“Hidupmu adalah jiwaku, jika kamu merenung dan terdiam, disitu aku merasa jantungku berhenti berdenyut. Karena setiap detak jantungmu ada aku yang selalu memompa untuk terus melihat senyum manismu. Tetaplah menjadi wanita yang kuat dan beri aku kasih sayangmu yang lebih lagi. Karena disitu pula senyumanmu adalah tanda semangatku. Jadi, terima kasih atas senyuman manismu, sayang.â€
DIA DIBALIK SENYUMANKU
Kejadian tingkat ini terjadi hampir 1 tahun silam. Bermula ketika aku masih menangis dipojokkan sambil menggigit bibirku sendiri. Meringkuk diatas kasur sambil memeluk guling kecilku. Berharap ada yang menenangiku. Sebuah Tanya saja tidak ada. Keluarga macam apa ini? Aku tidak tersentuh sama sekali saat mereka mulai menyindirku soal masalah percintaanku dibangku sekolah. Aku tersenyum tipis. Bersembunyi dan selalu menyembunyikan. Tidak lain tidak bukan hanya demi kepentinganku sendiri.
Sudah 3 tahun jauh dari mereka. Kurindukan suasana keluargaku ditanah kelahiran. Walau mereka adalah kelompok keluarga kecil yang tidak peduli akan kehidupanku. Tapi aku tetap harus keluar dari zona nyaman itu. Aku terlalu nyaman sehingga tidak bisa mengenal dunia yang banyak orang bilang sangat kejam. Mungkin kejamnnya itu tidak kalah dengan keluargaku yang sering sekali mengacuhkan aku.
Tidak peduli. Aku egois dan masih kekanak-kanakan. Begitu kata orang yang mengamatiku tanpa pamrih. Dia adalah dibalik semua keceriaanku ditanah rantau ini. Dia seperti bapak juga seperti ibu. Menasehatiku dikala aku tidak berdaya. Menyemangatiku dikala aku turun. Dia selalu membuat fikiranku selalu positif terhadap keluargaku.
Mereka adalah keluargamu, maka cintailah mereka. Jangan kau hakimi mereka hanya karena mereka tidak pedulikan pertumbuhanmu. Perubahanmu adalah yang terutama dan terpenting. Maka, tersenyumlah maka kau akan bahagia.
Aku menyadari. Banyak kejelekanku karena keluargaku. Aku seperti tidak di didik dengan baik. Cara menyikapi orang yang lebih tua. Jangan mudah cemberut. Selalu tersenyum bahkan menjaga perilaku yang utama. Aku kira tanah rantau ini kejam dan menakutkan. Rupanya aku salah besar. Disini aku banyak belajar. Aku yang selalu terutup dan buta akan pengetahuan sosial merasa malu dan kesal. Kenapa dahulu saat aku dilahirkan tidak mengetahui semua yang ada di fikiran dia. Aku selalu salah saat bercermin kemudian menatap mataku sendiri.
Aku lelah. Jiwa yang aku tata dengan baik kini mulai menyusut. Tubuhku mulai kering kerontang. Karena setiap masalah yang aku hadapi selalu tidak berbuah manis. Aku mulai tersingkirkan. Aku mulai di acuhkan. Aku selalu menangis, mengulangi seperti masa SMA menangis karena masalah percintaan yang tiada habisnya. Aku mulai menelaah kenapa kejadian ini begitu cepat aku rasakan. Senyumanku mulai menghilang lagi. Aku ketakutan. Aku sendirian. Dimana sosok bapak dan ibu yang aku tunggu. Walau sejauh mataku mereka adalah sosok pahlawan tanpa jasa. Aku merasa mereka adalah sosok yang membuat hatiku teriris. Kenapa mereka seperti ini.
Apakah ini salahku? Kenapa aku selalu menyalahkan diri sendiri saat terpuruk seperti ini. Dimana dia yang mengembalikan senyumanku. Aku butuh dia. Karena masalahku selalu selesai saat dia tiba. Dibawah rintikan air mataku. Dia selalu menenangkan. Dia selalu mengajariku artinya kehidupan. Artinya kesabaran menghadapi seseorang. Perhatian kecilnya membuatku jatuh hati. Tidak lama kami sering berkirim pesan singkat. Akhirnya kami memiliki hubungan spesial. Hubungan seperti laki-laki dan perempuan seumuran kami. Jatuh hati dengan teman satu kampus membuatku harus sering tersenyum ceria.
Keceriaan yang terpaksa. Mereka melihatku dengan topeng berwajah merah marun dengan mata besar yang bersinar. Bibir yang selalu merah merona dilontarkan agar mereka tidak mengetahui kesedihanku selama ini. Terasa dibatinku. Aku ini adalah orang yang sedang ditengah keramaian namun hati terasa hampa. Sendiri. Sedih. Dan diacuhkan.
“Ayo makan siang!” ujar dia menyapaku dari anak tangga.
“Iya.” Aku mengangguk.
Aku sudah menunggunya selama 10 menit. Menunggu didepan kelas yang berada di lantai 2 hari ini. Dia laki-laki yang suka menepati janji. Selalu tersenyum. Ramah dengan semua orang dan mudah sekali bergaul. Aku kagum. Suka dan…hatiku berkata lain. Kalau aku mulai menyayanginya.
“Mau makan apa?” Tanya dia sambil menyodorkan menu makanan kearahku.
“Ermm… nasi goring telur aja, telurnya di ceplok,” ujarku dengan senyum.
“Oke, aku juga sama deh!” aku membalas senyumnya.
Kesempatan yang selalu kami jalankan berdua. Membuatku merasa masalahku hilang. Pecah dan tak tersisa. Tangisan tiap malam sudah terhapus dan tidak meninggalkan jejak. Tapi perasaan lubuk hatiku yang sangat dalam ini berbicara, masa lalumu sangat kuat. Ia selalu akan menghantuimu jika jiwamu tidak kuat. Sepintas aku teringat lagi. Aku mulai murung. Diam dan menyembunyikan semuanya.
Aku selalu tersenyum di depan dia. Karena dia, selalu menumbuhkan senyuman itu. Aku tahan kesedihan ini. Aku tumpuk menjadi satu. Terasa sakit dikepala. Aku mulai memegangi kepalaku. Sakitnya bukan main. Sakit kepala yang pernah aku rasakan sebelumnya.
“Kamu kenapa?” Tanya dia mulai heran dengan wajahku yang memucat.
“Ke-kepalaku sakit…” lirihku seraya memegangi kepala.
“Yaudah, kita batalin aja makannya, kamu aku antar pulang terus istirahat ya?” aku menggeleng cepat.
“Jangan. Makanan udah di pesan. Kasihan sama abang nasi gorengnya,” aku tersenyum pucat.
“Tapi kamu gak apa-apa kan?” Tanya dia mulai membuatku ragu. Aku meliriknya perlahan. Aku mengangguk pelan.
Kepala yang sakit karena masalah ini belum selesai. Aku harus bangkit dan tidak akan kembali pada zona nyaman itu. Aku tidak seharusnya seperti ini terus. Aku memiliki jiwa yang kuat. Aku wanita tangguh. Kuat dan juga bisa memberikan manfaat kepada siapapun. Termasuk dia. Aku suka sekali menyayangi seseorang dari sisi kekuranganku. Karena aku faham, menyayangi seseorang yang kita cintai lebih membuatnya nyaman daripada kamu harus membuang waktu pada orang yang tidak menerima kasih sayangmu. Itu sia-sia.
Aku menyeruput teh hangat yang mulai dingin. Melirik dia sedang melahap nasi gorengnya. Aku berbisik dalam hati. Apakah laki-laki ini benar mencintaiku? Mencintai kekurangan dan kegilaanku. Aku suka membayangi masa lalu yang menyebalkan. Karena itu aku menyebut diriku gila yang teramat sulit difahami orang lain. Fikiranku selalu berubah-ubah. Sering sekali dia mengajak bicara tanpa ada nada senada dengannya. Aku mulai kikuk dan terpaku. Apakah jati diriku belum sempurna?
Aku menyendok terakhir nasi gorengku. Menelan detik terakhir di kerongkonganku. Rasa manis dan peda yang menyatu. Keringat mulai bercucuran di dahiku. Kembali merasakan sakitnya kepala ini. Mulai terdiam dan menyembunyikan senyumanku. Aku tertunduk lesu sambil memegangi gelas teh hangat.
“Sayang, masih sakit kepalanya?” aku menoleh kaget.
Apa aku tidak salah dengar kali ini? Aku melongo kaget. Aku melirik matanya yang hitam dan bulat itu. Dia memasang wajah heran kearahku. Merasa kaget melihat wajahku menjadi merah dan berkeringat. Terasa merah dimata dan mulai berkaca-kaca. Panas yang membara. Panas yang terhitung bahagia membara. Senyuman merah marunku kembali. Aku terasa telah dicintai sepenuhnya.
Aku tersontak dan memeluk tubuh besar itu. Jantung kami bertemu. Berdetak seirama. Air mata yang sudah tak bisa aku bendung kini pecah dan tumpah tak terelakkan. Aku terenyuh senang. Bahagia yang aku rasakan tiada dua untuk kali ini. Dimana ada seseorang yang masih menyayangiku tanpa pamrih dan sapa yang tiada akhir.
Aku melepaskan pelukan hangat itu. Dia tersenyum lebar. Aku membalasnya. Aku tidak tahu membicarakan hal ini sekarang, yang aku mau hanyalah menatap mata indah dan senyumannya yang lebar.
“Terima kasih yak arena telah sayang sama aku.” Aku terisak.
“Aku menyayangimu tanpa pamrih karena senyumanmu yang membuatku mengiringi hariku.” Aku semakin terenyuh.
Rasanya, bukan hanya keluargaku yang tidak peduli. Bahkan laki-laki kekar ini menyayangiku tanpa akhir. Aku bukan lagi orang yang teracuhkan. Ada orang yang sedang menunggu senyumanku. Yaitu dia. Dia yang selalu membalas senyumannya yang manis itu. Karena dia dibalik senyumanku, juga.
“Hidupmu adalah jiwaku, jika kamu merenung dan terdiam, disitu aku merasa jantungku berhenti berdenyut. Karena setiap detak jantungmu ada aku yang selalu memompa untuk terus melihat senyum manismu. Tetaplah menjadi wanita yang kuat dan beri aku kasih sayangmu yang lebih lagi. Karena disitu pula senyumanmu adalah tanda semangatku. Jadi, terima kasih atas senyuman manismu, sayang.”