wnda

" jangan takut mendapatkan ujian, karna ujian perantara tuhan menitipkan kado indahnya untuk kita"

                                                             Demi ayah, Ibu , adiku meninggal

Pagi ke pagi, malam ke malam, hidupku terus  penuh dengan rasa takut dan cemas.  Kuberdoa pada tuhan agar malam ini aku bisa tidur dengan nyenyak tanpa teriakan kedua orang tuaku . ya, hampir setiap malam jika ayah ku berada dirumah, maka rumah ku akan terasa bagaikan neraka. Aku anak  pertama dari 3 bersaudara. Ayah ku kerja dilokasi 2 minggu dan 1 minggu pulang dirumah. aku selalu menanti-nanti kedatangan ayah , bukan karena ingin melepas rasa rindu melainkan ingin mempersiapkan mental.

Kala itu aku sedang sakit panas terbaring didepan tv ruang tengah rumah ku. “Aahhhhhhhhhhhhhhhhhh” teriakan ibu ku berlari dari luar rumah kedalam kamar, disusul dengan ayah ku dengan mata melotot nya. Huft ku hanya bisa menghela nafas saat itu , aku bagai menyaksikan kucuing dan anjing berkejaran diatas badan ku. Kupanggil adiku terkecil dan kupeluk ia erat agar ia merasa aman

Ibu ku memang cerdas, ia pintar mengakali ayah ku . “ Buka pintu ini. Door dorr ..dor..” gedoran ayah ku dari dalam kamar . berbagai ucapan keluar dari mulut kedua nya yang saling bersorak balas-membalasan melalui pembatas pintu kamar, Nampak lucu sebenarnya tapi air mataku mengalir deras . tak lama melayanglah  sebuah pisau dari kamar itu yang berjarak 30meter dari kepala ku. Ayah ku bukan seorang atlit lempar bola tapi ia bisa tepat melemparkan pisau itu didekat kepala ku. Darah ku menaik ketas kepala kaget bukan main.

 Beberapa jam berlalu kamar tampak tenang tanpa gedoran , ibuku mempersiapkan diri untuk pergi dari rumah entah kemana meninggalkan ku yang terbaring lemah didepan tv dengan aliran air mata .  aku tak banyak bicara pada ibu ia langsung pergi begitu saja membawa adik terkecilku , aku pasrah tak kuat rasanya menahan langkah kakinya lagi.  Ini memang menjadi makanan sehari-hari kami dirumah, ayah dan ibu ku memang sulit untuk akur.

 Seminggu ayah ku berada dirumah dan seminggu itupun tak pernah ketinggalan untk bertengkar seperti sudah menjadi kewajiban. Kulihat ibu sudah pergi jauh dari rumah , kucoba membuka kan pintu kamar ayah ku , “ mana ibu mu?” “pergi” dengan segumpalan amarah kekesalan dihatiku menjawab.

Ibuku orang yang mandiri ia tak tanggung-tanggung jika pergi dari rumah, lamanya bisa mencpai 4-6 hari . dengan paksaan kami ayah  haruslah  menjemput  mencari nya sampai pelosok dunia ini, ya inila cara agar ibu bisa kembali kerumah, kami harus menjemputnya memohon-mohon padanya agar mau pulang kerumah.

3 hari berlalu ibu tak kunjung pulang , hidup ku terasa hampa aku sangat merindukan tingkah lucu adik kecilku , makan sarapan dibuatkan ayah , ayah yang mencuci baju membersihkan rumah . tak tega rasanya melihat seorang lelaki yang tidak muda lagi melakukan pekerjaan rumah  sendirian . Saat malam tiba ayah mengajak aku dan adiku untuk berkumpul bersama diruang tengah “ mama sudah 3 hari tidak pulang, menurut kalian bagaimana? “ air mataku berlinang dengn cepat seperti air terjun curup. “ papa sudah idak tahan lagi seperti ini? Kalau papa pisah saja bagaimna?” kalian bayangkan kala itu aku duduk kelas 5 Sd sudah mendengarkan percakapan seperti itu bukan hanya mendengarkan tak jarang aku ikut meluapkan pendapatku . anak mana setuju orangtuanya berpisah ? spontan aku menolak dengan omongan terbata-bata tersendat ingus dihidung ku.

Tak lama dari konferensi meja bundar itu kami memutuskan mencari ibu kesebuah kota yang mana tempat kami tiggal dulu. Saat itu tepat jam 12 malam kami beragkat dari rumah,  aku, adiku ayah dan tak lupa kelinci kesanyangan kami ceko. Diperjalanan tak henti aku panjatkan doa agar bisa bertemu ibu dan adik kecilku  disana dan smeoga ibu mau kembali pulang kerumah.

Tak lama 2 jam diperjalanan kami sampai disana dan ayah berinisiatif mendatangi rumah lama kami dikota itu benar saja ibu ku ada disana.  Setelah berteriak-teriak meminta bukakan pintu pagar tak ada jawabnya , hingga aku memutuskan memanajat pagar rumah yang cukup tinggi . tak tega ibu melihatku mengintipnya dikaca dengan wajah lemah ingus  dimana-mana, akhirnya ia bukakan aku pintu rumah, dan aku bergegas mengambil kunci pagar. Perang pun dimulai tarik menarik tangan dan kalimat lontaran terus dikumandangkan,  lagi-lagi aku hanya menangis dan berteriak” sudah ma sudahh.. kasian adek ma, liat kami maa..” ibu ku tetap kekeuh tak mau pulang hingga kami harus mengemis lebih keras lagi agar ia iba.

Pukul menunjukan 3.00 am ibu tetap tidak mau pulang. Ayah ku sudah pasrah kami hanya menungu hari esok untuk pulang lagi tanpa ibu. Disisa waktu itu aku terus merayu ibu untuk mau pulang bersama, aku sadarkan ibu bahwa ia salah meninggalkan anak dan suaminya dirumah selama 3 hari . lantas spontan langsung saja ibu menyuruh ku menutup mulut. “tau apa kamu? , kamu memang selalu memebelah ayahmu , sana ikutla ayahmu.” Itula ucapan ibu ku setiap aku mencoba bicaraa denganya.

Padahal aku mencoba jadi orang dewasa diumurku yang masih belia, aku mencoba mengerti permasalahan mereka , saat bersama ibu aku menyadarkan nya bahwa ia salah agar ia sadar , dan begitu juga saat aku berada disisi ayah aku selalu menyadarkan dia bahwa dia salah . tujuan ku hanya agar mereka sama-sama sadar akan kesalahanya. Tapi ibuku menilai lain ,ia pikir aku berpihak pada ayah, ia tak tahu bahwasanya aku sering menyalahkan ayah agar ayah juga sadar salahya, tapi ya aku yang sadar bahwa aku belum cukup umur untuk menasehati kedua orangtua.

Tapi aku pantang menyerah aku terus berusaha mengeluarkan pendapatku padanya.  Sejujurnya aku capek dengan keadaan hidupku seperti ini aku ingin  seperti temanku yang orangtuanya akur dirumah , terlebih aku sangat sedih melihat adik ku berumur 3 tahun ia telah menyaksikan perang dunia dirumah nya sendiri setiap hari. Aku tak tahu apa yang ada dipikiran kedua orangtuaku hingga mereka begitu tega melihat anaknya tanpa arah tujuan hidup.

Aku anak pertama sehingga aku lah yang harus berkorban demi kebahagian keutuhan keluargaku. Kupeluk erat adik kecilku melepaskan rasa rindu ku padanya , tak henti kuciumi dia kuajak dia bermain ku hibur dia berusaha membuat ia bahagia aku tak mau masa kecilnya dirusak dengan tontonan pertengkaran nyata kedua orang tua kami.

 Pukul 7 pagi ibu memutuskan pulang bersama kami , bersyukur sekali rasanya bahagia ku tak dapat terbendung.  Ini baru hari ke 4 ayah pulang artinya sisa 3 hari lagi ayah dirumah.

Senja telah hilang diganti dengan terangnya sang bulan yang bersahabat dengan bintang mewarnai atap rumah kami. Harap cemas aku berdoa semoga tidak ada lagi perang duni di akhir seminggu ayah dirumah ini.  

Namun, malam itu Tak terlihat senyuman kecil dan tawa bahagia dari wajah adik kecilku,  ia sakit DBD ternyata dan harus dirawat dirumah sakit. Lemah rasa diriku melihat adik kesayanganku tangan mungilnya yang berlipat-lipat nanputih itu harus disakiti oleh jarum tajam .

 1 hari ia dirumah sakit dan harus dirawat diruang ICU. Malam itu aku dan adik ku yang pertama tidak ikut menginap dirumah sakit, seperti kita tahu ruang ICU tidak diperbolehkan menginap lebih dari 2 orang.

Sore harinya aku sempat main kerumah sakit melihat adik ku ia tampak cerah wajahnya merah muda dengan senyumanya yang manis “ ayo dek minum susunya ya, biar sehat kuat.” Ucap ku merayu nya . spontan dia mencubit ku “ tuh dedek bisa cubit kakak, dedek kuat kan” . suara mungilnya dan ucapanya yang lucu itu mencairkan suasana tegang dalam ICU.

 Malam nya kami pulang diantarkan ayah . sampai dirumah aku menyiapkan baju sekolah adiku dan untuk ku sendiri . tepatnya jam 3.00 am aku terbangun oleh suara mobil didepan pagar ternyata ayah , bergegas ku bukakan pintu pagar, ayah langsung  menangis memeluk ku

 “ adek kita meninggal”  tuhann…

 Rasa aku mimpi, ini tidak mungkin terjadi , baru sore tadi aku bermain denganya, ini gilaaa.. tak sanggup aku mendengar ucapan ayah dunia bagaikan kiamat kecil bagiku, teriak aku histeris menangis bagaikan orang tak beriman, menangisi tak menerima keadaan ini.  aku begitu mencintai adik ku aku berusaha memberikan terbaik padanya , aku sangat menyayanginya, dialah obat hatiku , dialah semangat hidupku untuk tetap berusaha membuat kedua orangtuaku akur bersatu .

 lima bulan kepergian nya, masih meninggalkan sakit dihatiku,  perubahan dirumah terasa drastis. Setiap malam aku bisa tidur dengan nyenyak tanpa cemas akan ada perang atau tidak malam ini

Ibu dan ayahku berubah mereka begitu saling menyayangi dan mengasihi, tak kudengar lagi teriakan maut dari keduanya. Mungkin mereka sadar setelah kehilangan seorang anak bagaimana rasanya kehilangan , Tuhan menyadarkan mereka, Tuhan menegur mereka bahwa mereka diberi titipan anak . dan akhirnya kedua orangtuaku pun bisa memberikan perhatian kepada aku dan adiku yang pertama.

 aku begitu sedih menangis merindukan adiku yang kecil, seandainya ia bisa merasakan keharmonisan rumah ini , aku tak sempat menunjukan padanya sesungguhnya hidup itu indah, bukan Cuma tentang perang ibu dan ayah. Namun, aku sadar ini pengorbanan adik ku untuk kami ini hikmah dari kepergian nya jika Tuhan tidak memberi kami cobaan seperti ini, kehidupan rumah tangga ini akan terus kusut menyisahkan sakit yang sangat dalam sepanjang hidupku. Aku mengerti sekarang dibalik cobaan pasti ada pesan hikmah yang ingin disampaikan tuhan pada hambanya.