Mengagumi bukanlah suatu kesalahan. Hanya saja bukanlah suatu hal yang pantas untuk diharapkan
Aku dan Pria di Seberang Jalan Itu
Sosok pria itu begitu sangat mengagumkan dimataku. Begitu terpesonanya aku dengan pria itu, hingga tak mampu melepaskan pandanganku darinya walau hanya sekejap. Tak pernah aku bertemu sebelumnya dengan sosok pria yang seperti kulihat saat ini. Pria itu memiliki wajah yang tampan dengan postur tubuh yang tinggi atletis. Tanpa kusadari dirinya telah banyak menyita waktuku belakangan ini dan memenuhi setiap sudut pemikiranku hingga aku tak sadar dirinya sudah begitu memikat hatiku. Entah sejak kapan hal ini terjadi, aku pun tak tahu.
* * *
Di sore hari sepulang kuliah, aku biasa duduk di sebuah halte yang tak jauh dari kampus. Sambil menunggu datangnya bus, kualihkan pandangan ke sekeliling. Pandanganku pun terhenti ketika bola mataku menangkap sosok pria yang tengah duduk di halte seberang jalan berhadapan tepat dimana halte tempatku duduk. Meskipun jarak pandang tidak terlalu dekat dan terhalangi oleh kendaraan yang berlalu lalang, hal itu tidak membuatku berhenti untuk tetap memandangnya.
Pria itu begitu terlihat berbeda dari yang lainnya. Dia terlihat sangat rapi dengan kemeja berwarna coklat susu yang dikenakannya, dipadu dengan dasi berwarna coklat yang melekat dikemejanya. Wajahnya masih terlihat segar dengan rambutnya yang disisir rapi seperti penampilan hendak berangkat kerja di pagi hari.
Sangat berbeda ketika kubandingkan dengan pria yang tidak jauh berada disampingnya, dengan penampilan yang terlihat berantakan dengan dasi dan kemeja yang dibiarkan setengah terbuka serta rambut yang sedikit acak-acakan.
Rasanya baru saja aku kembali memandangnya, bus dari arah seberang juga telah tiba. Dia pun telah pergi bersama berlalunya bus tersebut. Kesal yang kurasakan menyadari bus itu begitu cepat datangnya. Namun, aku tidak begitu kecewa. Karena setidaknya aku sudah memastikan bahwa pria itu ternyata memang menunggu bus, bukan menunggu yang lain.
* * *
Di sore hari kali ini akan berbeda dari biasanya, aku memang tetap duduk di halte ini sambil memandangi wajah pria itu. Namun, ada sesuatu yang ingin aku berikan padanya. Selama beberapa minggu terakhir, aku berhasil merekam setiap detil wajahnya dalam memori ingatanku. Dengan ingatan itu, perlahan-lahan kutuangkan ke dalam bentuk sebuah lukisan dan aku telah berhasil melukis wajahnya di selembar kertas putih.
Selembar kertas putih yang telah terukir wajahnya ini pun kugulung dengan rapi dan kuberi sentuhan pita sebagai pengikatnya. Kupilih pita berwarna putih juga yang melambang persahabatan. Aku berniat untuk memberikan lukisan itu padanya. Aku tidak bermaksud apapun dan tidak mengharapkan balasan apapun darinya. Meski aku tidak tahu bagaimana caranya untuk bisa memberikan lukisan ini padanya.
Meski sebenarnya sangat ingin rasanya aku bisa mengenalnya, mengetahui namanya, dan dekat dengannya. Namun, aku sadar bahwa tidaklah mudah bagiku untuk bisa melakukannya.
Kali ini, dengan perasaan yang kian berdebar keras aku menunggunya tiba di halte itu. Bahkan aku bisa menghitung setiap detiknya waktu berlalu dari detakan jantungku yang terasa berdebar sangat kencang. Begitu tak sabarnya aku menantikan kedatangannya.
Diantara keramaian lalu lintas, akhirnya aku melihatnya berjalan menuju halte. Senyum terukir diwajahku seketika begitu mengetahui kedatangannya yang kini sudah duduk di halte itu. Seperti biasanya, pria itu tetap terlihat rapi. Dia mengenakan kemeja berwarna biru muda, warna kesukaanku. Dipadu dengan dasi berwarna biru dongker dan putih bermotif garis-garis dan celana keper berwarna abu-abu gelap. Dia terlihat bersahaja namun tetap mengesankan wibawa.
Aku terus memandangi sosok pria itu. Mengamati setiap gerak-gerik yang dilakukan olehnya. Dengan atau tanpa berkedip, begitu sulit untuk mengalihkan pandangan darinya. Dia terlihat begitu serius mengotak-atik ponselnya dan sesekali melihat arloji di tangan kirinya.
Aku menunggu waktu yang tepat untuk memberikan lukisan ini padanya. Meski sebenarnya aku tak tahu bagaimana caranya untuk bisa memberikan lukisan ini pada pria itu. Aku mencoba berpikir keras apa yang bisa aku lakukan agar lukisan ini bisa sampai ditangannya. Aku mulai putus asa. Kesal pada diriku sendiri yang tak tahu harus berbuat apa. Yang ada dipikiranku hanyalah ingin segera pergi meninggalkan halte ini.
Namun, segera kuurungkan niatku begitu kulihat pria itu kini melihat tepat ke depan, pandangannya tepat ke arahku. Aku terkejut dan merasakan degupan jantungku yang kian semakin berdebar kencang begitu melihat pria itu tersenyum. ‘Subhanallah. Benar-benar senyuman yang sangat indah,’ ucapku dalam hati. Pria itu tidak hanya tersenyum, dia juga melambaikan tangannya. ‘Apakah ini nyata atau hanya khayalanku semata?’
Rasa senang yang kurasakan hanya berlangsung sekejap begitu aku menyadari bahwa ternyata pria itu memang memandang ke arah halte tempatku duduk, tapi, bukan ke arahku. Melainkan kepada seorang wanita yang memakai hijab berwarna yang sama denganku yang berdiri tidak cukup jauh disamping kananku. Aku melihatnya juga melambaikan tangannya ke arah pria itu.
Kini yang ada hanya sesak yang kurasakan di dadaku. Aku tidak cukup kuat untuk melihat pemandangan ini lebih lama lagi. Begitu aku melihat pria itu berdiri, aku pun juga berdiri. Mungkin pria itu hendak menyeberang menemui wanita yang sedari tadi ditunggunya di halte ini. Aku tak mungkin berada di sini lagi. Aku segera bergegas menjauh melangkahkan kakiku. Aku berjalan melewati wanita itu. Sekilas kulihat wajahnya tersenyum bahagia sama seperti senyumku saat aku melihat pria itu.
Ingin rasanya kuputar waktu yang telah berlalu. Jika aku tahu ini yang akan terjadi, aku tak akan pernah membiarkan waktuku terbuang hanya untuk memandangnya. Apalagi sampai berpikiran untuk memberikan lukisan yang telah aku buatkan dengan segenap ketulusanku.
Tanpa pikir panjang lagi, dengan begitu kesalnya kuremas kertas lukisan yang berada ditanganku. Hingga terlihat seperti sebuah kertas lusuh yang tak berarti apapun. Lalu, segeraku buang begitu saja tanpa mempedulikan apakah akan ada yang memperhatikannya atau tidak.
‘Ya, Allah. Apakah ini hukuman untukku karena aku telah menyia-nyiakan waktuku hanya untuk memandang seorang pria yang sama sekali tidak kukenal? Mungkinkah ini teguran untukku agar lebih menjaga pandanganku?'
Belum terlalu jauh aku melangkah, tiba-tiba saja aku mendengar suara dentuman cukup keras. Bukan hanya itu saja, meskipun pikiranku sedang kalut, aku masih bisa menyadari bahwa aku juga mendengar suara teriakan. Berat rasanya bagiku untuk menoleh ke belakang, namun rasa penasaran menyelimutiku. ‘Apa yang sebenarnya terjadi?’. Aku pun membalikkan tubuhku secara perlahan.
Aku hanya bisa terdiam melihat apa yang terjadi dihadapanku. Lalu lintas yang tadi sibuk berlalu lalang juga ikut berhenti ingin menyaksikan apa yang telah terjadi. Aku belum bergerak mendekati tempat kejadian yang begitu ramai. Namun, bisa kurasakan kalau firasatku tidak baik.
Perlahan kulangkahkan kaki mendekat. Sebenarnya aku tidak ingin melihatnya, rasa penasaran dan firasatku inilah yang membawa kakiku melangkah. Aku tidak percaya dengan apa yang telah kulihat. Ini tidak mungkin terjadi. Seseorang yang kupandangi selama beberapa minggu terakhir, kini tergeletak tak berdaya dengan bersimbah darah di pangkuan wanita yang barusan kulihat di halte. Benarkah semua ini terjadi? Atau ini hanya ilusiku saja? Tapi, aku bisa merasakan sakit ketika ada seseorang berlari menginjak kakiku. Ini kenyataan. Sekujur tubuhku terasa lemas seketika begitu menyadari kenyataan yang terjadi.
Kulangkahkan kaki yang bergemetar menuju halte tempat pria itu biasa duduk. Cairan hangat yang sedari tadi kutahan kini tak terbendung lagi. Kulihat keramaian dengan tatapan kosong. Tak lagi tahu apa yang ada dipikiranku saat ini. Sayup-sayup yang terdengar hanyalah suara sirene yang terus berbunyi tanpa henti.