Jangan pernah berhenti berharap!
Jangan pernah berhenti berharap!
Hari sudah larut malam, hanya keheningan yang menemaniku di malam seperti ini. Aku sudah berbaring cukup lama di kasurku, tetapi mataku tidak kunjung terpejam. Aku merasakan ada sesuatu yang datang ke dalam pikiran dan hatiku. Perasaan ini, perasaan yang sudah lama aku tinggalkan di belakang, tiba-tiba menghampiriku kembali. Ia datang menceritakan tentang masa lalu, masa-masa yang ingin aku lupakan selamanya. Tetapi sekarang, aku mengingat semuanya kembali.
Aku memejamkan kedua mataku, memaksanya agar cepat tertidur. Namun, aku melihat wajahnya tersenyum dalam kegelapan, matanya menatap tajam mataku. Senyumannya sangat nyata dan memberikan pesan kepadaku bahwa dirinya sama sekali tidak bersalah dan berhak untuk tersenyum seperti itu di hadapanku.
Kubuka kembali mata ini agar wajahnya hilang dari hadapanku. Keheningan malam kembali menemaniku sampai tiba-tiba aku teringat akan suaranya. Kami tertawa dengan lepasnya, menikmati liburan sekolah yang telah dinantikan sangat lama dan akhirnya tiba. Terdengar olehku suara keramaian orang-orang yang berseru bahagia. Terdengar juga olehku lagu membosankan yang diputar berulang-ulang di taman bermain itu. Baru kusadari sekarang, ternyata dampaknya sangat besar bagi orang-orang yang pernah berkunjung ke sana.
Kerinduan ini semakin dalam terasa. Aku tidak mau tenggelam lagi untuk kesekian kalinya di dalam perasaan seperti ini. Kunyalakan radio dan kuputar saluran kesukaanku. Aku berharap lagu yang diputar dapat mengalahkan suaranya.
Entah mengapa, malam itu memaksaku untuk memikirkan segalanya tentang dia. Saluran radio tersebut memutarkan sebuah lagu yang tidak asing, lagu yang akan selalu mengingatkan aku akan pertemuan pertama kami. Aku tidak dapat menahan senyuman yang ingin terpancarkan di wajahku. Lagu ini menyimpan banyak kenangan untukku, tentangnya.
Waktu terus berjalan, hari sudah tidak lagi malam, jam sudah menunjukkan pukul tiga dini hari. Saat itu, aku menyadari suatu hal, yaitu perasaanku terhadapnya yang sama sekali belum bisa berubah. Semenjak dia pergi, aku tetap disini menunggu kepulangannya. Setidaknya hanya hal itu yang menjadi semangat hidupku selama enam tahun terakhir.
***
Sinar matahari masih belum muncul di sela-sela gorden yang tidak menutupi jendela kamarku. Namun, jam weker memaksaku untuk keluar dari kenikmatan bersembunyi di bawah selimut. Sungguh menyedihkan, butuh beberapa jam untuk dapat tertidur, tetapi hanya butuh beberapa detik untuk bangun darinya.
Ini adalah hari terakhir ujian semester ganjil. Setelah itu, liburan panjang menanti dari pertengahan bulan Desember sampai Januari. Hal ini selalu menjadi kesukaanku, tentu saja, meskipun tidak sepanjang liburan semester genap, tapi ini sungguh menyenangkan hatiku.
Aku sampai di depan kelas setengah jam sebelum ujiannya dimulai. Seperti biasa, kami semua duduk di lantai menunggu kedatangan dosen. Kebanyakan dari mereka memakai setengah jam ini untuk belajar ataupun bertanya pada teman. Berbeda denganku, aku tidak termasuk dalam dua kategori tersebut. Hal yang kulakukan adalah bersandar di samping tembok, sambil mendengarkan radio.
Sudah enam tahun aku menjalani hidup yang berbeda dari biasanya. Semakin lama aku semakin menutup diri. Aku menarik diriku cukup jauh dari pergaulan saat di kampus. Aku hadir hanya sebagai teman sekelas yang perlu diketahui, bukan dikenal. Hanya beberapa orang yang sudah dari dulu mengenalku yang mungkin dapat mengerti alasannya.
“Desi, hey.” sapa seseorang yang baru saja duduk di sebelahku.
“Oh, hey.” balasku dengan agak kaku sambil melepaskan earphone.
Ia tersenyum lalu berkata: “Ini, coba kau lihat.” Ia menyodorkan selembar kertas yang tampak seperti brosur padaku.
Aku menerimanya dan membacanya tanpa suara.
“Maaf baru kasih tahu sekarang, kalau mau ikut beritahu saja aku.” ucapnya sambil berdiri dan hendak kembali ke tempat duduknya yang semula.
Tapi aku memanggilnya kembali, kataku: “Rina! Tunggu dulu, aku ikut.”
***
Hari ini adalah hari ulang tahunku. Tepat di pagi hari ulang tahunku, hujan turun membasahi kota Jakarta. Hujan turun cukup lama sehingga udara pagi itu terasa cukup dingin. Tapi untukku, keadaan seperti ini sungguh indah. Aku selalu menyukai hujan yang turun di pagi hari. Itu semua karena perkataannya yang masih kuingat setiap kali hujan turun di pagi hari. Dia pernah mengatakan padaku bahwa hujan yang turun di pagi hari dapat mengabulkan sebuah permohonan. Dia tersenyum dan memintaku untuk membuat sebuah permohonan. Aku menutup mataku dan mengatakan permohonanku di dalam hati. Lalu dia membisikkan kepadaku bahwa suatu saat permohonanku akan terkabul, satu-satunya hal yang harus aku lakukan adalah percaya.
***
“Sudah sampai! Ayo semuanya turun!” teriak seseorang membangunkanku.
“Ayo Des, kita sudah sampai.” kata Rina yang sudah siap dengan tas ranselnya.
Rasanya sudah lama sekali aku tidak mengunjungi tempat ini─Dunia Fantasi. Namanya terkesan seperti tempat bermain untuk anak-anak, tetapi sebenarnya tempat ini menyediakan lebih banyak wahana untuk pemuda-pemudi sebayaku.
“Wah, ada untungnya tadi pagi hujan ya. Sekarang jadi tidak terlalu panas.”
“Iya juga ya, tadinya aku berpikir hujan akan merusak hari ini, untunglah tidak.”
Aku tersenyum mendengar percakapan itu. Aku semakin percaya bahwa hujan di pagi hari sungguh menguntungkan. Hanya beberapa orang yang terlambat menyadarinya.
***
Tidak terasa kami sudah menghabiskan hampir delapan jam penuh untuk berkeliling dan menaiki hampir semua wahana. Sebentar lagi matahari akan terbenam. Langit sudah bersiap-siap untuk menyembunyikan sinarnya. Sementara bintang-bintang sebentar lagi akan mengeluarkan terangnya.
Aku memutuskan untuk beristirahat sejenak sambil menemani beberapa orang yang kurang nyalinya untuk menaiki tornado. Aku memperhatikan setiap orang yang lewat di depanku, mereka semua terlihat sangat gembira. Beberapa diantaranya berjalan sekeluarga. Ada pula yang berjalan bergerombolan seperti kami. Dan ada juga yang hanya berdua, menikmati hari mereka di Dunia Fantasi.
Aaaa!! Aaaa!! Terdengar teriakan teman-temanku yang sedang menaiki tornado. Aku hanya melihat mereka dari bawah, namun sensasinya dapat kurasakan juga. Tornado bergerak semakin pelan, mereka sebentar lagi akan turun. Aku berdiri hendak menghampiri mereka di pintu keluar. Namun, pandanganku melayang kepada sesosok pria yang berjalan dengan cepat melewatiku. Ia memakai sebuah topi dan membawa sebuah tas ransel. Aku tidak dapat mengenalinya dengan jelas karena hari sudah benar-benar gelap. Namun, hati kecilku seolah mengatakan bahwa aku mengenali orang itu.
Aku terdiam untuk sejenak. Mataku masih melihat sosok itu berjalan sudah sangat jauh. Namun, kakiku tidak tahu harus melangkah kemana. Tiba-tiba saja aku teringat akan hujan di pagi ini, aku teringat akan permohonan yang telah kubuat pada saat itu. Aku tersadar dan berlari secepat mungkin, mengejar sosok yang sudah hilang dari pandanganku.
“Hey! Desi! Kau mau kemana?!” aku dapat mendengar dengan jelas seruan Rina yang panik melihatku tiba-tiba berlari menjauh darinya. Namun, keputusan ini sudah tidak bisa diubah. Aku lelah, lelah dengan semua kegiatan hari ini, lelah karena terus berlari, lelah karena terlalu lama menunggu. Mataku mulai berlinangan air mata, pandanganku menjadi kabur. Aku berhenti. Tidak sanggup lagi berlari mengejarnya. Air mataku membasahi mukaku, aku sudah tidak peduli dengan orang-orang di sampingku yang melihatku dengan pandangan heran yang sudah pada puncaknya.
Lututku terasa lemas dan aku terjatuh ke tanah. Saat itu, aku hampir menyerah. Akupun mengucapkan permohonanku untuk terakhir kalinya, “Aku ingin berada sekali lagi di puncak bianglala bersamamu.”
“Desi.” seorang pria dengan suara yang tidak begitu berat tiba-tiba memanggilku.
Aku mendengar suara tersebut, namun terlalu takut untuk mengangkat kepalaku dan melihat ke atas.
Pria tersebut memanggilku untuk kedua kalinya, katanya: “Desi, maukah kamu menaiki bianglala bersamaku?”
Senyuman langsung terpancar di mukaku, mengalahkan raut muka bersedih dan air mata yang sebenarnya masih saja mengalir. Perlahan aku mengangkat wajahku, berharap ini adalah sebuah kenyataan. Kulihat ia menatap mataku dengan tajam. Kutatap kembali wajahnya dengan penuh kerinduan. Ia mengulurkan tangannya dan menarikku bangun. Tidak ada sepatah katapun yang dapat aku katakan kepadanya. Semuanya terlalu mengejutkan bagiku.
Pegangan tangannya semakin erat, ia benar-benar membawaku ke puncak bianglala. Dari atas, aku melihat pemandangan kota Jakarta yang luar biasa indahnya. Aku terlalu menikmatinya sampai akhirnya ia memecah keheningan dengan berkata padaku: “Desi, selamat ulang tahun.” Hari ini permohonanku terkabul sepenuhnya.