Verinfluences

Dasar manusia, selalu melihat rumput tetangga yang bagus, sampai-sampai lupa kalau rumputnya sendiri tak kalah bagusnya.

Di malam minggu yang dingin ini, adara hanya duduk termenung di dekat jendela kamarnya. Ingin ke balkon, tetapi sedang hujan. Sambil bersenandung kecil, adara menatap rintik hujan yang jatuh menyusuri kaca jendela transparan kamarnya itu.

Lama-lama, adara pun merasa jenuh. Biasanya, kalau malam minggu dia dan pacarnya akan jalan-jalan ke mall ataupun mengelilingi kota. Adara akhirnya memutuskan untuk turun ke lantai bawah.

“Lho, Papa kapan pulang?” heran Adara sambil menatap Papanya yang kini sedang menonton film Avangers. walau sudah memasuki kepala empat, Papanya itu masih suka film-film berbau remaja. Bisa dibilang Papanya ini cukup gaul.

Papanya menoleh mendengar suara putri kesayangannya itu. “Dari tadi sore, jam 4 atau setengah lima, Papa udah sampai di rumah.” jawab Papanya sambil mengkode Adara untuk duduk di sofa bersamanya. Adara pun mendudukkan dirinya di sebelah Papanya.

“Adara kangen Papa,” ucap Adara manja. Adara mendongakkan kepalanya dan menatap wajah Papanya yang walaupun sudah memasuki kepala empat, tetap saja masih terlihat muda. Papa merangkulkan tangannya ke pundak adara dan menarik adara mendekat kearahnya lalu ia pun menggerakkan tangannya untuk mengusap kepala anak semata wayangnya itu dengan penuh kasih sayang.

“Adara sayang Papa,”

“Papa juga sayang kamu.”

“Gimana kabar Samudera?” tanya Papa tanpa menolehkan kepalanya dari tayangan avangers kesukaannya itu.

“Baik.” Jawabku singkat. Hanya perbincangan kecil menemani tontonan mereka. Tak terasa film pun habis dan mereka pun kembali ke kamar masing-masing. Papanya itu sibuk, jarang-jarang mereka bisa menonton bersama dan berbincang-bincang seperti tadi.

Adara menaiki tannga yang kira-kira berjumlah dua puluh dua anak tangga itu dengan hati-hati. Pernah sekali ia menuruni tangga sambil berlari dan akhirnya dia tersandung kakinya sendiri dan jatuh, untungnya dia hanya terjatuh dari anak tangga ke lima- yang mengakibatkan kepalanya benjol dan kakinya terpelekok. Adara itu memang sedikit ceroboh.

Sesampainya dikamar berpintu putih yang bermotif bunga-bunga itu, adara melangkahkan kakinya masuk dan duduk bersandar di kepala tempat tidur berseprai putih polos itu. Drtt drttt drttt smartphone Adara bergetar, yang menandakan ada notifikasi masuk. Adara melihat handphone nya dan ternyata dia mendapatkan pesan dari Samudera. Inti isi pesan Samudera adalah permohonan maaf karena tidak bisa malam mingguan seperti biasanya, dan meminta Adara untuk pergi dengannya besok sebagai gantinya.

***

Adara mematut dirinya di cermin. Terlihat gadis remaja menggunakan celana jeans biru muda dengan sweater berwarna putih polos. Setelah memastikan penampilannya tidak berlebihan, Adara pun turun ke lantai bawah karena samudera sudah menunggunya sejak tadi.

***

Setelah pamit dengan orangtua Adara, mereka pun pergi. Di dalam mobil Samudera, hanya keheningan yang melingkupi keduanya. Bukan keheningan yang canggung, tetapi keheningan yang nyaman. “Kita mau kemana?” tanya Adara memecah keheningan. Adara menatap Samudera yang memakai sweater biru tua itu.

“Kita ke Kafe Dotkom atau Urban Kafe? Tanya Samudera memberi pilihan. Samudera tahu, Adara bukan tipe orang yang pilih-pilih tempat makan, dia akan senang dibawa makan dimana saja oleh samudera, bahkan di pinggir jalan. “Kamu kok mau sih, aku ajak makan di pinggir jalan begini?tanya Samudera saat itu. “Yang penting kamu kasih aku makan, aku bakalan jinak.” Jawab Adara saat itu sambil terkekeh kecil.

“Dotkom aja ya, aku lagi pengen kesana, udah lama soalnya gak kesana.” Jawab adara. Samudera pun meng-iyakan jawaban pacarnya itu.

***

“Cerita sama aku, kamu kenapa? dari tadi aku perhatikan kamu selalu melamun. Ngelamunin apa hayo.” Samudera menatapku dengan tangan kiri yang ditopang di atas meja. “Bahkan di mobil tadi, kamu gak cerewet kayak biasanya.”

“Ehmm, apa kamu butuh Aqua?” Tanya Samudera polos. Aku hanya menggeleng kecil sambil membenamkan kepalaku di kedua lipatan tangan.

“Adara, aku bukan cenayang yang bisa baca pikiran kamu, kalau kamu ada masalah, aku bisa jadi layanan operator 24 jam buat kamu.” Ucap  Samudera.

Aku pun menegakkan tubuh dan membenarkan posisi duduk supaya nyaman. “aku baru sadar. Kalau aku gak mulai semuanya dari sekarang, kapan lagi?” kata Adara sambil menatap mata Samudera yang selalu bisa menyejukkan.

Samudera mengaruk kepalanya yang tidak gatal dan menjawab “Tuh kan, ambigu. ‘Mulai’ apa maksud kamu?”

“Kamu tahu kan, aku ini bodohnya kebangetan? Aku dapat hidayah dari buku yang dipinjemin Fani. tokoh utamanya itu cewek, pinter banget. Sering menang olimpiade internasional, pokoknya perfect deh, dan yang paling penting nya, dia lakuin itu untuk buat mamanya bangga. Mulia banget gak sih?”

“Dari situ tuh, pikiran aku mulai terbuka, dikit.” Lanjut Adara sambil tersenyum. Senyum yang selalu membuat Samudera geregetan sendiri, tipe senyum tulus dengan penampakan lesung di pipi kiri Adara.

Tidak tahan, samudera pun tertular senyuman manis pacarnya itu. “Jadi, kamu pengin kayah tokoh cewek di novel itu?” tanya samudera

“Hmm.. pengin sih, tapi, kan kamu tau aku bodohnya kebangetan, perkalian aja aku gak hafal,” jelas adara sambil tersyum masam.

“gimana bisa aku banggain orangtua aku dengan otak sesempit ini.” Tambah Adara yang malah membuat Samudera menatapnya datar.

“Kamu itu… terlalu merendahkan diri,” Samudera memandangku sambil menghela napas kasar.

“Aku gak suka dengar kamu ngerendahin diri gini, kesannya kayak kamu gak bisa apa-apa banget.” Lanjut Samudera sambil menatap Adara dengan sorot tajam dan menyugar rambut kelamnya yang senada dengan warna matanya itu.

“Tapi nyatanya aku memang gak bisa apa-apa, Dra!” Adara menjawab dengan nada yang meninggi. Untungnya, mereka duduk di pojok. Kecil kemungkinan mereka menjadi sorot perhatian.

“Orang kayak aku, gak bakalan punya masa depan yang bagus.” Ucap Adara dengan bahu menurun seolah-olah dia menanggung beban berat di kedua pundaknya.

“Apa maksud kamu dengan ucapan ‘orang kayak aku’ tadi?” tanya Samudera dengan tatapan yang menajam dan menuntut penjelasan.

“Yang aku maksud, orang bo-”  balas Adara yang ucapan nya langsung dipotong oleh Samudera. “Gimana bisa orang lain menghargain kamu kalau kamu gak bisa menghargai diri kamu sendiri.” Samudera memotong ucapan adara sambil menggerakkan tangannya untuk menggengam kedua tangan adara yang berada di atas meja.

“Sekarang aku tanya. Kamu fasih berapa bahasa?”

“Tiga. Bahasa Indonesia, Inggris sama Spanyol.”

“Yang gak fasih berapa bahasa?”

“Empat. Bahasa Perancis, Jepang, Korea sama Jerman,”

“Kapan kamu masak gak sesuai sama ekspetasi kamu?”

“Jarang.” Ucap Adara dengan suara yang semakin lama semakin pelan.

“Itu yang kamu bilang bakalan punya masa depan yang gak bagus?” tanya Samudera sambil menatap Adara yang kepalanya tertunduk.

 “Kamu adalah kamu. Jangan bandingin kamu sama orang lain. Semua orang gak ada yang mau dibanding-bandingkan.”

“Iya, maaf.” Jawab Adara dengan suara parau hendak menangis.

“Sini, liat aku.” Ucap Samudera sambil menaikkan dagu Adara. Matanya sudah di banjiri air mata.

“Udah dong, jangan nangis lagi. Aku gak marah kok.” Ujar Samudera menenangkan adara yang masih sesegukkan dan dia pun menghapus air mata Adara dengan ibu jarinya.

“Makasih buat pencerahannya, Dra.” Ucap Adara.

“Sama-sama.”

Dasar manusia, selalu melihat rumput tetangga yang bagus, sampai-sampai lupa kalau rumputnya sendiri tak kalah bagusnya.

 

----- ----- -----

i will be so happy if you guys appreciate my work with your vote, comment or review. Remember, writting is not as easy as it looks. ILY babe(s)