Rika.Mara

Persahabatan bagaikan sebuah pelangi yang muncul setelah hujan. Warna-warninya mampu menghasilkan sebuah kisah yang amat beragam.

"You're My Inspiration"

Aku terduduk disebuah sofa dengan laptop yang menyala dihadapanku. Entah sudah berapa lama aku berkutat dengan pekerjaan yang kulakukan. Meski sudah berjam-jam aku berkutat, namun tak kunjung juga menemukan sebuah titik terang. Tidak ada sebuah ide yang terlintas ditambah keadaan rumah yang jauh dari kata rapi membuatku semakin frustasi saja. Jika melihat keadaan di sekelilingku, orang-orang pasti akan bertanya, Apakah ini yang dinamakan sebagai rumah?

            Bagaimana tidak, banyak buku yang berhamburan disekitarku. Tak hanya itu, barang-barang lain pun tergeletak berserakan memenuhi lantai. Aku memang tidak terlalu memperdulikan hal itu karena aku tengah menyibuhkkan diri dengan sesuatu yang bahkan menurutku sangat penting.

            Disela menit kesibukanku, Lyra datang memasukki rumah setelah menekan bel. Lyra adalah teman terbaikku di dunia ini.

            “Astaga, Arisa!!! Apa yang terjadi?” teriak Lyra begitu ia menatap keadaan sekitarku. Aku juga telah menduga hal itu sebelumnya bahwa ia pasti akan terkejut.

            “Seperti biasa.” jawabku santai. Lyra menatapku seolah tidak percaya dengan jawabanku yang begitu singkat ditambah lagi dengan apa yang terjadi di rumah ini.

            “Apa kamu mau menjadikan rumah sendiri sebagai hutan? Ini sangat tidak layak disebut sebagai rumah.” ucap Lyra seraya melangkah dari tempatnya berdiri. Diraihnya beberapa barang dan meletakkannya dengan sedikit lebih baik. Lalu ia pun duduk di sofa sebelahku.

            “Okay, kali ini apa lagi yang kamu lakukan?” tanya Lyra yang mengerti keadaanku.

            “Kau tidak lihat aku sedang apa?” ucapku balas bertanya.

            “Arisa, kalau kamu mau bekerja keras bukan seperti ini caranya. Ini sama saja dengan membunuh diri sendiri secara perlahan.” ucap Lyra dengan intonasi tegas.

            “Lalu apa yang harus aku lakukan?” tanyaku tak berhenti menatap layar laptop yang berada dihadapanku.

            “Arisa, hentikan. Kamu tidak boleh terus begini.” ucap Lyra seraya menarik laptopku menjauh.

            “Kembalikan, Lyra.” pintaku seraya mencoba merebut kembali laptopku yang kini berada disisi Lyra.

            “Arisa, dengar. Jika kamu terus seperti ini, semakin lama kamu bisa saja mengalami stres berat. Aku tahu bahwa kamu ingin mencoba sesuatu baru. Tapi tidak harus seperti ini caranya. Kamu tidak boleh memaksakan dirimu sendiri. Sekarang aku tanya, apakah kamu seorang penulis?” tanya Lyra yang tetap tidak menyerahkan laptopku.

            “Yeah, meski bukan penulis profesional.” balasku lirih.

            “Apakah kamu sangat ingin menjadi seorang penulis?” tanya Lyra kembali.

            “Yeah. Aku ingin mencobanya.” Jawabku.

            “Apakah seorang penulis akan memaksa otaknya bekerja terlalu keras ketika ia tidak memiliki ide lagi?” tanya Lyra kesekian kalinya.

            “Mungkin saja.” jawabku lebih lirih. Jika situasi sudah menjadi seperti ini, pastilah Lyra akan menyerangku dengan berbagai nasihatnya.

            “Listen to me. Meskipun kamu bertekad untuk menjadi penulis terkenal, tetapi bukan seperti ini caranya. Ketika kamu sudah tidak memiliki ide lagi, cobalah untuk jalan-jalan keluar. Nikmati udara segar setelah berjam-jam suntuk di dalam rumah. Aku yakin sebuah ide pasti akan segera muncul dalam benakmu. Bukannya malah memaksakan diri seperti ini.” ucap Lyra dengan begitu dalam.

            Aku diam mencerna perkataan Lyra. Dari seluruh ucapan tersebut terdapat kebenaran didalamnya.

            “Yeah, kamu benar. Aku mungkin membutuhkan udara segar. Ayo, lebih baik kita keluar untuk jalan-jalan sebentar.” ajakku seraya menyambar tas kecil yang tergeletak di sofa. Lantas aku segera berjalan menuju pintu depan diikuti Lyra dibelakangku.

***

            Aku dan Lyra memutuskan untuk berjalan-jalan mengelilingi taman. Pemandangan sore hari ini terlihat begitu bersahabat. Sinar mentari menerpa lembut. Aku menghirup udara di sekeliling taman. Benar rupanya jika aku memang membutuhkan udara segar dan suasana yang baru. Kulihat sekeliling taman. Di taman ini dipenuhi oleh berbagai orang yang sedang menikmati senja sore. Terdapat beberapa anak kecil yang berlarian sembari memegang beberapa balon.

            “Hari ini kamu harus bersenang-senang, Arisa. Aku akan pastikan hal itu.” ucap Lyra seraya tersenyum lebar. Didetik selanjutnya ia telah berlari menuju penjual balon. Aku dapat melihat Lyra memberikan beberapa uang lalu menerima dua balon yang diserahkan penjual. Lyra pun menoleh kearahku. Ia melambaikan tanganya memintaku agar mendekat. Segera saja aku berlari menghampirinya.

            “Ini. Kamu harus memegang balon ini ditanganmu dan berlarilah seperti anak-anak kecil lainnya.” ucap Lyra seraya memberikan satu balon itu ditanganku.

            “Lyra, kita ini sudah remaja. Tidak pantas lagi melakukan hal seperti itu.” tolakku kepada Lyra.

            “Hhm... tidak juga. Ada saat dimana seorang remaja harus menjadi seorang anak kecil kembali. Seperti saat ini contohnya.” ucap Lyra seraya memberi kode agar aku segera melaksanakan perintahnya.

            Tak ingin membantah lagi, aku segera menuruti keinginan Lyra. Segera saja kulangkahkan kakiku untuk berlari mengelilingi taman ini. Senyuman terus mengembang dibibirku. Ketika kutengok kebelakang, rupanya bukan aku saja yang sedang berlari seperti anak kecil saat itu. Lyra bahkan mengikuti dari belakang. Meski menjadi sorotan para pengunjung taman, namun aku tak memperdulikan hal itu. Seluruh ucapan yang Lyra lontarkan ada benarnya. Meski umur kita sudah cukup matang tetapi pasti ada saat dimana kita harus menjadi anak kecil kembali. Aku sangat menikmati hal yang aku lakukan saat ini. Bahkan anak-anak kecil lainnya mulai mendekati kami dan ikut bermain bersama kami.

            Setelah lelah bermain, aku dan Lyra pun memutuskan untuk beristirahat di bangku taman. Hari beranjak semakin sore. Langit jinga pun menghiasi pemandangan.

            “Hah.. senang rasanya bisa kembali merasakan seperti anak kecil.” ucap Lyra seraya menatap ke langit.

            “Aku juga. Terima kasih untuk hari ini, Lyra.” ucapku tulus.

            “Hey! Apanya yang terima kasih? Aku tidak melakukan apapun untukmu. Aku hanya membantumu menghilangkan kejenuhan.” balas Lyra seraya meninju bahuku dengan pelan.

            “Tapi tetap saja, terima kasih untuk hari ini.” ucapku lagi dengan seulas senyum. Terima kasih juga untuk segalanya. Kau adalah inspirasiku, Lyra Stece. Di menit selanjutnya, aku maupun Lyra asyik dengan pikiran masing-masing seraya menikmati senja sore yang begitu indah.

            Pada malam harinya, aku kembali meraih laptop dan menyalakannya. Lyra telah mengembalikan laptopku yang sebelumnya ia sita sendiri. Aku akan mulai kembali menuangkan ideku dalam bentuk cerita. Ya, setelah seharian ini aku bersenang-senang dengan Lyra sebuah ide pun benar-benar muncul dalam benakku. Kali ini aku tidak ingin menyia-nyiakan waktu lebih banyak lagi. Aku akan segera menyusunnya menjadi sebuah paragraf yang berisikan pengalamanku sendiri.

            Untuk hari ini berkat kehadiran Lyra, aku menemukan sebuah ide yang begitu indah. Ide yang selama ini tak pernah terpikirkan olehku. Sebuah ide mengenai persahabatan yang bagikan pelangi. Beragam warnanya mampu menghasilkan kisah dengan berjuta inspirasi didalamnya. Lyra, sekali lagi aku ucapkan terima kasih. Terima kasih karena telah hadir dalam hidupku. Terima kasih juga karena telah membangkitkan kembali semangatku. Terima kasih karena kamu adalah sumber inspirasi dalam hidupku.

            Beberapa menit berlalu, aku telah kembali memainkan jemari tanganku diatas keyboard laptop. Sebuah paragraf mulai terbentuk. Bahkan aku tidak menyadari bahwa waktu telah berlalu begitu cepat. Menghadirkan malam yang begitu gelap dan sunyi. Hingga tanpa terasa aku pun tertidur ditempat ketika ceritaku telah mencapai bagian akhir.

-END-