febyolanda13

“Be kind, for everyone is fighting their battle too.”

“Tubuhku tidak bisa bergerak sebagaimanapun aku berusaha.”

Ayah naik pitam. Wajahnya tak kalah merah dengan tetesan darah dari hidungku. Matanya berkilat, tangannya sudah dikepal, dan rahangnya mengatup rapat-rapat. Aku belum pernah menyaksikannya semarah ini. Kalau saja aku tidak sedang babak belur, aku yakin dia sudah menghajarku sekarang.

“Apa kau ini lumpuh sampai tidak bisa melawan orang yang melukaimu?” tanyanya dengan nada penuh amarah.

Ibu yang duduk di sebelahku seolah tak ingin ikut campur. Dia menyibukkan diri dengan membersihkan seluruh lukaku dan menutupnya dengan perban. Ibu biasanya selalu membelaku, tapi tidak untuk kali ini. Ayah sudah terlalu marah dan dia tidak ingin mengambil risiko membuatnya lebih marah lagi.

“Nicholas, untuk apa sabuk hitam taekwondo-mu kalau kamu bahkan tidak bisa melawan teman-temanmu?”

Aku hanya menatap mata Ayah dengan tatapan kosong. Dia sudah marah selama kurang lebih setengah jam begitu melihat rekaman CCTV yang dikirimkan oleh pihak sekolah. Rekaman saat aku dikeroyok dan dijarah oleh 3 seniorku yang sedang mabuk. Alasan Ayah marah adalah karena aku tidak melawan sama sekali ketika mereka mengosongkan isi dompetku dan mulai memukuliku.

“Apa yang akan terjadi kalau waktu itu satpam tidak sengaja mengecek rekaman CCTV? Mungkin sekarang kau sudah mati.”

“Ayah,” sela Ibu.

Mata Ibu sudah berkaca-kaca dan seluruh tubuhnya gemetar. Akhirnya dia angkat bicara setelah sekian lama diam. Aku tertegun melihat keberaniannya.

“Bisakah Ayah berhenti memarahinya? Lihat Nicholas, seluruh tubuhnya penuh dengan luka dan lebam.” Dia mulai terisak. “Mengapa Ayah tidak peduli dengannya?”

Ayah berkacak pinggang. “Ini adalah bentuk kepedulianku terhadapnya. Kalau saja dia bisa membela dirinya, dia tidak akan terluka seperti ini.”

Ibu mengusap air matanya sejenak. “Apa kau ingin membuatnya menjadi monster?”

Ayah marah, jauh lebih marah dari sebelumnya. “Apa kau ingin membuatnya menjadi patung?”

Ayah membalikan badannya dan berjalan meninggalkan ruang tamu. Ibu berusaha mengejarnya.

“Mau kemana?”

Ayah mengernyitkan dahinya. “Mau kemanapun aku pergi itu bukan urusanmu!”

Ibu terjatuh dan menangis. Ayah membanting pintu dan pergi meninggalkan rumah begitu saja. Bersamaan dengan suara deru mesin mobil Ayah, aku bangkit berdiri dan mengunci diriku di dalam kamar.

***

Setelah kejadian malam itu, Ayah belum kembali lagi ke rumah. Hari ini aku baru boleh diizinkan masuk sekolah oleh Ibu setelah izin dua hari. Oleh karena itu, sekarang aku sedang duduk berhadapan dengan Ibu di ruang makan.

Dia mengambil satu lembar roti dan mengoleskan selai stroberi. “Apa lukamu sudah mendingan?”

“Aku tidak merasakan apapun, Ibu.”

Ibu berhenti sejenak lalu hanya menganggap ucapanku sebagai angin lalu saja. Dia menaruh roti yang sudah diolesi selai ke piringku. Aku menatap roti itu beberapa detik. Sepertinya cukup lama karena setelah itu Ibu berkata lagi.

“Oh, selai kacang kesukaanmu sudah habis, Nicholas. Kita harus menunggu Ayah pulang untuk membelinya lagi.”

Sebenarnya aku pun tidak peduli. Aku tidak merasakan apapun dari semua makanan yang masuk ke lidahku. Aku bahkan ragu aku benar-benar mencerna semua makanan itu. Tapi lagi-lagi, Ibu tidak peduli tentang hal ini.

“Mengapa kamu tidak makan, Nicholas?” tanya Ibu.

Aku menatap Ibu yang sedang mengunyah roti. Kau tidak mengerti, bisikku dalam hati. Tanpa kusadari, tanganku sudah bergerak sendiri mengambil roti dan memasukannya ke dalam mulutku. Dengan terpaksa aku mengunyahnya. Rasanya bahkan tidak jauh berbeda dari mengunyah kertas. Sebelum aku benar-benar memuntahkannya, aku menelannya seketika.

“Kau sudah kenyang?” Ibu terkejut ketika melihatku sudah berdiri dan meninggalkan ruang makan. “Kau baru makan satu gigitan, Nicholas!”

Aku tidak peduli. Kakiku sudah melangkah menuju kamar mandi tanpa kusadari. Aku segera menutup dan mengunci pintu untuk mencegah Ibu membuka paksa. Benar saja, Ibu sudah berada di depan pintu dan menggedor-gedor pintu kamar mandi.

“Nicholas?”

“Aku tidak lapar.”

Aku menunggu hingga Ibu benar-benar pergi sebelum akhirnya menatap refleksi yang ada di cermin. Refleksi yang terpantul di sana benar-benar asing. Seorang cowok dengan rambut cepaknya yang sekarang sudah mulai kepanjangan. Dahi, hidung, dan pipi sebelah kanannya ditutupi perban.

Kemana diriku yang sebenarnya?

***

“Hei!”

Aku menoleh ke belakang karena merasa terpanggil. Tiga orang senior yang dua hari lalu memukuliku sudah berdiri di sana. Mereka berjalan menghampiriku. Rupanya masalahku dengan mereka belum selesai.

Cowok pertama yang memiliki tindik di bibirnya merangkul dengan ‘akrab’. Dia tertawa seolah-olah aku ini teman lamanya.

“Bagaimana kalau kucabut perban jelekmu ini, nak?” ejeknya.

Dia mencabut perban yang menutupi dahiku. Menampilkan luka menganga yang masih basah. Aku merasakan bagaimana kulitku yang luka tertarik ketika dia melepaskan perbanku. Sama seperti biasanya, aku tidak merasakan sakit sama sekali.

“Ouch, apa kita yang meninggalkan bekas luka ini?” tanya cowok kedua yang rambutnya disemir pink.

“Apa kau lupa? Kau yang melempar dahinya dengan batu!” ujar cowok ketiga yang memiliki tattoo di tangan kanannya.

Mereka bertiga tertawa berbarengan seolah hal itu lucu bagi mereka.

“Sudah kubilang jangan minum terlalu banyak. Lihat, kau bahkan tidak ingat sudah melempar batu ke pemuda malang ini,” timpal cowok pertama.

“Apa yang kalian inginkan dariku?” aku menyela guyonan mereka.

Mereka bertiga terdiam. Lebih tepatnya terkejut karena akhirnya aku membuka mulutku.

“Wah, ternyata aku salah menilaimu, nak. Ternyata kau tidak bisu. Mengapa kau tidak berteriak minta tolong saat kami memukulimu?”

“Aku tidak merasakan apa-apa, mengapa aku harus berteriak minta tolong?” Aku memiringkan kepalaku sambil menatap cowok kedua yang barusan melontarkan pertanyaan.

Mereka tertawa lagi. Aku menghela napas panjang dan mengeluarkan dompetku. Meskipun waktu itu isi dompetku sudah habis dijarah oleh mereka, aku yakin Ibu sudah mengisinya lagi. Benar saja, ketika aku cek, dompetku masih tebal dan berisi. Aku mengosongkan seluruh isi dompetku dan menyodorkannya kepada mereka.

“Ambil, aku tahu kalian membutuhkannya.”

Tidak ada yang berani berkata-kata. Tiga pasang mata menatapku seolah aku ini malaikat. Mereka tampak ragu, berpandangan satu sama lain, mengangguk, dan akhirnya mengambil uang dariku.

“Terima kasih.”

Dengan begitu, mereka pergi meninggalkanku. Aku memasukan dompet kosongku ke dalam tas dan melanjutkan perjalanan ke sekolahku yang sempat tertunda. Tapi di depanku, seorang cewek berdiri menatapku. Rasanya aku mengenalinya.

***

“Mengapa kau memberikan uangmu begitu saja kepada mereka?” cewek itu bersikeras menanyakan hal yang sama padaku dan bertekad tidak akan berhenti mengangguku sampai aku memberikan balasan padanya.

Aku mendiamkannya selagi terus berjalan di lorong sekolah. Mengingat sebentar lagi bel masuk berbunyi, lorong ini penuh sesak dengan orang. Tiba-tiba saja, suara obrolan mereka terasa begitu jauh. Begitu jauh hingga lama-lama hanya terdengar seperti dengungan samar-samar. Kepalaku terasa berputar-putar, lalu entah bagaimana aku merasakan tubuhku begitu ringan. Ya, begitu ringan hingga aku bisa melayang. Tepat ketika aku mulai melihat terowongan gelap, aku buru-buru menggelengkan kepalaku.

“Nicholas?” suara cewek itu sekarang terasa begitu keras. Aku berjengit.

“Apa?”

Cewek itu mengernyitkan dahinya. “Harusnya aku yang bertanya padamu. Mengapa kau tiba-tiba berhenti di tengah jalan?”

Ah lagi-lagi di situasi seperti ini, bisikku dalam hati. Aku menarik napas dan menghembuskannya perlahan. Aku menatap cewek itu, memaksakan senyuman, dan berkata, “Mengapa tidak kau saja yang menebak aku kenapa?”

Cewek itu berdecak. Aku segera berjalan lagi. Aku mendengarnya berkata pelan, “Dasar cowok aneh.”

Iya, dia benar. Aku memang aneh, aku tidak normal.

***

Sulit dipercaya. Kakekku tidak salah mengenai peringatan ‘jangan meremehkan kekuatan seorang cewek’. Benar saja, cewek ini begitu keras kepala mendapatkan jawaban dariku bahkan rela menunggu hingga kelasku selesai.

“Mengapa kau masih di sini?”

Cewek itu tampak kesal menunggu. “Kelas terakhirku berakhir dua jam yang lalu. Tapi aku masih menunggumu untuk menanti jawaban.”

“Jawabanku untuk pertanyaan apa?”

Dia memutar matanya kesal. “Apa kau sudah lupa pertanyaanku tadi pagi?” Bahunya lemas dan wajahnya cemberut.

Baiklah, baiklah, aku mengibarkan bendera putih. “Aku akan menjawabmu dengan satu syarat.”

“Apa syaratnya?”

“Kau harus mau ikut denganku.”

Cewek itu menengadah ke atas. “Aku sudah lelah mengikutimu sepanjang hari, Nicholas. Kali ini aku akan ikut kalau kau punya saran tempat duduk yang nyaman.”

“Tentu saja.”

***

Taman belakang sekolah adalah tempat yang paling nyaman. Setidaknya menurutku. Sudah tidak terhitung berapa kali aku melarikan diri ke sini. Oh, biar kuralat. Sudah tak terhitung berapa kali kakiku melangkah sendiri ke tempat ini.

Kini kami berdua sudah duduk bersebelahan di salah satu kursi taman. Dia terus menatapku, meminta jawaban atas pertanyaannya.

“Apa kau ingin sekali mendapatkan jawabannya?”

“Apa belum cukup jelas? Aku mengikutimu sepanjang hari ini!”

“Baiklah, aku akan bercerita. Tolong dengarkan aku.”

***

Semalam sebelum peristiwa itu,

Mataku masih terbuka lebar. Aku sudah berusaha keras untuk tidur selama tiga jam terakhir tapi tampaknya usahaku nihil, aku masih terjaga hingga tengah malam. Aku sudah berusaha untuk membuat diriku serileks mungkin—kurang lebih begitu yang dikatakan semua tips di internet—tapi tetap saja aku tidak bisa tidur.

Lalu tiba-tiba, aku mulai merasa mengantuk. Rasa kantuk yang begitu kuat, perlahan tubuhku mulai rileks, lama-kelamaan aku mulai kehilangan kesadaranku. Selanjutnya aku merasakan sensasi yang sangat kukenal. Tubuhku tidak bisa bergerak, aku mulai mendengar suara-suara aneh, dan akhirnya tubuhku terasa begitu ringan seolah melayang.

Tunggu, aku benar-benar melayang. Aku bahkan bisa melihat diriku terbaring di tempat tidur. Lalu aku terbang keluar kamarku tanpa membuka pintu—alias menembus pintu. Aku terbang ke jalanan, begitu mengasikan rasanya karena tidak ada seorang pun yang dapat melihatku. Aku terus terbang menelurusi jalanan yang kuingat, dan tanpa kusadari aku sudah berada di minimarket dekat sekolah.

Di sana ada tiga orang seniorku yang baru saja keluar dari minimarket. Mereka membawa banyak plastik berisi minuman kaleng. Aku terbang mendekati mereka, cukup dekat hingga aku bisa mendengar seluruh percakapan mereka.

“Sial, uangku sudah habis untuk membeli ini semua,” ujar cowok yang menyemir rambutnya itu.

Cowok yang memiliki tindik di hidungnya itu melempar kaleng minuman alkohol yang sudah ke tong sampah. “Aku bisa dibunuh pria itu kalau aku meminta uang lagi.”

Cowok yang bertattoo itu berbicara, “Mengapa kita tidak merampok saja? Kita sedang mabuk dan itu bisa dijadikan sebuah alasan!”

Mereka semua—yang sudah mabuk— setuju dengan ide itu tanpa terkecuali.

***

“Malam itu aku mengikuti mereka. Aku menyaksikan seluruh aksi mereka merampok.”

Cewek di sebelahku menutup mulutnya. “A—apa yang barusan tadi benar-benar kau saksikan?”

Aku mengangguk.

“Mengapa kau tidak melaporkannya ke polisi? Atau paling tidak ke sekolah? Apa kau tinggal diam melihat mereka seperti itu?”

Aku menggeleng pelan. “Aku belum bilang kalau ceritaku selesai.”

***

Setelah mereka merampok rumah-rumah, mereka pergi ke sebuah rusun kumuh. Letaknya begitu jauh dari pusat kota hingga aku tidak tahu kalau rusun seperti itu ada. Mereka berkumpul di gang kecil yang sepi lalu mulai menghitung uang hasil merampok mereka dalam diam. Setelah itu mereka membagikannya sama rata.

“Baiklah, sekarang kita akan menghadapi tantangan yang sebenarnya,” ujar salah satu dari mereka.

Aku bingung. Apa merampok tadi belum dikategorikan sebagai tantangan bagi mereka? Mereka semua tampak sedih sekarang. Kupikir mereka menyesali perbuatan mereka, tetapi ternyata tidak. Mereka akhirnya masuk ke rumah mereka masing-masing tanpa mengucapkan sepatah kata lagi.

Aku rasa aku sudah cukup mengganggu privasi mereka dengan menyaksikan seluruh aksi perampokan mereka. Tapi masih ada sesuatu yang mengganjal, sesuatu yang kurasa tidak benar. Oleh karena itu, aku mengikuti cowok yang bertindik itu sampai ke rumahnya.

***

“Apa yang kau lihat di rumah cowok itu?”

“Aku melihat penindasan yang dilakukan oleh Ayahnya. Ayahnya mencambuk cowok itu berkali-kali, begitu mengerikan. Aku berani bilang lukanya jauh lebih menyakitkan dari lukaku.”

Cewek itu terdiam. “Apa kau mengunjungi rumah cowok bertattoo itu?”

“Ibunya baru pulang. Setelah aku mendengarkan percakapan mereka, ternyata Ibunya mencari nafkah sebagai wanita penghibur.”

Cewek itu tampak lebih terkejut lagi.

“Mungkin kau akan bertanya soal cowok yang menyemir rambutnya. Ayahnya mengalami sakit jiwa, schizophrenia kalau boleh kutebak.”

“Kau sudah tahu alasanku mengapa aku menyerahkan uangku kepada mereka?” lanjutku.

Cewek itu mengangguk. Aku bangkit berdiri dan mengambil tasku, bersiap untuk pulang. Kupikir cewek itu sudah menyerah, tetapi tidak.

“Boleh aku bertanya satu hal lagi?” Aku mengangguk.

“Lalu mengapa kau tidak melawan saat kau dipukuli?”

Aku menyeringai. Aku menyentuh puncak kepalanya dan mengusap rambutnya pelan.

“Kau harus belajar untuk tidak banyak bertanya. Setiap orang memiliki pertarungannya masing-masing.”

“Lalu apa pertarunganmu?” tanyanya masih bingung.

“Aku tidak bisa menggerakan tubuhku.”

Dia semakin bingung. “Kurasa itu bukanlah jawaban.”

Aku melangkah menjauh darinya. Dia sudah begitu kesal hingga berteriak, “Dasar cowok sakit jiwa!”

Aku harusnya marah ketika ada orang yang meneriakiku seperti itu, tetapi aku malah merasa senang. Aku membalik badan dan melemparkan senyumku padanya.

“Selamat, kau adalah orang pertama yang menyadari hal itu.”

 

17.35 14/12/2017