Orion

Semua orang memiliki keindahan masing-masing. Kita hanya terlalu terpaku pada standar kecantikan yang baku hingga melabeli kecantikan di luar standar itu dengan label ‘jelek’. Tidak seharusnya kita menyalahkan Tuhan. Standar kecantikan itu yang salah dan harus diperbaiki.

                                                                                       DI BALIK LAYAR
 

Kelas yang tadinya gaduh dengan berbagai macam obrolan seketika menjadi hening saat seorang guru memasuki kelas.

“Semuanya, dengarkan! Teman kalian Maya memenangkan perlombaan menulis puisi yang beberapa waktu lalu diadakan. Berikan selamat.”

Riuh tepuk tangan memenuhi seluruh penjuru ruangan. Ucapan selamat terdengar bersahut-sahutan. Maya terlihat kaget namun juga senang sekali. Matanya seolah dipenuhi kilauan. Bibirnya tak henti mengulumkan senyuman.

“Tapi...Sarah!”

“Eh?” Gadis yang dipanggil Sarah terlonjak kaget. Ia berdiri sambil mencoba mengingat-ngingat kesalahan yang dilakukannya. Ia sama sekali tidak menyangka namanya akan disebut tiba-tiba. “Iya Bu? Ibu memanggil saya?”

 “Sarah, besok kamu saja yang mewakili sekolah untuk mengambil hadiah. Tidak apa-apa kan, Maya?”

Tepuk tangan berhenti. Semua menatap Maya—yang rona wajahnya sudah berubah total. Warna di wajahnya hilang sudah. Kini ia pucat pasi.

 “Maaf. Tapi kenapa harus saya, Bu?” Sarah melontarkan protes. “Kan bukan saya yang ikut lomba, tapi Maya.”

“Sarah. Sebagai sekolah favorit, sudah sewajarnya perwakilan sekolah harus cantik. Apalagi besok banyak orang penting yang akan hadir, termasuk Bapak Walikota. Dan acara akan diliput juga. Ini benar-benar acara yang sangat penting. Kalian harus mengerti beban sekolah sekaliber sekolah kita ini. Bagaimanapun, kita harus memperlihatkan yang terbaik dalam segala hal.”

 “Tapi, Bu...”

“Sudah, Sarah. Kamu lakukan saja. Tidak akan ada pihak luar yang tahu. Kalau internal sekolah kita, Ibu yakin tidak ada yang keberatan.”

“Tapi...Maya...”

“Tidak usah khawatir. Maya pasti mengerti. Iya kan, Maya? Lagipula Sarah hanya mewakilkan. Maya tetap akan mendapat hadiahnya. ”

Sarah tetap mencoba mengutarakan protesnya, sementara Maya masih terus mematung. Gadis itu tak bisa berkata apa-apa saking shocknya.

***

Bel istirahat baru saja berbunyi. Sementara teman-teman sekelasnya menghambur ke kantin untuk jajan, Maya duduk termangu. Matanya menerawang melewati jendela dengan tirai yang setengah terbuka. Ia sedang membayangkan Sarah dan belasan kamera yang pasti sedang memotretnya saat ini. Esok hari berita itu akan dimuat di Harian lokal dengan kata kunci siswi cantik berprestasi atau semacamnya.

Maya menghela napas. Ah. Sejak tadi pagi pikirannya memang mengembara entah kemana. Semua pelajaran yang diajarkan bahkan tidak masuk ke kepalanya. Hmm. Mungkin ia akan izin ke ruang kesehatan saja lalu tidur seharian disana. Lagipula ia memang sedang merasa tidak enak badan.

Sesampainya di ruang kesehatan tubuhnya langsung ia rebahkan. Matanya menerawang. Benaknya dipenuhi pertanyaan.

Sarah. Gadis itu memang sering diminta untuk menjadi perwakilan sekolah pada berbagai acara. Tapi kenapa harus pada acara seperti ini juga? Bukankah seharusnya ia yang berada disana? Bukankah seharusnya ia yang menerima penghargaan atas prestasi yang telah dicapainya? Kenapa harus Sarah? Kenapa bukan dirinya? Karena Sarah cantik dan ia jelek?

Entah berapa lama Maya melamun. Tiba-tiba saja ia dikejutkan oleh bunyi pintu yang digebrak terbuka. Terlihat Sarah bergegas menyongsong ke arahnya.

“May! Aku permisi lebih cepat. Kudengar kamu di ada di ruang kesehatan dan ternyata benar. Ini hadiahmu. Selamat. Kamu hebat.”                                                                             

“Oh. Terima kasih.”

“Amplop ini terlihat tebal. Hadiahnya pasti banyak ya? Tapi kenapa kamu terlihat tidak senang? Apa hadiahnya kuambil saja? Hahaha...” Sarah bercanda sambil sedikit menggoda, mencoba mencairkan suasana.

Maya memaksakan seulas senyum. Ia menatap hadiahnya dengan ragu-ragu. Sebuah amplop dan juga bingkisan. Itu apresiasi yang cukup menyenangkan. Namun saat ini ia sedang tidak membutuhkan apresiasi seperti itu. Yang diharapkannya hanyalah pengakuan yang rasanya memang berhak ia dapatkan.

“Ya sudah. Hadiah itu untukmu saja. Aku tidak terlalu membutuhkannya.”

“Eh? Maaf, tadi aku hanya bercanda. May, kamu marah?”

“Tidak.”

“Aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bermaksud...”

“Tidak apa-apa. Kamu tidak melakukan kesalahan.”

“Maaf...”

Maya mengangguk pelan sekali lalu membalikkan tubuhnya tak peduli.

“Aku benar-benar minta maaf, May...”

“Sudah kukatakan, tidak apa-apa. Kamu tidak perlu minta maaf padaku. Toh ini tidak benar-benar penting. Hanya masalah sepele. Aku saja yang terlalu perasa dan membesar-besarkan api yang seharusnya tidak ada.”

Maya berbalik lagi untuk menatap Sarah, bibirnya membingkaikan seulas senyuman. Tapi Sarah yakin sekali ia melihat kilas kemarahan yang bercampur dengan keputusasaan di mata sang teman.

***

Ingatan beberapa tahun silam kembali menghantui Sarah. Tiba-tiba saja ia teringat Maya lagi. Sejak insiden itu Maya jelas menghindarinya. Gadis itu juga tidak pernah lagi mengikuti lomba. Sarah bahkan sangsi Maya  masih menulis. Semua karena salahnya.

Benci. Maya membenciku. Ia marah padaku. Maya...

“Dunia ini terlalu menuhankan kecantikan. Apa-apaan!”

Sarah menoleh. Ah. Ia hampir lupa bahwa saat ini ia sedang makan siang bersama dua orang temannya. Pembahasan tentang kecantikan membawanya kembali pada kenangan itu. Kenangan masa lalu yang tadi sempat menyita habis perhatiannya.

“Yang kusesali itu...” temannya—yang tadi memulai pembicaraan tentang pengalaman magang dan standar kecantikan, kembali bicara. “Kenapa daftar riwayat hidup hanya diseleksi dari foto saja. Jadi kesannya yang kita jual itu bukan keterampilan tapi penampilan. Memang ada banyak sekali berkas yang harus diseleksi sih...tapi melihat dari cantik-tidaknya saja, bukankah itu sangat menghina? Aku menyesal memilih magang di bagian HRD. Jadi harus menyaksikan hal seperti itu.”

Sarah masih diam. Ia hanya memperhatikan teman-temannya sambil sesekali menyeruput minuman yang tersaji di hadapan.

“Kan tidak semua sistemnya seperti itu. Lagipula, optimis saja. Mungkin yang kamu saksikan hanya seleksi tahap awal. Setelah berkas-berkas itu diseleksi secara cepat, akan ada seleksi lagi yang dilakukan dengan lebih cermat. Kali ini mengutamakan kemampuan.”

“Tapi tetap saja tidak adil kan. Bagaimana kalau ada yang punya kemampuan cukup baik tapi harus tersisih di awal hanya karena sistem seleksi yang seperti itu? Apa kecantikan lebih penting dari kemampuan?”

“Hah...iya. Dunia memang tidak adil pada orang-orang di bawah standar. Ada banyak sekali contohnya. Lihat saja persyaratan untuk duta-duta itu. Yang penting cantik dan tinggi dulu. Keterampilan nomor dua.”

“Orang-orang seperti Sarah, sih, hidupnya pasti mudah.”

Celetukan itu membuatnya Sarah tersedak.

“Iya. Cantik gitu. Tiap jalan juga dia yang paling disadari keberadaannya.”

“Hah? Kalian bicara apa? Kalian pikir digoda oleh orang-orang tak dikenal di pinggir jalan itu sebuah prestasi yang membanggakan? Itu penghinaan. Lagipula, bicara soal kecantikan, aku ini biasa-biasa saja.”

“Biasa-biasa saja? Hahaha. Setuju. Sebenarnya Sarah cukup cantik sih. Tapi kalau dibandingkan, misalnya dengan orang-orang sekaliber Andini...”

“Andini? Yang dari fakultas seni?”

“Ya. Kalau dibandingkan dengan Andini, Sarah masih kalah. Aura keberadaannya pasti akan sirna kalau Andini ada di sampingnya. Sama seperti kita. Hah. Orang cantik memang beda.”

 “Maaf,” Sarah menyela. “Tapi kenapa kita harus membanding-bandingkan satu sama lain begini? Mau Andini atau siapa pun, bukankah kita semua sama saja? Masing-masing dari kita punya kelebihan dan kekurangan. Kecantikan atau keindahan bukan standar tertinggi untuk mendapat pengakuan. Lagipula, aku percaya bahwa setiap manusia diciptakan Tuhan dengan indah. Meski kadang kita tak menyadari keindahan sendiri karena terlalu sibuk mendewakan keindahan orang lain...”

“Duh, maaf Sar. Bukan maksud kami membanding-bandingkan. Tapi memang begitulah dunia ini, kan? Selalu ada yang di atas dan di bawah, yang lebih tinggi dan lebih rendah, yang cantik dan yang jelek, yang diperlakukan istimewa dan yang diperlakukan semena-mena. Di masyarakat mana pun, sistem seperti itu sudah mendarah daging. Kita tidak akan bisa mengubahnya.”

“Ah, sudahlah. Kepalaku pusing. Aku pulang saja. Sampai jumpa lain waktu, ya.”

“Sarah!”

“Da-dah!” Sarah bergegas bangkit dan pergi meninggalkan teman-temannya.

***

Minggu pagi. Sarah mengecek jadwal hariannya. Seharusnya hari ini libur. Tetapi sebagai pecinta komunitas, Sarah punya segudang kegiatan. Pukul 10 akan ada kegiatan volunteer membersihkan sampah di alun-alun kota. Lalu siang nanti ia akan makan bersama teman. Pukul 2 siang berkumpul dengan komunitas pecinta bahasa. Dan juga...pukul 4 sore nanti akan ada pertemuan rutin komunitas menulis.

***

Tempat pertemuan komunitas menulis kali ini sepertinya tidak terlalu ramai. Sebuah kedai kopi di pinggir kota.

Sarah membuka pintu dan melangkah masuk. Interior cafe terlihat manis dengan kesederhanaan yang elegan. Alunan musik jazz menyambutnya, memanjakan pendengaran.

“Sarah! Disini!”

Sarah menoleh. Beberapa orang terlihat melambai padanya.

“Hei. Apa aku terlambat?”

“Tidak. Hanya saja hari ini ada anggota baru, jadi kami datang agak cepat. Duduk dan berkenalanlah. Ini Maya.”

“Maya?”

Sarah membelalak kaget. Gadis di hadapannya...itu benar-benar Maya.

“Maya! Ini aku, Sarah. Masih ingat padaku, kan?”

“Ah...ya,” Maya tertawa. Ia terlihat tak menyangka. “Tentu saja ingat. Bagaimana bisa lupa?”

“Ah...maaf. Aku...aku senang melihatmu lagi, Maya. Bagaimana kabarmu?”

 “Saya baik-baik saja. Seperti yang kamu lihat.”

Sarah tak menyangka ia akan bertemu Maya. Suasana di antara mereka berdua canggung, tentu saja. Tetapi Sarah senang karena setidaknya Maya sudah bersedia memaafkannya. Lagipula minat menulis Maya sudah kembali, dan itu adalah hal yang lebih penting. Bagaimanapun, bakat menulis Maya adalah hal hebat yang tidak seharusnya disia-siakan.

Untuk beberapa lama mereka asyik membahas seputar dunia kepenulisan. Semua orang terpana pada Maya yang memiliki banyak wawasan. Ia membuat diskusi menjadi lebih berwarna dan tak sungkan membagi pengetahuan. Ya. Maya memang hebat. Sayang sekali selama ini kehebatannya tertutupi. Seandainya ada lebih banyak lagi yang menyadari kehebatannya.

Namun kemudian pertemuan mereka yang menyenangkan terdistrupsi saat seorang gadis menghampiri sambil menyapa ceria. Andini! Sejak kapan Andini ikut komunitas ini?

“Halo. Maaf aku telat. Tadi bantu teman untuk jadi modelnya.”

“Wah, Andini! Tidak apa-apa, kami belum lama. Duduklah.”

“Lho? Kamu sekarang jadi model, Di?”

“Hahaha...cuma bantu teman kok. Dia butuh model untuk, hmm, belajar-belajar fotografi. Katanya mau coba ikut lomba.”

“Begitu ya? Kalau modelnya Andini sih pasti menang.”

“Iya, iya.”

Seketika semua perhatian teralih pada Andini dan pembicaraan menjadi tak relevan. Sepertinya hampir semua orang sudah lupa pada tujuan awal mereka bertemu di sana.

“Ah. Andini memang cantik sekali ya. Yang paling cantik disini pasti Andini.”

“Kalau ada yang paling cantik pasti ada yang paling jelek! Siapa? Hahaha.”

“Ah...”

Saat itu, hampir semua kompak melirik ke arah Maya. Tidak laki-laki, tidak perempuan. Mereka tidak mengatakan apa-apa. Tetapi tatapan mereka sudah menyiratkan semuanya.

Sarah menunduk, berusaha meredam amarah yang menggelegak. Persetan dengan kecantikan. Tahu apa orang-orang itu soal Maya? Andini memang cantik. Lantas, kenapa? Memang nilai seorang perempuan itu hanya pada kecantikan saja? Mereka disini untuk membahas tulisan, bukan kecantikan. Kenapa pula kecantikan harus dipermasalahkan—harus diurutkan dari yang tercantik sampai yang terjelek?

Mata Sarah teralih pada Maya. Kulitnya legam khas warga pesisir. Tubuhnya memang lumayan berisi, tetapi sempurna. Bagaimana bisa orang-orang mengimplikasikan bahwa Maya jelek? Padahal matanya yang bercahaya merefleksikan pemikiran cemerlangnya. Tutur katanya halus dan pembawaannya anggun. Dan lebih dari semua itu, Maya adalah penulis yang hebat. Teman diskusi yang menyenangkan. Pemateri yang penuh wawasan. Kenapa semua kelebihannya harus tertutupi oleh penilaian yang didasarkan pada omong kosong berupa standar kecantikan?

Sarah menarik napas dalam-dalam. Berharap tidak ada seorang pun yang menyadari perubahan suasana hati yang ia alami.

***

“Maya...maafkan aku. Pertemuan tadi...”

“Oh,” Maya menghentikan langkahnya. “Tidak apa-apa kok Sarah. Saya sudah tidak peduli pada hal-hal seperti itu. Dulu setelah kejadian di sekolah, saya sempat berpikir: kenapa Tuhan harus menciptakan kita berbeda-beda? Kenapa tidak semuanya diberikan kecantikan yang setara? Kalau saja saya secantik Sarah, saya pasti akan mendapatkan pengakuan yang pantas saya dapatkan.”

“May...”

“Tapi kemudian, rentetan kejadian menyadarkan saya. Semua orang memiliki kecantikan dan keindahan masing-masing. Kita hanya terlalu terpaku pada standar kecantikan yang baku hingga melabeli kecantikan di luar standar itu dengan label ‘jelek’. Saya sadar. Tidak seharusnya menyalahkan Tuhan. Standar kecantikan itu yang salah dan harus diperbaiki. Sekarang saya tidak merasa jelek, kok. ”

“Tapi...”

“Saya tahu tidak banyak yang menyadari keberadaan saya, sebab keberadaan saya sangat redup. Keberadaan yang redup itu pun akan segera menghilang jika tertutupi cahaya lain yang lebih terang. Tapi saya percaya bahwa Tuhan tidak salah menciptakan. Saya yakin saya punya kelebihan. Dan sekarang saya sedang berusaha untuk mengasah kelebihan itu.”

Maya...

Bahkan meski keberadaannya tersembunyi di balik layar, gadis itu tetap bersinar. Cahayanya akan tetap merembes keluar meski ia berada di belakang panggung. Sarah berharap akan lebih banyak orang yang menyadari cahaya itu.

Ah. Tapi bahkan meski tidak banyak yang menyadari, Maya tidak akan peduli. Bukankah matahari masih tetap menyinari hari meski tidak ada yang berterima kasih padanya? Sarah merasa, seperti itulah Maya.