Juju17

Kau terlalu sibuk meninggikan angan. Hingga lupa menginjak kesadaran, untuk mewujudkannya menjadi kenyataan.

"Nanti, kalo aku sukses, aku traktir kamu makan-makanan yang lagi kekininan, Bi."

Aku melirik malas pada gadis berambut cepol yang sedari tadi teronggok di Sofa ruang tv. menyangga kepala dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya bertugas untuk meraup cemilan dari dalam toples berukuran sedang, yang berisi sekumpulan keripik pedas. Sementara mata bulat miliknya, terfokus ke arah tv cembung berukuran 15 Inch, yang berada di seberang. Mengela napas lelah, aku hanya bisa menggelengkan kepala karena kelakuan gadis yang berwajah serupa denganku itu. ya, Dia--Clarissa, gadis yang tengah menginvasi satu-satunya Sofa panjang yang berada di rumah kami, adalah saudari kembarku. meski memiliki wajah yang sama, tapi tak sedikit yang mengatakkan jika aku dan Clarissa memiliki karakter bak Bumi dan Neptunus. begitu jauh tak terjangkau. Meski enggan, tapi aku mengamini pendapat mereka. Sifatku dan Clarissa memang tak jarang begitu bertolak belakang. Clarissa itu sosok yang optimis, tapi hanya dalam bentuk wacana. Punya segudang mimpi, yang sayangnya, tak ada satu pun dari deretan mimpinya yang berhasil terealisasi. Karena kesibukan gadis itu yang setiap harinya hanya sekadar berleha-leha di depan tv cembung kami. Dan aku sebaliknya dari Clarissa. meski mudah pesimis, tapi dengan secuil harapan, aku berusaha untuk meraih apa yang tengah di inginkan. karena aku cukup sadar, modal impian tak akan mungkin cukup untuk merealisasikannya menjadi kenyataan. Aku harus bergerak, dan bersiap bertemu dengan ... entah berapa kali kegagalan. Sebagai proses yang memang sudah seharusnya di jalani.

Mengabaikan celotehan Clarissa yang tengah mengomentari tayangan Gosip di tv, aku memilih duduk di bawah. Meski hanya beralaskan karpet lantai bermotif Frozen. Meluruskan kaki yang terasa keram, karena seharian berkeliling memeluk amplop coklat, di bawah terik matahari yang tengah bersemangat menebarkan panas. Mencari kerja di zaman sekarang itu, susahnya bukan kepalang. Seharian ini aku bahkan sudah kenyang dengan ucapan "Maaf, tidak ada lowongan". Sejak satu bulan terakhir aku mengirim beberapa surat lamaran, baik melalui POS atau pun E-mail. tapi hingga detik ini, belum ada satu pun yang menghadirkan kabar baik. Tak ingin berpangku tangan, apalagi pasrah dengan keadaan. Aku mulai mencari lowongan pekerjaan dari beberapa Koran, yang sekiranya menjanjikan.

"Kamu nggak mau ikutan cari kerja juga, Sa?"

Mengalihkan pandangan dari tv, yang tengah menayangkan iklan sabun mandi. Clarissa mencomot beberapa keripik singkong, sebelum akhirnya menjawab pertanyaan yang tadi aku lemparkan, "Nanti mau coba ikut-ikutan Casting di beberapa PH," Aku menganggukan kepala mendengar jawaban dari Clarissa. Sejak dulu kembaranku ini memang bercita-cita menjadi salah seorang Actress ternama di Indonesia.

"Kenapa nggak sekarang-sekarang saja?"

"Sekarang lagi sibuk,"

Aku meringis mendengar jawaban kalem Clarissa. sibuk? entah kesibukan macam apa yang di maksud gadis itu. Karena dari penglihatanku selama ini, kesibukan Clarissa hanya satu. Menonton acara tv.

***

Aku rasa rahangku mulai keram, karena tak juga melunturkan senyuman yang sedari tadi melekat pada wajahku yang tengah berbinar. Terik matahari yang biasanya membuatku kuyu, kini seolah tak lagi berpengaruh. Letupan kebahagiaan karena baru saja berhasil mendapatkan pekerjaan, membuat semangatku membumbung tinggi. Akhirnya, setelah nyaris satu bulan berjibaku mencari pekerjaan, aku berhasil mendapatkannya. Meski gaji yang aku dapat tak begitu besar, tapi bisa mencicpi uang hasil keringat sendiri, rasanya sangat membanggakan.

"Aku tidak tahu kamu kesambet pohon beringin mana, Bianca. Tapi bisakah hentikan senyuman lima jarimu itu. Sumpah, Bi, lama-lama aku jadi merinding." senyumku sama sekali tak meredup mendengar celotehan tak berbobot dari Clarissa.

"Kau sudah ikut Casting?" tak mengindahkan ucapan Clarissa sebelumnya, aku justru berbalik melempar pertanyaan padanya.

"Belum," jawabnya santai, bahkan tanpa mengalihkan pandangan dari Smartphone miliknya. "Kapan mulai kerja di Cafe?"

"Lusa,"

Ya, mulai lusa nanti, aku akan mulai bekerja di salah satu Cafe baru, yang jaraknya tidak terlalu jauh dari kompleks rumah. Hal yang sangat aku syukuri karena tak harus mengeluarkan banyak uang Transport nantinya.

"Kau tidak ingin mencoba mencari pekerjaan lain dulu, Sa?"

"Aku sekarang lagi sibuk perawatan, Bi. Kalo badan mulus, kan bisa dapet nilai plus sebagai calon bintang. Kalo harus kaya kamu pontang-panting kesana-kemari nyari kerja di luar, sia-sia aku gelontorin Budget buat perawatan dong ... , iya kan?" tal ingin ambil pusing, aku lekas mengiyakan apa pun perkataan Clarissa.

***

Aku pernah mendengar kata-kata, jika usaha tak akan pernah mengkhianati hasil. Dan aku percaya akan hal itu. Karena bukti nyatanya, kini sudah berada di depan mata. Sebuah benda dengan salah satu merek Handphone yang terukir cantik pada kotak itu. Akhirnya, setelah susah payah menyisihkan uang, aku berhasil mengganti Handphone butut yang sudah menemani sedari masa SMA, dengan yang baru.

"HP baru?" suara yang tiba-tiba tertangkap pendengaran itu membuatku terkejut. menolehkan wajah, aku menemukan sosok Clarissa yang tengah bersandar santai pada daun pintu kamarku yang memang tengah terbuka.

"Iya," jawabku sungkan. Entah kenapa aku harus merasa tak enak pada Clarissa. Tapi peristiwa dua hari lalu--di mana Ibu memberi wejangan kepada Clarissa habis-habisan karena tak juga memulai menata masa depannya, membuat suasana meja makan tiba-tiba saja mencekam. Selera makanku bahkan seketika lenyap. Dan rasa tak enak hati mulai hadir ketika tiba-tiba saja Ibu membandingkanku dengan Clarissa. Ibu merasa jika seharusnya Clarissa juga melakukan hal yang sama sepertiku, berusaha mencari pekerjaan. karena bagaimana mungkin bisa mendapatkannya jika seharian hanya mengeram di dalam rumah. Tentu saja maksud Ibu baik, beliau juga tentu tak ada maksud untuk membedakan kedua putrinya yang bahkan berbagi segala hal dalam sembilan bulan di dalam rahimnya dulu. Tapi aku juga bisa merasakan jika Clarissa merasa tertampar secara tak kasat mata dengan semua hal yang Ibu ucapkan.

Untuk pertama kalinya selama dua puluh tahun aku hidup, aku merasa begitu canggung saat berhadapan dengan saudari kembarku sendiri.

"Maaf jika beberapa hari ini sikapku membuatmu tidak nyaman, Bi." Clarissa menegakkan posisi tubuhnya yang tadi bersandar pada daun pintu kamarku. Sebelum beranjak menuju ke arahku yang tengah duduk di pinggir tempat tidur, "Maaf, ya" ucapnya sekali lagi, yang kali ini terselip rasa sesal dari suaranya.

"kenapa harus minta maaf? kamu tidak salah apa pun, Sa."

"Tapi aku sempat merasa dongkol--atau mungkin cemburu karena kamu yang begitu di banggakan Ibu,"

"Sa, Ibu tidak bermaksud membandingkan. Dia justru tengah memotivasi kamu untuk bisa mendapat pekerjaan, yang bahkan mungkin saja lebih dariku."

"Ya, aku tahu. Aku yang terlalu membesarkan ego. Jadi nasihat baik Ibu malah di salah artikan, bahkan sampai mendiamkanmu yang tidak salah apa-apa."

Seulas senyuman terbit di wajah kami. Aku bersyukur permasalahan ini tidak sampai berlarut. Bahkan yang tak di sangka adalah Clarissa sendiri yang datang untuk menyelesaikan. Hal yang sebenarnya sangat jarang--bahkan mungkin ini pertama kalinya ketika kami bertengkar, bukan aku yang lebih dulu membujuk untuk berbaikan. Mengigat sifat keras kepala dan sifat mudah merajuk milik Clarissa.

"Kamu benar, Bi," aku memusatkan perhatian pada Clarissa yang kini sudah merebahkan tubuhnya di atas tempat tidurku. "Aku terlalu sibuk meninggikan angan. Hingga lupa menginjak kesadaran, untuk mewujudkannya menjadi kenyataan." menengadahkan wajah untuk menatap langit-langit kamarku yang tampak sedikit temaram, Clarissa melanjutkan kata-katanya "Karena berharap tanpa usaha itu, tak lebih dari sekadar omong kosong."

Aku menganggukan kepala, mengamini ucapan yang Clarissa utarakan.