pratiwim

Gunung bukan dicintai karena ketinggiannya melainkan karena keindahannya. Maka setinggi apapun sebuah posisi tidak akan terasa indah jika bukan karena perjuangannya.

16 April 2016

Sepasang  tangan terulur menggapai udara yang sejuk, sangat terlihat cantik. Ah bukan itu, bukan cantik karena bentuknya yang lentik namun karena latarnya yang membuat ia terlihat cantik. Dihadapannya terhampar jutaan helai rumput yang basah oleh embun pagi, bahkan setengah dari bagian luar sepatunya telah basah saat ia pertama kali berpijak di kaki gunung ini. Gidney Gabriella Wijaya, nama yang aku ceritakan tadi. Banyak orang berkata namanya unik, menurutku juga. Tapi dibalik namanya ia menyimpan banyak harapan. Pernah satu waktu ia bercerita seperti biasa dengan santainya di tempat favorit kami ketika berkumpul.

“Aku tidak bernama Gidney karena lahir di Sidney seperti kebanyakan orang mengira. Orang tuaku hanya memberikannya secara spontanitas, dan Wijaya adalah marga keluargaku.”

“Lalu, bagaimana bisa sebuah nama diberikan tanpa ada arti dibalik nama tersebut?” Salma, temanku yang berkulit pucat bertanya  dengan rasa penasarannya.

“Hmm … biar kutebak, pasti karena kamu yang lahir premature sehingga mereka belum menyiapkan nama yang bermakna untukmu, kan?” Aneesha yang sedari tadi sama penasarannya pun ikut bertanya. Namun, suaranya yang terlampau nyaring malah mengundang gelak tawa kami semua yang berada di café ini. Café bernuansa vintage yang kumaksud tempat favorit kami ketika berkumpul.

“Ah kamu ini bikin malu saja, tentu saja bukan karena itu.” Kembali Gidney bersuara meski tak lantas menjawab pertanyaan mereka.

“Lalu karena apa, Gidney Gabriella Wijaya?” tanyaku dengan menyebut lengkap namanya diakhir, biasanya ia akan langsung terpancing jika dipanggil lengkap namanya.

”Pikirku itu karena tidak semua yang diharapkan akan terwujud, seperti harapan dibalik sebuah nama. Aku menyadari makna namaku sendiri saat aku mulai mencintai ketinggian, seperti saat di puncak gunung. Seperti Jaya Wijaya, gunung tertinggi di Indonesia. Aku ingin seperti itu, menjadi yang tertinggi dan dicintai bukan karena ketinggiannya namun karena keindahannya.”

Ah sepenggal kenangan bersama itu kembali teringat dibenakku, tentang arti nama Gidney yang membuat kami percaya dengan nyata bahwa ada makna dibalik harapan yang tidak terwujud.

Kembali dengan suasana nyaman dan sejuk ditempat kami berada sekarang. Gunung Papandayan, salah satu gunung yang terkenal karena adanya hamparan bunga abadi yang luas, edelweiss. Aku terus menghirup udara yang sejuk dan berusaha menggapainya dengan kedua tanganku, sia-sia memang usahaku ini. Kami berempat datang kesini untuk menikmati momen terakhir kami sebelum hari kelulusan, kira-kira dua hari lagi. Perpisahan memang menyebalkan, tapi setidaknya kami harus membuat precious moments untuk yang terkhir sebelum kami kembali bertemu.

Kembali kueratkan jaket yang kukenakan karena suhunya yang begitu dingin, bahkan dengan kaus dan sweater yang kugunakan tidak semata-mata mengurangi rasa dingin ini. Matahari bahkan baru saja terlihat memancarkan cahayanya saat kami telah berjalan sekitar setengah jam. Gidney memang ingin melihat sunrise dari gunung ini, jadi kami menuruti saja permintaannya. Namun, ketika aku hendak melanjutkan berjalan, tiba-tiba saja napasku terasa pendek dan penglihatanku berkunang-kunang. Sudah hampir pingsan aku jika tidak cepat-cepat ditahan Gidney dan yang lainnya dan dibawa kepinggir untuk beristirahat.

“Ah ternyata capek, aku mau menunggu di bawah saja, kalian lanjutkan saja perjalanan ke puncak, aku sudah tidak kuat lagi.” Keluhku kepada mereka, ini memang kali pertama aku mendaki, bahkan setelah ini aku berpikir untuk tidak pergi ke gunung manapun lagi.

“Ayolah Deandra masa begitu saja menyerah, perjalanan kita masih panjang dra.” Ucap Gidney beruasaha menyemangatiku. Tentu saja sia-sia, aku bahkan tidak mencoba untuk bergerak sedikitpun.

“Ayo semangat adek-adek!” Teriak para pendaki yang lain menyemangati kami, bahkan tatapan mereka begitu iba terhadapku, ah mukaku pasti sangan pucat dengan ekspresi yang menyedihkan.

“Dra, kamu pasti bisa, ini tidak sesulit yang kamu bayangkan kok. Kamu hanya perlu berjalan dengan santai sambil menikmati pemandangan yang indah, pasti tidak terasa lelahnya.” ujar Salma ikut menyemangatiku yang disambut anggukan dari Anessha dan Gidney.

Akhirnya aku tersadar sendiri, tidak mungkin aku mengacaukan acara ini hanya karena aku yang merasa lelah. Aku yakin mereka pun sama lelahnya denganku, namun mereka dengan semangatnya mampu menutupi rasa lelahnya tersebut. Setelah meneguk segelas air aku kembali melanjutkan perjalananku. Sesekali kami mengambil potret bersama atau sekedar memotret pemandangan.

Setelah beberapa jam kemudian kami sampai di puncak, meski setiap 15 menit aku meminta berhenti sebentar untuk beristirahat. Aku bahkan sempat kaget, yang kami tunggu telah datang, puncak tertinggi dari gunung bromo berhasil kami pijak. Hamparan bunga edelweiss yang indah berhasil kami lihat dan kami abadikan dalam potret keberadaannya. Pemandangan dibawah yang indah berhasil kami nikmati dari puncak, sungguh tidak pernah kubayangkan jika mendaki sehebat ini.

“Waaah ... menakjubkan, tidak heran kamu cinta mendaki Ney.” Seru Salma kepada Gidney yang terbaring disampingnya.

“Aku bahkan jadi ingin mendaki ke gunung lain, padahal tadi aku sangat membenci ini dan tidak mau melakukannya lagi.” ucapku menceritakan keluh kesahku tadi. Rumput yang menjadi alas kami berbaring bahkan terasa empuk dan hangat. Mungkin karena matahari telah naik dan mengeringkan embun pagi.

“Makannya jangan nyerah sebelum dicoba Dra, kaya anak kecil aja.” Ujar Aneesha dengan suaranya yang nyaring dan membuat pendaki lain melirik kearah kami, ah dia memang tidak pernah berubah dengan suaranya itu.

“Awalnya aku juga begitu, Dra. Aku sangat membenci bau belerang dan rasa lelah ketika mendaki. Namun semuanya terbayar ketika aku sampai di puncak. Semua perasaan bercampur aduk ketika berhasil mencapai puncak. Terharu atas perjuanganku, nyaman karena suasananya, dan bahagia karena berhasil mencapai puncak. Bahkan ketika masih diperjalananpun lelahku cukup terobati dengan pemandangan yang indah.” Cerita Gidney panjang lebar, hal itu membuatku tersadar bahwa mendaki bukan hanya berharap untuk mencapai puncak yang tertinggi namun juga mencapai sesuatu yang bahkan belum pernah dicapai sebelumnya. Juga sesuatu yang kita keluhkan diawal bisa menjadi sesuatu yang kita banggakan nantinya jika kita mencoba untuk berjuang. Karena tentu saja tidak akan ada perjuangan yang sia-sia.

Setelah itu, kami membangun tenda disamping tenda pendaki yang lain, menyalakan api unggun, dan memasak untuk makan siang kami. Kemudian bercanda gurau dan mengabadikan kebersamaan kami dalam potret dan tentu saja dalam ingatan yang tidak akan pernah hilang.

"Gidney, aku berterimakasih karena kamu telah membuatku tersadar akan banyak hal dengan mendaki gunung bersama kalian." ucapku berterimakasih padanya yang kemudian disambut pelukan hangat dari Aneesha, Salma, dan tentunya Gidney. 

Esok paginya kami menuruni gunung dengan rumputnya yang kembali berembun dan kembali membuat bagian luar sepatu basah dibuatnya. Kami pun berpisah dengan membawa pengalaman dan momen yang sangat berharga.