Never Give Up
"NEVER GIVE UP"
Saat itu usiaku 4 tahun.
Terdengar alunan musik gamelan, terdengar sangat lembut seakan memanggilku pergi kepadanya. Saat itu aku sedang bermain istana pasir di halaman rumah Mbah Ti, nenek yang tinggal satu-satunya kumiliki, bersama Leon, sahabatku. Walaupun dia laki-laki, dia mau bermain mainan perempuan bersamaku. Panggilan musik gamelan semakin menyeruak masuk telingaku, membawa kakiku beranjak. Kutarik tangan Leon untuk bergabung dalam langkah riangku. Benar saja, ketika aku sampai pada muka pintu, aku melihat Mbah Ti menari dengan lemah gemulai. Langsung aku masuk ke dalam bersama Leon dan mengikuti gerakan Mbah Ti, Leon hanya melihat ke arahku dan Mbah Ti tanpa berkutik.
Dari Mbah Ti, aku belajar mencintai budaya negeriku sendiri. Dan sejak hari ini, aku dan Mbah Ti mempunyai sebuah mimpi besar.
Leon, nanti kalau sudah besar aku ingin sekali menjadi penari terkenal membanggakan Indonesia, seperti Mbah Ti.” Ucapku pada seseorang yang sedari tadi hanya memandangiku belajar menari.
***
Limabelas tahun kemudian.
"Tania!" Seketika aku menoleh mendengar seseorang memanggil namaku. Di belakangku sudah ada Kiara dan Elda, bak dua sejoli, mereka tak bisa terpisahkan. Tadi itu jelas suara Kiara, aku sangat kenal suaranya yang keras. Walaupun dia wanita tetapi gayanya mirip lelaki, berbanding terbalik dengan sahabatnya, Elda, justru Elda sangat feminim.
"Ada apa, Ra?" Aku menjawab panggilannya.
"Kemari, Tan, kemari!" Kiara justru menyuruhku mengahmpirinya. Aku beranjak dari kursiku menghampiri Kiara dan Elda.
"Tan, ada konser EXO. Datang, yuk! Aku dapat tiket promonya, jadi tidak usah bayar,"Kiara menjelaskan padaku dengan sangat bersemangat. Walau begitu tomboinya Kiara, ia tetap saja menjadi penggemar EXO, grup musik ternama dari negeri gingseng itu.
"Memang kapan, Ra acaranya?" Tanyaku tak bersimpati. Walaupun begitu, aku akan datang hanya jika tidak bentrok dengan acara lain, aku pikir lumayan untuk mengisi waktu luangku.
"Minggu depan." Kiara menjawab dengan singkat, jelas, dan padat.
"Oh...." Aku ber-oh cukup panjang.
Karena tak kunjung mendapat reaksi, Kiara mengguncangkan tubuhku.
"Tan, bagaimana? Bisakah?" Kiara butuh kepastianku
"Iya, Tan. Datang, ya. Lumayan gratis, jarang-jarang ada yang seperti ini." Elda kali ini bersuara.
"Waduh, maaf. Sepertinya aku tidak bisa datang." Dengan mantap aku menjawab.
"Kenapa, Tan? Jarang ada momen seperti ini." Jawab Kiara kecewa
"Festival Budaya, ya?" Elda menebak-nebak alasan aku tidak bisa ikut dengan mereka.
Dengan cepat aku mengiyakan Elda, karena bagaimanapun, memang itulah alasanku.
"Kamu tetap saja tidak berubah. Jaman sudah berubah, Tan. Sekarang itu lagi jamannya EXO, bukan tari tradisional." Kiara mencibirku.
Aku dibesarkan dalam keluarga yang sangat kental dengan budaya Jawa, sewaktu aku kecil hampir setiap hari belajar menari dengan Mbah Ti. Sebelum Mbah Ti pergi, beliau berpesan agar aku tetap berkomitmen pada cita-citaku, menjadi penari tradisional yang berkelas internasional. Semenjak Mbah Ti pergi, aku belajar menari dengan guru les tari tradisional. Karena Mbah Ti lah, aku seakan tak terpisahkan dengan tari tradisional. Tari favoritku adalah Tari Serimpi dari kota kelahiranku, Yogyakarta, tari ini mengisahkan tentang keanggunan serta kelemahgemulaian seorang wanita.
Keteguhan pendirianku pada mimpiku menjadi penari dan kecintaanku pada Indonesia inilah yang menjadi salah satu alasan banyak orang yang mengejekku. Kata mereka aku ketinggalan jaman. Tetapi, mau bagaimanapun itulah minatku. Aku yakin suatu saat nanti aku berhasil membuktikan mimpiku. Aku yakin.
***
Sehari setelah berlangsungnya konser EXO, hampir seluruh warga sekolah menjadi berisik. Di setiap sudut sekolah pasti kujumpai sekumpulan siswi yang sedang asyik memamerkan cinderamata yang tersedia selama konser berlangsung. Sejauh telinga mendengar, tak ada seorangpun yang membicarakan Festival Budaya kemarin.
"Eh, itu Si Kampung. Masih ada ya orang yang ketinggalan jaman macam dia." Terdengar suara Kiara, dilanjutkan dengan cekikikan dari Elda.
Aku menghela napas panjang. Aku masih bersabar mendengar cibiran Kiara, karena memang begitu biasanya.
Sepanjang hari itu, aku hanya terdiam. Hanya sesekali teman yang bertanya pelajaran denganku. Semua orang membicarakan konser, sementara aku tidak tahu apa-apa tentang konser itu. Dan aku merasa hanya aku yang tak tahu tentang konser itu. Aku merasa terasingi, apa perlu aku menyesal karena tidak bergabung dengan mereka? Tidak. Aku tidak boleh menyesal, ini semua demi mimpiku.
***
Hari demi hari berlalu, aku mengira pengasingan terhadap diriku hanya berlangsung pada hari itu. Namun, yang terjadi adalah sebaliknya. Hingga saat ini, aku merasa tidak memiliki teman seorangpun. Kiara dan Elda yang biasanya mengejekku sekarang sudah tidak lagi. Dan mulai detik ini, aku menyesal tidak bergabung dalam keriuhan konser. Tetapi, bagaimana dengan mimpiku, bagaiaman dengan cita-citaku? Aku tidak akan membiarkan diri ini menyerah begitu saja. Ya, Tuhan kuatkanlah diriku.
***
Seminggu berlalu semenjak konser dan Festival Budaya, aku menjadi pendiam. Takut bertemu dengan semua orang. Termasuk Kiara dan Elda. Hanya satu yang menjadi semangatku, mimpiku menjadi penari. Janjiku kepada Mbah Ti tak bisa kulepas begitu saja. Aku hanya berharap, itu tidak menjadikan beban bagiku.
Di tengah kemurunganku, datang seorang teman, aku dipanggil Pak Wito, guru kesenian sekolahku.
Dengan gontai aku menyusuri koridor sekolah yang telah kupijak 3 tahun ini, melewati ruang demi ruang, rasanya membutuhkan waktu berhari-hari untuk sampai kehadapan Pak Wito.
Akhirnya, aku menatap muka pintu ruangan Pak Wito. Tiga kali kuketuk kayu yang menjadi pelindung ruangan itu, pintunya.
“Masuk.” Terdengar suara khas bapak-bapak dari dalamnya. Aku yakin itu suara Pak Wito.
Setelah mendapat ijin sang empunya tempat, aku masuk. Kulepaskan pandangan mengitari seluruh penjuru ruangan. Disana terlihat banyak piagam penghargaan, piala, medali, dan foto-foto para siswa pemenang lomba bidang seni. Ah, rupanya wajahku masih terpampang disana, pemenang Lomba Tari Tradisional tingkat kota, sungguh bangganya diriku.
“Oh, rupanya Tania.” Pak Wito menyapaku dengan muka yang berseri-seri, kumisnya terangkat, matanya bak garis, tersenyum padaku, giginya terlihat besar-besar. Lalu Pak Wito mempersilakanku duduk.
“Ada apa, Pak?” Langsung saja aku bereaksi, aku sendiri heran mengapa begitu cerahnya wajah Pak Wito, biasanya guru kesenianku ini terlihat garang.
“Begini, ada lomba menari tarian tradisional tingkat nasional, barangkali kau berminat.” Akhirnya aku tahu alasan tingkah Pak Wito menjadi begini. Seperti biasa, Pak Wito berbicara sambil memilin-milin kumis kesayangannya, ada yang bilang kumisnya itu merupakan jimat pribadi Pak Wito.
"Hmm, baik, Pak akan saya pertimbangan." Aku menjawab Pak Wito dengan datar, entah mengapa detik ini juga aku merasa ketertarikanku pada tari tradisional lenyap tanpa jejak. Begitu selesai dengan jawaban, aku keluar dari ruang kesenian.
Sepanjang langkahku menuju kelas, kepalaku tertunduk, tatapanku kosong, pikiranku melayang tanpa arah hanya mengikuti hembusan angin. Akankah aku mengikuti kompetisi ini? Entahlah, aku bimbang. Teman-teman atau mimpiku? Oh, Tuhan, mengapa menjadi begini rumit.
***
Sampai dirumah, aku langsung menuju kamarku. Kubaringkan tubuh ke atas kasur, rasanya nyaman sekali. Ingin rasanya kutepis semua pikiranku, sungguh menyiksa batin. Aku mengedarkan pandangan ke setiap sudut ruang dengan tatapan kosong, tetapi pikiranku sudah meluap, otakku seperti sudah kehabisan tempat untuk segala yang kupikirkan. Tiba-tiba, mataku fokus tertuju pada sebuah bingkai foto yang sudah mulai kusam warnanya. Entah apa yang membuat tubuh ini bangun, kakiku melangkah menuju bingkai foto tersebut. Foto masa kecilku, bersama anak laki-laki. Oh! Itu Leon.
Tanganku masih tetap memegangi bingkai dan mataku masih belum berkedip. Seketika itupun aku langsung menyambar ponselku, kucari nama Leon. Mungkin ini sebuah pertanda dari Tuhan dengan Leon sebagai perantara. Aku berharap aku mendapat jawaban atas kebimbanganku saat ini.
Cukup lama kami berbincang, dan akhirnya kami membuat janji untuk bertemu esok hari setelah pulang sekolah.
***
“Leon!” Aku menyapa seseorang yang sudah menungguku, mungkin cukup lama. Diapun tersenyum padaku, ternyata dia tak melupakan aku. Gayanya masih sama seperti dulu, manis, tidak berkacamata, rambutnya disisir rapi, berkaos, hanya saja, postur tubuhnya lebih bagus, tinggi, berisi. Oh, tampannya dia.
“Hai, Tan.” Ia menjawab masih dengan tersenyum lebar.
Sebentar terjadi keheningan diantara kami, kami berdua menjadi canggung.
“Jadi, apa yang hendak kau ceritakan?” Suara Leon memecah keheningan. Dan mulailah aku bercerita, dari awal tidak ikut konser sampai akhir ditawari lomba. Aku usahakan tak ada yang terlewat sedikitpun agar Leon dapat memberi solusi padaku.
“Oh, begitu rupanya. Sebetulnya, sederhana saja, Tan. Menurutku, kamu tetap saja pada jalurmu untuk meraih mimpimu.” Leon menjawabku. Teman kecilku, yang sekarang tengah menempuh studi di salah satu perguruan tinggi ternama di Yogyakarta ini, memang sedari dulu menganggap semuanya simpel. Satu pesan dia yang tetap kuingat hingga kini, “anggap semua yang kau kerjakan simpel, semakin kau menganggapnya rumit, semakin tidak kau kerjakan.” Dan ketika aku merefleksikannya, memang benar juga ucapannya.
“Lalu, bagaimana dengan hujatan yang akan kuterima dari teman-temanku? Sepertinya aku tak sanggup menerimanya.” Aku menundukan kepala, takut menatap Leon.
Leon mengusap bahuku.
“Tenang, Tan. Semua pasti ada sisi baik dan buruk, mungkin ini jalan dari Tuhan supaya kamu dapat meraih mimpimu. Tidak ada yang tahu rencana Tuhan, Tan. Jadi, menurutku kamu ikut saja lomba tari ini, apalagi tingkat nasional. Peluangmu makin besar, Tan. Biarkan orang berkata apapun tentang dirimu. Percayalah, ketika kamu berhasil membuktikan yang sebaliknya pada teman yang tidak mendukung, kamu justru akan merasa lebih bangga, ternyata yang mereka kira tentang dirimu salah besar. Kamu bilang padaku waktu kecil, kamu mau jadi penari terkenal, dan membanggakan Indonesia. Kamu ingat, kan? Ayo, Tan kamu bisa. Aku janji, aku dukung kamu sepenuhnya.”
***
Dan kata-kata itulah yang berhasil membuatku bangkit dari keterpurukan batinku.
Saat ini, aku sedang berdiri di atas panggung dengan mengalungi medali emas, berkat kemenanganku dalam kompetisi menari tingkat dunia.
***
“Mbah Ti, aku berhasil meraih mimpi kita, aku berhasil membawa nama Indonesia sampai ujung dunia.” Setelah mengusap air mata, aku meletakkan sebuket bunga ke atas pusaranya.
***