Juju17

Berhentilah menyia-nyiakan waktu. Sebelum Dia mentertawakanmu, yang berkubang dalam penyesalan, dan mengemis untuk memutar kembali masa lalu.

Suara derit kursi yang tertangkap pendengaran, membuatku mengangkat wajah dari buku yang sedari tadi menyita perhatian, "mau kemana?"

"cabut," jawabnya, tanpa menoleh ke arahku karena sibuk menarikan jemari pada Handphone yang berada di tangannya.

mengela napas lelah, aku memilih menutup buku yang tak lagi menarik perhatian, karena sudah beralih pada sosok yang berdiri di samping meja, "udah mau kelas, Ren,"

"terus?" kali ini Reno menolehkan wajahnya ke arahku, setelah menyimpan benda pipih yang terkenal pintar itu di dalam saku seragam sekolahnya.

"kamu nggak berminat buat nambah daftar Alpa di absensi kamu, kan?"

"kenapa nggak?" Reno menjawab tak acuh, seraya menyampirkan ransel hitam pada bahu sebelah kirinya. Ransel yang aku yakini di dalamnya hanya berisikan satu buku tulis--karena urusan pulpen dia lebih suka menjarah milikku, meski dengan embel-embel meminjam yang nyatanya tak akan pernah lagi kembali ke tangan pemiliknya. Selain buku tulis, ada beberapa barang lain yang menghuni ransel hitam milik Reno. ada kaus, yang biasa di gunakannya saat membolos. Serta barang yang tak pernah absen menemani keseharian pemuda itu--Rokok, beseta pemantik. Yang bak dua sejoli tak terpisahkan, karena selalu bersama, bahkan semenjak Reno masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Aku sering--bahkan nyairs bosan menasehatinya untuk berhenti, atau paling tidak mengurangi konsumsi Rokok. Dalam sehari, Reno bisa menghabiskan tiga bungkus Rokok. Dia bahkan lebih rela perutnya keroncongan, ketimbang mulutnya gatal karena tak bisa menghisap benda berisis Nikotin itu.

Lihat?

aku bahkan tahu begitu banyak hal tentang seorang Reno. Bukan karena memiliki indera keenam, apalagi karena menaruh perhatian berlebihan layaknya pacar dan semacamnya. Karena demi apapun, aku masih menyukai gadis cantik, bahkan mendamba Isyana Saraswati sebagai pacar idaman. Aku dan Reno sudah bersahabat sejak masih mengenakan seragam merah putih, hingga berganti menjadi putih abu-abu. Dari sosok Reno yang hanya bocah kurus, penakut, dan cengeng. Sampai bertransformasi menjadi pemuda keras kepala, seenaknya, dan kadang lupa mengenal rasa takut. Membolos jam pelajaran, merokok di belakang sekolah, memalak uang jajan adik kelas, hingga ikut tawuran bersama beberapa siswa lainnya.

"otak kamu nggak keram, setiap hari di jejali sama rumus-rumus mengerikan seperti itu?" Reno mengedikkan dagunya ke arah buku fisika yang tergeletak di hadapanku. "astaga, Al, umur kita bahkan belum genap tujuh belas tahun. Berhentilah menjadi manusia kaku dan membosankan. Sesekali coba ikutan cabut, gimana?"

"kita sudah kelas tiga, Ren, nggak ada lagi waktu buat--"

"justru karena sudah kelas tiga, kita harus melakukan semua hal yang perlu di coba, selagi masih muda. Cerita masa SMA kalo cuma di isi buat belajar, mana berkesan?" melambaikan tangan, Reno beranjak pergi, bahkan tanpa perlu repot-repot untuk menunggu balsan dariku, yang akhirnya hanya bisa diam seraya menggelengkan kepala samar. Entah harus seperti apa lagi aku harus menegur Reno. Karena semua hal yang aku ucapkan, tak ubahnya sekadar angin lalu yang bahkan tak bisa menggelitik pendengarannya.

kelas yang tadinya cukup lengang, kini mulai di ramaikan celotehan para siswa yang sudah memasuki kelas. Mengingat, bel penanda masuk sudah berteriak lantang mengusik pendengaran, beberapa saat lalu. Dan tak butuh waktu lama, bagi para siswa untuk menduduki tempat mereka masing-masing. Suara bising di dalam kelas perlahan lenyap tertelan senyap. Aku mengarahkan pandangan ke tempat di mana para siswa lainnya juga terarah pada satu titik yang sama. Ambang pintu. Dimana penglihatanku menangkap sesosok pria paruh baya dengan tubuh tambunnya yang terbalut kemeja biru polos.

Suara detak jarum jam yang tertempel di dinding kelas, seolah bersahutan dengan suara sepatu yang beradu dengan dinginnya lantai. Tak ada yang berani untuk membuka suara, saat Pak Budi--Guru Fisika--yang kini telah menempatkan diri di balik meja Guru. Melempar tatapan ke arah para siswa. seolah tengah memindai keadaan setiap sudut ruang kelas. Sebelum akhirnya, tatapan beliau terhenti, pada kursi tak berpenghuni di sebelah kiri tempat dudukku. Aku hanya bisa meringis canggung, saat tatapan mata Pak Budi berpindah ke arahku. Seolah melempar tanya tanpa kata "penghuni kursi di sebelahmu itu, membolos, lagi?" dan seolah melempar balasan untuk perbincangan tak biasa ini, aku mengangguk kikuk, sebagai jawaban atas pertanyaan tak tersirat dari Pak Budi. Tentang keberadaan Reno, yang entah melakukan kekacauan apa lagi di luar sana. Anak itu tak pernah jera. karena yang terpenting saat ini untuknya adalah, melakukan apapun yang dia suka selagi masih muda, dan sebelum tubuh mulai menua.

***

Tak seorang pun yang bisa menghentikan laju waktu. Jika kita tak sigap untuk memanfaatkannya sebaik mungkin, maka tak ada hal berharga yang bisa di goreskan pada setiap waktu yang telah berlalu. Sama halnya dengan kehidupanku yang seolah merangkak begitu cepat. Aku yang beberapa tahun lalu hanyalah anak remaja yang tengah sibuk berkutat dengan tugas sekolah, dan mulai merancang masa depan. Kini telah menginjak usia dewasa.

Dari balik pantulan cermin, aku menemukan sesosok pria dengan balutan seragam Kepolisian yang tampak gagah. Terlebih, dengan segaris senyum menawan yang saat ini tengah ia tampilkan.

"jika saja cermin itu bisa bicara. Dia pasti sudah mengeluh bosan, karena harus terus-menerus menampilkan bayanganmu,"

Menolehkan wajah ke arah kiri, aku mendengkus ketika mendapati pelaku utama yang sudah mengoyak moodku yang sebelumnya secerah matahari meneriakkan pagi. Pria yang juga mengenakan seragam Kepolisian sepertiku itu tengah membasuh tangannya di Wastafel, sebelum kemudian mengangkat pandangan, untuk menemukan wajah masamku dari balik pantulan cermin.

"astaga ..., coba lihat? kau sekarang malah seperti gadis remaja yang tengah merajuk karena tak di apeli saat malam minggu,"

"kau tidak memiliki keahlian lain selain menghancurkan mood seseorang?"

Bukan balasan kata-kata yang aku dapatkan, melainkan gelak tawa membahana yang mengisi toilet pria yang tengah lengang. meski posisi kami bersebelahan, tapi anehnya aku dan Putra--rekan kerjaku di Kepolisian, justru melakukan komunikasi melalui pantulan cermin.

"kenapa malah bergosip? cepat ganti baju, waktu kita tidak banyak." suara lantang itu mengejutkan kami berdua. menoleh ke arah belakang, kami menemukan sesosok pria paruh baya, namun masih tampak gagah, meski hanya dengan sebuah t-shirt abu-abu yang melekat pada tubuh tingginya. Sosok itu kini tengah berkacak pinggang, melempar tatapan ke arahku dan Putra. Mendapat teguran tak terduga, membuat kami hanya bisa meringis, sebelum tergesa memasuki bilik kosong untuk berganti pakaian.

Hari ini kami akan melakukan penyamaran, demi bisa mengintai target yang sudah di incar sejak beberapa bulan lalu. Para gembong pengedar obat-obatan terlarang. Sialnya, kehadiran kami sepertinya sudah terendus oleh para gerombolan pengedar narkoba itu, yang terkenal lihai dan selalu berhasil meloloskan diri. Tapi tidak untuk kali ini. Kami tak akan lagi kehilangan mereka.

Keadaan mulai tak kondusif, aksi kejar-kejaran tak bisa terelakkan. Teriakan bahkan suara tembakan peringatan beberapa kali mengoyak suasana hening di sebuah gedung tua yang tak lagi terpakai. hari yang mulai beranjak malam, membuat keadaan menjadi temaram. Cukup menyulitkan karena penglihatan menjadi terbatas. Kami memang nyaris melakukan pengintaian seharian, dan ketika matahari menenggelamkan diri, kami baru bisa bergerak untuk meringkus para pelaku. Gerombolan itu sengaja berpencar untuk mengelabui kami. Aku dan rekan yang lainnya ikut berpencar untuk mengejar mereka.

"Anda sudah dikepung! menyerahlah!" di tengah deru napas yang belum terkendali, aku berusaha meneriakkan peringatan pada salah satu pelaku yang tak bisa lagi melarikan diri, karena di hadapkan pada tembok besar dan cukup tinggi.

"angkat tangan dan segeralah menyerah!" masih dengan sikap waspada, aku menodongkan pistol pada pria bertubuh tinggi dan kurus itu. Rambut ikalnya tampak sedikit memanjang, celana Jeans dan kaus hitam yang di kenakannya tampak sedikit kumal. Sikap waspada segera aku tunjukkan, bahkan mempererat pegangan pada senjata yang masih berada dalam genggaman. Ketika tiba-tiba saja sosok itu membalikkan tubuh.

Dan ketika penglihatanku menangkap lebih jelas wajah itu. Jantungku seolah meluruh ke dasar perut. Ketika mendapati wajah tak asing yang juga tengah menatap lekat ke arahku. Nyaris sepuluh tahun. Tentu bukanlah waktu yang bisa dianggap remeh. Namun nyatanya, sosok itu belum terkikis dalam ingatan. Aku bahkan seperti terlempar kemabli ke masa lalu. Masa-masa di mana menjalani sekolah tingkat akhir dengan bangku kosong di sisi kiriku yang tak pernah lagi berpenghuni. Kenakalan yang dilakukan Reno tak bisa lagi di tolerir. Dia, membuat salah seorang siswa dari sekolah yang sering terlibat tawuran dengan sekolah kami, kritis. Akibat sabetan senjata tajam yang di lakukan Reno. Belum lagi, deretan Indisipliner yang Reno lakukan selama ini di sekolah, seakan membuat pihak sekolah tak bisa lagi memberi pilihan, selain memutuskan untuk mengeluarkannya dari sekolah.

"Reno,"

Hanya dalam hitungan detik, ketika nama itu berhasil terucap dari bibirku. Suara tembakan yang seakan beradu dengan jerit kesakitan Reno, melumpuhkan kesadaranku. Bahkan dalam mimpi buruk sekalipun, aku tak pernah mau di hadapkan pada situasi semacam ini.

"Dia nyaris melarikan diri, kenapa kau hanya bengong, Aldrian?" tanpa harus mengalihkan tatapan dari tubuh Reno yang kini telah rubuh mencium tanah, aku tahu jika suara bernada kesal itu milik Putra. "kau tahu melamun di saat bertugas itu sangat fatal. Terlebih, kita tengah berhadapan dengan para gembong narkoba yang berbahaya." setelah memuntahkan semua rasa kesalnya karena sikap lalaiku, Putra mendekati Reno yang tengah mengerang sakit karena luka tembak di kakinya. Aku bahkan tak sadar ketika Reno mencoba melarikan diri.

***

Suara deri kursi yang tertangkap pendengaran, membuatku kembali menginjak kesadaran. Setelah sebelumnya hanyut dalam lamunan, hingga tak menyadari kehadiran seseorang yang sedari tadi aku tunggu. Mengangkat wajah, aku menemukan sosok itu tengah berusaha mendudukan diri pada kursi kosong di hadapanku. Dibantu salah seorang Sipir, mengingat luka tembak di kaki Reno, yang membuatnya sedikit kepayahan ketika bergerak. Bahkan tak jarang meringis menahan sakit.

Hari ini aku menemuinya bukan untuk menginterogasi sebagai petugas kepolisian. Melainkan sebagai seseorang yang sudah lama tak bertemu dengan sahabatnya. Dengan wajah kuyu yang berusaha membentuk segaris senyuman yang justru begitu miris di penglihatanku. Reno akhirnya membuak suara, "kau menjadi orang hebat," suara serak itu melenyapkan sunyi di antara kami. Setelah sebelumnya hanya saling berdiam diri dengan pikiran masing-masing.

"jika saja aku mendengar celotehanmu dulu. Apa mungkin keadaannya akan berubah?"

"kau menyesal?"

"sangat,"

"lalu kenapa kau semakin merusak diri? bukankah seharusnya kasusmu saat SMA dulu, dijadikan pelajaran agar tak lagi melakukan hal yang hanya merugikan dirimu sendiri?!"  letupan kemarahanku membuat Reno bungkam. Dia bahkan menundukkan kepala dengan dalam, layaknya anak kecil yang ketakutan karena mendapat kemarahan dari orang tuanya, karena sudah berbuat nakal. mengela napas untuk mengendalikan emosi, aku kembali berucap, "kuharap, kali ini kau benar-benar mampu menata diri."

"aku tak memiliki harapan," menggelengkan kepala samar, Reno menjawab putus asa.

"kau tahu, Ren? tak ada satu pun dari kita yang bisa merubah masa lalu. Tapi setidaknya, kita bisa merangkai masa depan agar bisa lebih baik dari yang lalu. Dan semua itu di mulai pada saat ini."

"kau tahu, Al? ini terdengar menggelikan, tapi jujur, setelah sekian lama, aku merindukan celotehanmu ini," ucapnya seraya terkekeh. yang dengan cepat menular kepadaku, yang ikut tertawa bersamanya. Astaga ..., sudah berapa lama kami tak lagi berbincang seperti ini?

Rasa canggung di antara kami mulai terkikis. Dan obrolan hangat layaknya dulu mulai kembali tercipta. Bahkan kami tak sadar sudah berapa lama saling berbincang. menceritakan kehidupan masing-masing.

"waktu kunjungan habis." Sipir yang tadi mengantar Reno, datang. menginterupsi sejenak perbincangan di antara kami.

"terima kasih," ucap Reno kepadaku setelah berdiri di bantu petugas.

"untuk?"

"semuanya, terutama ... karena masih sudi mengakuiku sebagai sahabat,"

Aku ikut berdiri, mendekat ke arah Reno, sebelum memeluknya sembari menepuk-nepuk punggungnya sebagai bentuk dukungan. Mengabaikan tatapan sang Sipir yang berdiri di sebelah kami. Membuatku nyaris tertawa geli, karena mungkin saja aksiku ini terlihat seperti drama-drama di tv,

"hentikan pelukanmu, sebelum tersebar berita menggelikan tentang kita berdua," gerutuan kesal Reno justru memecah tawa yang sedari tadi kutahan. Melepas pelukan, aku menepuk pundak Reno untuk terakhir kalinya. Sebelum pria itu dengan tertatih di tuntun petugas untuk kembali ke dalam sel tahanannya. Menjalani hukuman atas perbuatan yang dia lakukan.

 

The End