-rencana hidup yang mungkin sedikit berantakan. Aku memang tak setangguh Fara dan Ina, tapi optimisme yang mereka tularkan cukup menjadi motivasiku untuk kembali menjalani hari-hari dengan lebih semangat. Semangat mencapai gelar kesarjanaan khususnya. Terima kasih Surabaya, dinginmu dini hari ini akan membuatku rindu.

“Mengapa kau tersenyum begitu?,”tanya Fara yang melirikku dari kaca spion

Dan aku hanya menggelengkan kepala seraya memeluknya erat dari tempatku duduk.

“Hei, jangan peluk aku. Ini menggelikan,”teriaknya.

Dan kami berdua tertawa.

ikawahyu

Good luck friends :)


ikawahyu

teruslah belajar, pantang menyerah


Arufikalam

thank you :)