The trees are about to show us how lovely it is to let the dead things go.
Pagi yang mendung. Lagi-lagi aku memandangi setiap helai daun yang berjatuhan di balik jendela. Rasanya sama, seperti gugurnya setiap sel tubuh anakku yang termakan sel kanker.
“Mah..”
Aku tersentak mendengar suara samar yang terbekap.
“Kau sadar, nak?” Itu anakku, dia tersenyum dari balik masker oksigennya. Tangan kurusnya bergerak ingin membuka masker itu. Lantas ku bantu ia dengan menggantikan masker oksigen tersebut dengan selang yang mengarah ke hidung saja.
“Mama melamun..” ujarnya.
“Tidak. Mama hanya sedang memandangi daun-daun yang berguguran di luar sana. Jarang sekali mama melihat daun gugur sebanyak ini di Indonesia.” Aku tersenyum lembut sambil mengusap jemarinya.
“Mama suka?”
“Ya.. dulu musim favorit mama adalah autumn. Tapi di Indonesia kan tidak ada, jadi kalau memasuki musim hujan saja rasanya mama sudah senang sekali.”
Dia tersenyum. “Syukurlah aku bisa membawa mama melihat autumn yang sebenarnya.” Ucapannya membuat aku terdiam.
Apakah aku memang perlu bersyukur dengan rasa senang melihat autumn ini, sedangkan aku tahu hal yang membuat kami sampai pergi ke Jepang adalah kanker tulang yang dialami anak sulungku? Bagaimana aku bisa merasa senang melihat putra pertamaku yang seharusnya tumbuh seperti anak SMA lainnya, kini tampak seperti anak SD dengan kebebasannya yang terkekang setahun lamanya akibat sakit yang dialaminya? Dan kalimat anakku kini terasa menggantung di udara. Aku hanya tersenyum padanya sebagai jawaban.
“Permisi.” Suara Ochi terdengar di ruangan, dia adalah translator kesehatan yang bertugas untuk kami. Di belakangnya diikuti seorang dokter anak dan dua orang perawat yang asli orang Jepang. Dokter itu tersenyum setelah selesai mengecek kondisi vitalnya serta pembengkakan di kaki kanan anakku.
“Ibu, dokter ingin bicara sebentar di luar” ujar Ochi menerjemahkan. Aku menangguk.
“Mama tinggal sebentar ya, nak.” Anakku mengangguk pasrah. Lantas aku tinggal ia bersama dua perawat yang mengganti infus dan peralatan lainnya.
Dokter wanita berdarah asli Jepang itu menerangkan sesuatu yang tidak ku mengerti, namun kemudian diterjemahkan oleh Ochi. “Ananda tersadar pagi ini. Kondisi vitalnya baik. Lalu, seperti janji kita sebelumnya, rencana operasi hari ini hanya akan dilakukan jika kondisi vitalnya membaik. Maka menurut dokter sebaiknya operasi dilakukan segera. Apakah ibu sudah membicarakan rencana operasi itu pada Ananda?”
Oh, aku bernapas lega mendengarnya, lalu menjawab dengan bahasa Indonesia melalui Ochi. “Belum dok. Dia baru saja tersadar 3 menit sebelum dokter masuk. Kami belum sempat bicara banyak hal.”
Kami saling berbicara seterusnya dengan perantara Ochi. “Baiklah, sekarang coba sampaikan dulu pada Ananda. Jika ia siap, hubungi dokter Mei. Kalau bisa sebelum sore hari kita sudah memulai operasinya," ucap dokter Mei.
“Baik dok.” Aku mengangguk. Dokter itu pergi, begitupun Ochi. Sementara aku masih bertahan di nurse station. Aku menjelajah rekam medis anakku. Bagaimanapun, aku masih mengerti istilah-istilah yang tertulis di sana, kecuali yang murni bertuliskan aksara Jepang.
Ya, aku si calon dokter yang gagal. Perkuliahanku berhenti di semester 7 karena seseorang telah memasukkan cikal bakal anak sulungku ke dalam rahimku. Seorang bajingan dari antah berantah yang sialnya juga menurunkan genetik sel kanker pada anak sulungku. Tapi aku sudah tak ingin mempermasalahkan hal itu lagi. Aku sudah berhenti mencari pelakunya sejak datang seorang laki-laki yang dengan tulus mau menerima kondisiku: si perawan beranak satu. Dunia sudah berjalan lebih jauh. Aku kini bahagia dengan suamiku, kami memiliki anak kedua, dan kedua anak kami akur tanpa batasan canggung atas status tiri yang tak mereka ketahui.
“Well. And then, how about the patient with osteosarcoma you told me yesterday?”
“They have not decided whether to do the procedure today or not, but his vital condition seems stable at my last checked.”
“Aah, let me see his medical record first. Who is that patient’s name?”
“Ananda Setiadarma. Wait for a while, doc, i'll find it to you."
Aku lantas menoleh mendengar percakapan yang membicarakan anakku. Mereka adalah dua orang dokter, satu dokter Mei yang tadi mengunjungiku dan satu lagi kurasa pria namun wajahnya terhalang dinding nurse station ini. Dokter Mei itu tak sengaja melirik padaku yang masih berdiri di tempat tadi ia meninggalkanku.
“Oh, here is the patient’s mother, doc,” ujar dokter Mei. Tak lama, wajah dokter pria itu tampak dan persis menoleh ke arahku.
“Tama?”
“Kau..”
Kami sama-sama terperangah melihat pertemuan yang sangat tidak terduga ini. Aku masih terdiam. Terlalu banyak kalimat berkeliaran di kepalaku yang ingin aku sampaikan padanya.
“Wow, she’s my old friend. I don’t expect she’s the one that you mean. So, can I talk to your patient’s family directly?” ujar Tama pada dokter Mei. Aku mengerti, profesionalisme dokter memang seperti itu. Izin untuk berkontak langsung dengan pasien yang ditanggungjawabi oleh dokter lain menjadi penting diantara mereka.
Dokter Mei mengangguk, lalu Tama segera menghampiriku. Kami berjalan menuju ruang rawat anakku. Selama di depan anakku, Tama tampak begitu hangat dan cerdas seperti dulu. Ia membantuku menyampaikan rencana operasi pada anakku, dan syukurlah anakku tampak begitu semangat untuk melakukannya hari ini.
***
“Aku mempercayakan sepenuhnya padamu, Tam,” ucapku tepat ketika Tama hendak memasuki ruang operasi. Anakku sudah lebih dulu dimasukkan ke dalam sana.
“Percayakan pada Tuhan, Fid. Aku hanya seorang dokter,” balasnya.
“Aku mengerti, Tam. Sangat mengerti.” Ku harap Tama tak lupa bahwa aku adalah teman seperjuangannya yang sama-sama terdidik sebagai calon dokter, dahulu, 15 tahun yang lalu. “Tapi satu hal yang aku ingin kau ketahui. Aku sudah merawat anak sulungku selama satu tahun. Melihatnya kesakitan adalah trauma terburukku, tapi aku tetap bertahan di sisinya. Jadi, aku harap kau tidak membuat usahaku menjadi sia-sia, Tam,” lanjutku.
Tama tersenyum sambil menepuk pundakku. “Aku akan melakukan yang terbaik untuk pasienku,” tutupnya, lalu menghilang di balik pintu ruang operasi.
***
Ini adalah hari terpanjang yang pernah aku alami seumur hidup. Enam jam berlalu namun belum ada kabar tentang operasi anak sulungku. Aku masih tetap bertahan di taman ini, di luar rumah sakit, dan berpandangan langsung dengan daun-daun yang berguguran. Semakin malam anginnya semakin kencang, semakin badai untuk mematahkan ranting-ranting rapuh. Sama sepertiku yang semakin gundah dan seakan patah semangat menunggu keajaiban. Haruskah aku menyerah untuk berharap? Mungkinkah?
“Ibu! Bu, ayo kembali ke dalam.” Sebuah teriakan berbahasa Indonesia tiba-tiba memanggilku.
“Kenapa?” lirihku dengan perasaan panik yang menjalar. Aku tidak bisa memungkiri degup jantungku yang meningkat lebih cepat ini. Aku takut mendengar apapun. Aku takut..
“Anak ibu plus...”
Siiiiinggg-------
“maafkan kami.”
Tuk..tuk..tuk..
Hentakan sepatu ini bersahutan di lorong rumah sakit. Selepas kabar dari Ochi, aku seperti tuli, tak mendengar suara apapun lagi. Penjelasan apapun terasa buyar dan samar ku dengar. Aku tahu apa yang aku hadapi. Istilah plus dalam medis tak selalu berarti positif dalam maksud baik. Plus adalah kenyataan “Ya”, dan dalam kondisi kritis itu berarti “Ya, mereka kehilangan nyawa pasien.”
Aku berhenti di hadapan bangsal dengan pasien yang sudah tertutupi kain putih. Aku menghela napas dalam-dalam, memberanikan diri membuka kain itu. Benarkah ia anakku?
Tangisku pecah seketika, melihat anakku yang pucat dengan mata terpejam dan hidung yang tersumpal kapas. Tidak mungkin. Ini terasa semu. Aku tidak bisa membayangkan sosoknya yang siap menghilang sempurna dari pandanganku beberapa jam lagi..
“Kemana dr. Tama?” tanyaku setelah cukup bisa mengontrol tangisku.
“Dia ada di—“
“Dia sedang beristirahat sebentar, bu. Dokter Tama pasti datang ke sini.” Perawat lainnya menyela jawaban perawat sebelumnya. Tiba-tiba aku merasa jengah.
“Aku hanya bertanya, kemana dokter Tama?!” Tanpa sadar nadaku meningkat.
“Sabar bu. Beliau pasti akan kembali kepada pasien.”
“Aku di sini.” Suara Tama menggema di ruangan, membuat kami semua melihat ke arahnya yang baru masuk dari balik pintu. “Kalian boleh pergi. Terimakasih bantuannya,” ujar Tama sembari membungkuk pada dua orang perawat, lalu kedua perawat itu pergi.
Tama berdiri di seberangku. Aku dapat melihat dengan jelas wajah lelah dan menyesalnya saat ia memandang ke arah anakku.
Dia menarik napas sebelum berkata, “Aku minta maaf. Aku sungguh-sungguh minta maaf.”
Kini dia menatap lurus ke arahku. “Kau tahu, kami sebagai dokter pernah berjanji untuk berbuat semaksimal mungkin yang terbaik bagi pasien. Kondisi Ananda memang membaik pagi tadi, namun sebagai anak-anak, Ananda memiliki ciri khas dimana kondisinya mudah naik turun dengan cepat. Di tengah operasi tadi, tekanan darahnya menurun drastis dan nadinya melemah. Kami sudah berupaya mempertahankannya namun Tuhan berkehendak lain. Maafkan kami.”
Sebutir air mata lolos dari pelupuk mataku. Kakiku melemas hingga akhirnya jatuh terduduk di lantai. Aku tidak tahu apa yang terjadi. Namun aku bisa merasakan sebuah tangan memeluk bahuku dan gumaman maaf terngiang dimana-mana.
***
Waktu menunjukkan pukul 10 malam. Saat ini tidak ada yang dapat aku lakukan dengan anakku. Mereka tengah melakukan persiapan pemulangan jenazah anakku ke Indonesia. Aku memilih duduk di kursi taman rumah sakit bersama Tama. Beberapa menit lagi mungkin aku akan meninggalkan kota ini dan kesenduan musim gugurnya.
“Terimakasih,” ucapku ketika Tama memberikanku segelas teh panas.
“Kau masih menyukai musim gugur?” tanyanya.
“Ya, masih seperti dulu.”
Ingatanku melayang pada masa lalu kami. Tama adalah cinta pertamaku ketika masih berkuliah kedokteran. Dulu kami pernah berjanji untuk mengunjungi negara lain ketika musim gugur, namun aku tidak menyangka janji itu terlaksana dalam keadaan seperti ini. Tama yang dulu sangat cerdas dan berambisi besar untuk menjadi dokter spesialis bedah orthopedi dan diakui hingga ke luar negeri. Aku juga sering meledeknya dulu, karena ambisinya yang terlalu menggebu itu, tapi ia bilang ia punya alasan kenapa ia seperti itu. Apapun itu, aku cukup salut. Kurasa ia telah berhasil menghidupi mimpinya sekarang.
“Tam.. Ku dengar kau menangis tadi setelah operasi? Padahal ini bukan operasi pertamamu yang gagal,” tanyaku.
Dia menatapku dan tersenyum kecil. “Aku hanya memikirkan perasaanmu dan bagaimana aku menyia-nyiakan harapanmu tadi. Aku sungguh menyesal ini terjadi.”
“Aku sudah tidak apa-apa Tam. Tiba-tiba aku sadar, aku tidak bisa menyalahkan siapapun, termasuk dokter sehebat kamu. Pun kalau aku yang menjadi dokter, aku akan mengalami puluhan operasi gagal dan merasakan bagaimana nyawa pasien melayang di tanganku. Aku mengerti itu berat, dan tidak seharusnya aku menggantungkan harapan pada manusia,” ucapku, lalu mengalihkan pandangan pada dedaunan yang jatuh.
“Tiba-tiba aku teringat pesan musim gugur yang pernah kamu sebutkan dulu. Seperti pepohonan itu, mereka mengajarkan kita betapa indahnya merelakan sesuatu yang telah mati untuk pergi. Aku belajar pada musim gugur untuk melepaskan hal berharga yang telah mati.”
Aku menghela napas sejenak sebelum melanjutkan, “Setidaknya aku sudah cukup puas merawat anakku selama setahun ini, Tam. Sekarang waktunya aku untuk melepasnya ke tangan Tuhan yang memiliki Ananda sejak awal."
Tama tersenyum padaku. “Kau wanita yang tangguh, Fid.”
***
Malam itu berlalu begitu saja. Ada sesak yang dirasa Tama ketika Fida dan anak sulungnya pergi meninggalkan rumah sakit. Ada rasa yang tidak pernah tersampaikan dan sebuah kalimat maaf yang terpendam jauh di dalam hatinya.
Setahun yang lalu, anak perempuanku juga meninggal di tanganku dengan penyakit yang sama: Osteosarcoma.
​​​Aku tidak tahu mengapa Tuhan tidak memberikan keajaibannya lagi pada garis keturunanku. Mungkin terselamatkannya aku dari Osteosarcoma sewaktu kecil sudah cukup menjadi anugerah Tuhan kepada keluarga besarku. Dia tidak memberikan keajaiban kedua kalinya.
Maaf, Fid. Maaf karena aku telah menurunkan genetik kanker ini pada Ananda.
Tapi kau beruntung, Fid. Kau bisa merawat Ananda setahun lamanya, sedangkan aku masih terbungkam dalam rahasia bejatku. Dan satu-satunya sentuhanku pada Ananda nyatanya justru membawa ia pergi ke surga.