Ratihkasturi

Bagaimanapun keadaanmu, berjalanlah di jalan milikmu. Jalan yang kau hafal rutenya, tiap keloknya berapapun sudutnya, tiap persimpangan berapapun jumlahnya.

RUPA-RUPA PEJALAN

Sambil berjalan pelan mengitari Kantin Sastra, aku mengedarkan pandangan ke setiap kelompok manusia yang memenuhi ruangan berbentuk lingkaran, dengan kios-kios penjual melingkar di tepi ruangan, dan asap rokok bercampur dengan suara-suara membumbung di udara. Aku mencari dua manusia yang sudah menjadi bagian diriku selama hampir tiga setengah tahun aku menimba ilmu di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas llmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia.

“Hei, Retno!” seseorang tiba-tiba melambaikan tangan dari kejauhan dan setengah berteriak ke arahku.

Aku mengangkat tangan dan segera menghampiri tempat duduk mereka.

Begitu sampai, mereka langsung membrondongiku dengan pertanyaan, “Sudah lihat pengumuman?” tanya Menik antusias.

“Pengumuman apa?” tanyaku sambil mencomot roti bakar hangat di piring.  

“Hei, makalahmu terpilih untuk dipresentasikan di Aprish, konferensi internasional, yang pesertanya kebanyakan adalah anak-anak S2!” seru Gayatri sambil membulatkan matanya yang sipit.

“Hah?” aku hanya melongo, mengurungkan melahap roti hangat di tanganku.

Aku memandangi wajah Menik dan Gayatri. Aku menangkap ekspresi mereka. Ya, ekspresi takjub sekaligus heran, sama sepertiku. Aku masih berusaha mengumpulkan keyakinan bahwa berita yang baru saja kudengar adalah sebuah kebenaran. Kalau iya, berarti berita tadi melengkapi dua kebahagiaan sebelumnya, bahwa dua makalahku yang lain juga diterima di dua konferensi internasional, yang megharuskanku terbang ke Korea dan Malaysia di akhir semester 7 ini.

Ini bukan pertama kalinya, aku menghadapi saat-saat menakjubkan seperti ini. Satu tahun lalu, aku dinobatkan sebagai mahasiswa berprestasi FIB UI. Penobatan tersebut disusul oleh beberapa kemenanganku dalam lomba menulis tingkat nasional. Aku punya satu jawaban untuk setiap rasa heran dan takjub mereka maupun diriku sendiri: kita akan besar kalau kita hidup di jalan kita.

Seorang kawan laki-lakiku, Ranu, bercerita bahwa alasannya belajar Sastra Indonesia adalah keterpaksaan mengikuti keinginan ibunya. Ibunya punya ambisi terhadap anak semata wayangnya itu, yaitu menjadikannya seorang sastrawan besar. Sayangnya, Ranu lebih banyak meniru kecerdasan ayahnya yang seorang analis ekonomi. Aku bisa menjamin bahwa dia berkali-kali lipat lebih pandai dariku. Dia hafal semua teori-teori ekonomi, semua rumus ekonomi mikro dan ekonomi makro, dan dapat mengaitkan secara logis setiap peristiwa aktual yang berkaitan dengan kebijakan ekonomi.  Dia lebih sering menghabiskan waktu di Perpustakaan Fakultas Ekonomi dibandingkan membaca karya-karya sastra karangan Pramoedya Ananta Toer atau Putu Wijaya di perpustakaan fakultas sendiri.

Namun, hari-hari kuliahnya tidak lebih bersinar dari Adel, seorang kawan perempuan, yang selalu mendapat nyinyiran dari para dosen karena selalu terlambat masuk kelas dan terlambat mengumpulkan tugas. Ditambah lagi, di kelas, Adel sama sekali tidak punya kawan! Dia selalu berakhir dengan kebingungan setiap ada tugas kelompok. Tidak ada yang ingin sekelompok dengan dia. Sebagian besar teman-temanku menganggap Adel memiliki tingkah aneh karena seringkali berbicara atau tersenyum sendiri. Hampir selalu, karena alasan ketidaktegaan, aku mempersilakan dia masuk ke dalam kelompokku walaupun diikuti belalak ketidakrelaan dari anggota kelompokku.

Karena sekelompok dengannya, aku sedikit banyak memahami Adel. Adel sangat menyukai dunia tulis menulis. Aku seringkali membaca karangan cerpen atau cerbung yang ia posting di timeline Facebook miliknya. Tulisannya hampir selalu bercerita tentang tokoh “aku” dalam menghadapi lingkungan sekitar, misalnya dalam menghadapi nyinyiran orang-orang yang menganggap tokoh “aku” aneh. Ya, tulisan-tulisannya adalah penuangan dari pengalaman pribadinya. Aku selalu takjub melihat jumlah likes yang hampir selalu menyentuh angka 300. Bagiku, itu sangat fantastis mengingat postinganku saja paling banter hanya menyentuh angka 100 likes. Ditambah lagi, selalu ada rata-rata 200 komentar di setiap postingannya. Para komentatornya kutebak adalah kawan-kawan SMA Adel dan sebagian besar adalah orang-orang yang memiliki pengalaman seperti tokoh “aku” yang dikarang oleh  Adel. Tak jarang, kolom komentar di postingan-postingan Adel selalu berakhir dengan kolom curhat atau menceritakan pengalaman diri sendiri.

Itulah Adel, yang tidak punya tempat di dunia nyata lalu menciptakan tempatnya sendiri di dunia maya. Aku bisa katakan kalau 300 likes yang hampir selalu ia dapatkan itu adalah para penggemar setianya yang menantikan cerita-ceritanya. Dalam setiap mata kuliah yang berhubungan dengan sastra dan penulisan kreatif, Adel selalu jadi saingan utamaku. Tentu saja karena tulisan-tulisannya memang sangat layak dan punya ciri khas. Satu-satunya keunggulanku yang akhirnya membuat para dosen memberikan nilai lebih adalah karena aku tidak terlambat!

Aku dan Adel memang punya kesamaan: sama-sama mencintai sastra hingga akhirnya terdampar di fakultas ini. Barangkali, bedanya adalah aku selalu berjuang. Ya, orang-orang menjulukiku Miss Perfect, yang selalu tuntas menyelesaikan setiap tugas dan tanggung jawab. Sedangkan Adel lebih tergiur pada gaya hidup bebas, yang dia akan merasa baik-baik saja saat tidak mengerjakan tugas kelompok atau terlambat mengumpulkan tugas ke meja dosen.

Nyatanya, Adel lebih bersinar dibanding Ranu. Itu karena Adel berjalan di jalan miliknya, sedangkan Ranu tidak. Aku pernah seharian mengajari Ranu tentang teori artikulasi dan penamaan fonem. Bagaimana sebuah huruf diucapkan oleh artikulator kita. Misalnya bunyi [b] diucapkan dengan mengatupkan kedua bibir lalu meletupkan udara dari dalam mulut. Bunyi [b] yang memiliki artikulator bibir itu kemudian dimasukkan ke dalam jajaran fonem bilabial. Dan setelah seharian mulutku berbusa menjelaskan teori-teori fonologi tersebut, walaupun dengan jaminan bahwa Ranu lebih cerdas dariku, di akhir sesi, dia masih bertanya, “Mengapa bunyi [b] termasuk ke dalam fonem bilabial?”

Aku frustasi. Sejak saat itu, aku benar-benar bersumpah akan memberikan kebebasan pada anak-anakku untuk berjalan di jalan milik mereka. Ranu adalah salah satu korban salah jurusan, yang berarti salah jalan. Di perkuliahan, kalau salah jurusan, mampuslah sudah. Untuk memahami teori-teori yang disampaikan oleh dosen, terkadang kita butuh insting. Insting ini ibarat mata batin yang sangat menolong ketika kita terkatung-katung di jalan gelap tanpa sedikitpun cahaya. Nah, insting ini biasanya lebih banyak dimiliki oleh orang-orang seperti Adel dan aku, yang berjalan di jalan milik sendiri. Parahnya lagi, kalau bukan di jalan sendiri, kita berkemungkinan terbuai oleh jalan milik yang lain, yang kelihatannya lebih indah, padahal tidak!

Temanku, Meri, adalah contohnya. Dia sudah berkuliah selama dua tahun di jurusan Sastra Prancis, tetapi akhirnya pindah ke Jurusan Sastra Inggris. Setelah satu tahun merasa tidak menemukan jati dirinya, akhirnya dia pindah ke Jurusan Sastra Indonesia. di Sastra Indonesia, dia dapat dikatakan tidak lebih baik dari Ranu. Dalam mata kuliah Sintaksis atau tata kalimat, dia malah seringkali mengacaukan tata kalimat bahasa Indonesia dengan tata kalimat bahasa Inggris. Beberapa kali sekelompok dengannya, aku kesal membaca hasil tugasnya yang terkesan dikerjakan dengan seadanya.

Suatu hari, aku singgah ke rumahnya di Tebet. Setelah satu minggu dia tidak dapat dihubungi sedangkan jadwal presentasi kelompok kami semakin dekat, sebagai ketua kelompok, akhirnya aku inisiatif mendatangi rumahnya. Rumahnya berada di komplek mewah, yang tidak ada angkot atau bajaj melintas di depannya, berpagar tinggi, dan memiliki sistem keamanan yang cukup ketat sampai-sampai aku diminta menunjukkan KTP-ku oleh sang security.

Aku dipersilakan masuk ke kamarnya. Aku takjub melihat kamarnya dipenuhi maniken-maniken yang memakai baju-baju kebaya berbordir dan bermute-mute indah. Di meja belajarnya, aku melihat setumpuk buku-buku sketsa yang dipenuhi gambar-gambar desain baju.

“Hei, kau seorang designer, Meri!”

Meri hanya tersipu dan mengangkat alis sambil mengangkat kedua bahunya.

“Entahlah…”

“Kenapa kau tidak sekolah tata busana saja?” tanyaku sambil membuka-buka buku sketsa miliknya.

“Aku tidak punya keberanian,” katanya sambil menunduk memandangi lantai kamarnya.

“Hah? Setelah menciptakan karya-karya sehebat ini, kau takut?” tanyaku keheranan.

“Orang tuaku tidak ingin aku jadi penjahit, Retno,” katanya terbata-bata.

“Designer dan penjahit kan berbeda, Meri. Kau jelas punya bakat di keduanya,” kataku masih dengan tatap keheranan.

“Mamah ingin aku jadi ahli linguistik, meneruskan perjuangan papah yang kini sudah tiada. Dulu papah adalah seorang Guru Besar di FIB UI,” katanya sambil menghapus air mata yang mengalir di kedua pipinya.

Baiklah, kini aku paham mengapa dia selalu pindah jurusan. Barangkali dia mencari-cari jurusan yang menjadi jalannya. Meri kemungkinan besar mirip dengan Ranu. Aku selalu ngeri memandang orang-orang seperti mereka.

Mereka tunduk patuh pada keinginan orang tua, alangkah hebatnya. Ranu dan Meri tentu punya harapan dapat membahagiakan orang tuanya dengan menuruti apa yang diinginkan. Harga yang harus dibayar adalah mereka jadi pejalan yang tersesat. Bayangkan saja, Meri menghabiskan 3 tahun hanya untuk belajar sesuatu yang ternyata bukan jalannya. Belum lagi kalau ternyata di Sastra Indonesia ini, Meri belum juga menemukan jati dirinya. Oh, dia benar-benar jadi pejalan yang tersesat!

Melihat Meri dan Ranu, aku selalu mengingat Retno kecil yang punya keteguhan hati memegang impian. Aku, Retno di masa kecil, sudah terbiasa membuka buku sejak TK dan mulai gemar membaca sejak kelas 1 SD. Pada saat kelas 1 SD, aku sudah khatam membaca buku-buku terbitan Balai Pustaka, seperti Siti Nurbaya dan Katak Hendak Menjadi Lembu. Sampai kelas 2 SD, karena semakin suka membaca, aku mulai menemukan apa yang orang-orang sebut “keinginan”, “impian”, ataupun “ketertarikan”. Aku bertanya pada kakakku, “Sekolah apa yang hanya belajar membaca cerita seperti dalam pelajaran Bahasa Indonesia?” Jawab kakakku, “Sastra Indonesia”. Seketika itu, kataku dalam hati, “Baiklah, aku akan belajar Sastra Indonesia”.

Aku terus menjaga impian itu sampai duduk di bangku SMA. Mendekati pendaftaran SNMPTN, aku berjuang keras mendapatkan restu kedua orang tuaku untuk diizinkan mendaftar di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Orang tuaku tidak paham betul tentang jurusan perkuliahan. Mereka hanya buruh tani, yang lebih banyak paham soal menggarap sawah, soal obat-obat pembasmi hama, atau soal sumur bor yang harus dibuat pada musim kemarau. Kakak laki-lakiku yang berkuliah di Jurusan Pendidikan Matematika memandang sebelah mata impianku. Dia mempengaruhi orang tuaku dengan dalih “Belajar sastra tidak menjanjikan apapun.”

Setiap hari di sisa waktu pendaftaran SNMPTN, aku mati-matian meyakinkan orang tuaku bahwa aku harus belajar sastra karena itu adalah jalanku. Aku harus mengantongi restu mereka. Restu orang tua adalah segala-galanya. Kau tahu bagaimana membuat jalan kita mudah? Merayu Tuhan. Cara merayu Tuhan yang paling mudah adalah dengan membuat bunda dan ayah kita berdoa untuk kita. Ya, ketika doa-doa mereka menggema di angkasa dan air mata permohonan mereka mencium bumi, dapat dipastikan Tuhan akan mengabulkan.

Setelah restu orang tua kukantongi, ada masalah lain. Ya, masalah klasik yang hampir selalu menjadi batu sandungan bagi masyarakat kalangan bawah seperti kami: masyarakat yang uangnya habis untuk memenuhi kebutuhan primer. Bapak membolehkanku kuliah di UI hanya kalau aku mendapatkan Beasiswa Bidikmisi, beasiswa untuk anak-anak dari keluarga miskin yang berprestasi.

Aku paham kondisi keluargaku. Aku tak pernah sedikitpun menyesali kondisi kami yang sangat memprihatinkan: tinggal di rumah kayu beralaskan tanah, tepat di tepi sawah, yang selalu kebanjiran tiap kali hujan deras mendera. Suatu ketika pernah turun hujan sangat deras diiringi angin kencang serupa badai. Tiang-tiang kayu penyangga rumahku bergoyang-goyang, hampir copot. Kalau copot, tentu saja rumah kami ambruk lalu hanyut bersama genangan air hujan tersebut. Pada saat-saat seperti itu, yang kuselamatkan lebih dulu adalah buku-bukuku. Buku-buku yang saking banyaknya kumasukkan ke dalam karung-karung bekas padi milik bapak. Buku-buku itu adalah pemberian dari tetanggaku yang seorang guru. Karena tidak punya TV, buku selalu jadi hiburan buatku.

Maka tahun 2013, sekitar bulan Juli, saat aku mendapat NPM UI, pertanda bahwa aku diterima sebagai Mahasiswa Baru Universitas Indonesia, tidak serta merta menjadi bulan kebahagiaan sepenuhnya. Masih ada tahap wawancara untuk bisa mendapatkan Beasiswa Bidikmisi di UI. Pada hari wawancara, aku merapal doa-doa panjang agar bisa mendapatkan beasiswa tersebut. Namun, aku masih tak habis pikir tatkala di sesi wawancara, Bapak Albert Roring, nama pewawancaraku, justru tak menyinggung masalah ekonomi keluarga. Dia tentu sudah melihat bayang-bayang putus kuliah atau potret anak desa ingusan melalui wajah dan penampilanku kala itu. Keluar dari ruang wawancara, aku bisa memastikan bisa memakai Jaket Kuning.

Sampai hari ini, setelah tiga setengah tahun belajar di UI, aku semakin percaya pada keajaiban, bahwa keajaiban adalah milik jiwa yang berani dan pantang menyerah di jalan miliknya. Karena setiap orang punya jalannya masing-masing, setiap orang punya kesempatan untuk menciptakan keajaiban.

Dalam sebuah wawancara dengan Majalah Gaung, salah satu majalah yang diterbitkan oleh Jurusan Sastra Indonesia FIB UI, sang pewawancara menanyakan, “Bagaimana tips menjadi seorang Retno yang sudah banyak menjuarai lomba kepenulisan, menjadi mahasiswa berprestasi, dan akhir bulan ini akan mengikuti tiga konferensi berskala internasional?”

Aku menghela napas panjang, menyiapkan jawaban terbaik, yang kuharap dengan jawaban ini, orang-orang seperti Ranu dan Meri menemukan keberanian mereka.

“Cukup ikuti jalan kita masing-masing. Kalau sudah menemukan jalan sendiri, jadilah pejalan yang tangguh untuk sampai pada tujuan. Ngomong-ngomong soal jalan ini, saya punya puisinya. Boleh dimuat di majalah?”

“Wah, dengan senang hati!”

Bagaimanapun keadaanmu, berjalanlah di jalan milikmu

Yang kau hafal rutenya

Tiap keloknya berapapun sudutnya

Tiap persimpangan berapapun jumlahnya

Jalan milikmu yang berbatu cadas ganas

Atau berair genangan lumpur

Gelap sengap tak ada lampu

Tetaplah di jalan milikmu

Yang jiwamu menguasai setiap sudutnya