Mozzadhila

Perharps in the alternate universe, we would end up being lovers. Or maybe, we don’t even know each others’ existence at all

Aku percaya pada teori alam semesta paralel karena beberapa alasan. Yang pertama, Tuhan itu MahaPencipta. Kedua, aku yakin hidupku sebenarnya tidak terlalu menyedihkan. Ketiga, adanya beberapa bahasan sains yang memusingkan.

Oke, aku akan membahas mengenai poin nomor dua. Menurut sebuah artikel yang kubaca di internet, ada sebuah gagasan yang mengatakan mengenai eksistensi alam semesta selain alam semesta kita sendiri, di mana apapun pilihan yang kita buat di bumi ini, dapat terjadi di alam semesta alternatif. Hubungannya dengan poin nomor dua adalah: semua hal dalam hidupku.

Aku yakin hidupku tidak akan terlalu menyedihkan jika aku tidak terlalu sering bergulat dengan diriku sendiri, menciptakan pilihan-pilihan dalam otakku yang pada akhirnya hanya membuatku pusing. Dan bodohnya, aku selalu mengambil pilihan yang jelek. Yah, tapi paling tidak, kepercayaanku kepada adanya alam semesta paralel membuatku sedikit berbahagia mengetahui versi lain diriku di alam semesta alternatif dapat merasakan pilihanku yang lain—(baca: yang tidak merujuk pada kesialan)—dan ia bisa hidup bahagia. Walau aku sedikit iri. Aku berpikir: Mengapa kebahagiaan itu tidak dirasakan oleh versi aku yang tinggal di alam semesta ini?

Tentu saja aku tidak perlu menceritakan semua kesialannku kan? Aku hanya perlu mengatakan bahwa aku merasa selalu sial karena mengambil keputusan yang salah. Seperti apa yang aku lakukan kepada sahabatku baru-baru ini. Pilihan kata-kataku yang salah menyakiti hatinya. Dan asal tahu saja, kata-kata yang salah dapat menusuk lebih tajam daripada belati.

Perbuatan—ucapan—bodohku waktu itu membuatku merasa seolah semesta lain sedang menertawakan ketololanku sekarang, sementara diriku di alam semesta alternatif sedang berbahagia.

Oke kuberi satu contoh, aku terlambat bangun pagi ini karena pada malamnya aku galau untuk memilih: langsung tidur atau menonton drama? Tentu saja kalian tahu opsi mana yang akhirnya kupilih karena aku berakhir di sini, taman belakang sekolah. Versi Fiona di alam semesta lain pasti sedang menikmati waktu kosongnya di pelajaran Sejarah hari ini.

Tapi itulah yang kubicarakan. Paling tidak, sesungguhnya kehidupanku tidak terlalu menyedihkan. Walau itu terjadi di alam semesta lain.

“Lebih  baik kau tidak menuju ke bagian pojok. Di sana adalah bagian tanaman untuk penelitian biologi kelas 12.” Sebuah suara di belakang membuatku terlonjak. Maksudku, aku sedang berada di taman belakang sekolah sendirian dengan kondisi sepi dan sunyi lalu tiba-tiba ada yang berbicara... ITU MENGANGETKAN.

Aku menoleh ke belakang dengan segera hanya untuk mendapati orang itu berkata lagi, “Jangan sampai kau buat mereka bingung jika kau mencabut tanaman yang salah.”

Aku memutar bola mata. “Aku bisa membedakan mana rumput liar, mana tanaman sehat. Mana sampah, mana yang bukan sampah.”

Manusia itu hanya terdiam dan menatapku. Kemudian ia berjongkok dan mulai melakukan hal yang sama sepertiku, memunguti sampah dan mencabut rumput liar.

Aku mengernyit. “Kau dihukum juga?”

Cowok itu hanya bergumam sebagai jawaban atas pertanyaanku.

“Kenapa?”

Untuk pertanyaan ini ia hanya memberiku kesunyian sebagai jawaban. Aku menghembuskan napas. Tentu saja. Aku sudah terbiasa dengan diamnya dia. Dia masih marah padaku. Aku memakluminya. Jika aku jadi dia, mungkin aku baru mulai bisa berbicara diriku sendiri satu bulan lagi. Dan ini baru satu minggu sejak kejadian itu.

Tapi jujur saja, seorang Nevan Andreas mendiamkanku selama seminggu—baru selama seminggu—itu rasanya sangat membosankan dan... menyedihkan.

Kami sudah berteman saat kedua ibu kami masih sama-sama mengandung. Ayah Nevan berasal dari Selandia Baru, dan itu menjelaskan mengapa Nevan berbicara agak baku sampai sekarang.

Kami tumbuh bersama-sama, tentu saja kami dekat. Kecuali pada saat SMP, sekolah kami berbeda. Tapi hanya saat SMP. Saat kelulusan, mengetahui bahwa aku dan Nevan satu SMA, kami merayakannya dengan memakan es krim. Mengingat aku dan Nevan sudah dekat dari kecil dan sekarang kami seperti ini hanya karena hal sepele, membuatku terus terang saja sedih. Tentu kami pernah bertengkar, tapi kami selalu bisa menemukan solusinya.

Namun kalau masalah ini, aku tidak tahu apakah kita masih bisa berbicara tanpa merasa canggung. Aku jadi penasaran jawaban apa yang aku lontarkan padanya pada waktu itu di alam semestaku yang lain. Apa pun itu, aku yakin pilihan itu tidak membuat kami sial begini.

Saat bel istirahat berbunyi, aku langsung segera berdiri dan membersihkan tanah yang menempel pada rok sekolah. “Aku duluan,” ujarku sambil berjalan melewati Nevan yang masih berjongkok dengan segenggam rumput liar di tangannya.

“Fiona,” panggilnya. Aku menoleh ke belakang, mendapati dia masih menatap lurus ke tanah di depannya. “Jangan lupa datang ke pertemuan astronomi sepulang sekolah. Materi kali ini tentang alam semesta paralel. Topik yang sudah kau tunggu.”

“Aku tidak pernah melewatkannya.”

***

“Bukti? Para ilmuwan telah menemukan cold spot misterius di luar angkasa. Dinginnya mencapai 0,00015  derajat celcius. Tempat itu lebih dingin karena mengandung 10.000 galaksi dari area lainnya. Titik dingin itu bisa disebabkan oleh adanya tabrakan antara alam semesta kita dengan alam semesta lainnya.”

Anak junior itu menatapku dengan bingung. “Aku masih tidak mengerti kenapa itu bisa disebut sebagai bukti. Bagaimana ia tahu area itu dingin karena adanya galaksi lain? Belum tentu titik dingin itu adalah sebab dari adanya multiverse. Lagipula, kenapa kita tidak bisa melihatnya?”

“Kau berarti belum pernah mendengar teori  bahwa alam semesta letaknya berdampingan di dimensi yang lebih tinggi sehingga indra kita tidak bisa melihatnya,” ujarku.

“Jika berbicara mengenai bukti, tentu ada banyak teori yang diajukan oleh para ilmuwan. Jujur saja, bahasan sains itu malah akan memusingkan kepala kita,” Nevan bersuara. Aku bisa mendengar jeritan tertahan para junior yang mengklaim diri mereka sebagai ‘penggemar’ Nevan saat cowok itu berbicara. “Kalian mau dengar teoriku? Menurutku, alam semesta paralel hanya diciptakan di imajinasi orang-orang yang tidak mau menerima kenyataan, yang selalu berharap bisa mendapatkan kebahagiaan di tempat lain. Mereka ingin lari dari kenyataan. Begini cara mereka berpikir: ya, aku sudah membuat keputusan yang salah. Tapi paling tidak, versi diriku di alam semesta lain merasakan pilihanku yang terjamin baik.”

Aku mendapati tatapan tajam Nevan seakan menusuk mataku. Dan ruangan seketika menjadi hening.

Sekarang Nevan mengalihkan pandangannya. “Sekarang yang menjadi masalahnya, kenapa mereka-mereka ini—orang yang percaya pada alam semesta paralel hanya karena ingin lari dari kenyataan—selalu seolah sengaja membuat keputusan dan mengambil pilihan yang menyulitkan mereka di semesta ini dan membiarkan pilihan kebahagiaan itu terjadi di alam semesta lain? Bukankah itu—excuse my language—bodoh?”

Mulutku membuat O besar. “Masalahnya bukanlah bahwa dia sengaja membuat keputusan buruk, tapi masalahnya adalah ia selalu bingung untuk menentukan pilihan dan akhirnya malah mengambil pilihan tidak tepat. Kau pikir orang sengaja membuat keputusan buruk? Mana ada,sih, orang yang ingin hidup sial terus? Mana ada orang yang tidak mau mendapatkan kebahagiaannya?”

“Sejauh yang aku perhatikan, ada saja orang seperti itu,” Nevan kembali menatapku.

Oh tentu saja aku tahu kata-kata itu dijuruskan ke siapa. Ruangan masih hening. Dan aku tidak tahu harus berkata apa.

“Oke semuanya, sekarang udah ngelewatin batas waktu. Jadi jangan lupa seperti yang sudah kita bicarakan, nanti malem bakal ada observasi meteor. Datang ke sekolah jam setengah tujuh malam. Jangan lupa mbawa alat tidur kalian dan juga beberapa makanan ringan. Pertemuan minggu ini sampe sini dulu,” Sam mengakhiri suasana dingin hari itu.

Para anggota klub bergegas keluar ruangan. Termasuk aku, yang langsung mengejar Nevan saat ia mulai berjalan keluar pintu dengan tas disampirkan ke sebelah bahunya.

Aku berlari kecil untuk menyamakan langkahnya. “Maksud kamu apa tadi?”

Ia melirikku sebentar, lalu ke depan lagi. “Maksud aku apa?”

“Teori aneh kamu tadi.”

Nevan mengangkat sebelah alisnya. “Aku kan cuma mengungkapkan pendapat. Kalau ada beberapa pihak yang tersindir...” ia melirikku kembali. “... ya bukan masalahku.”

Mulutku kembali membuka O besar kedua kalinya hari ini. Aku terdiam di tempat sementara Nevan masih terus berjalan. Lalu aku memutar tumit dan berseru, “Apa yang membuatmu begitu percaya diri bahwa jika saat itu dengan menjawab ‘ya’ dari pertanyaanmu, bisa membuatku menemukan ‘kebahagiaan’ itu?”

Nevan berhenti di tempatnya dan memutar badannya untuk menatapku. Ia menaikkan sebelah alis tebalnya bingung.

“Dari diskusi tadi, kamu selalu menyinggung ‘pilihan tepat’=’kebahagiaan’. Nah sekarang aku mau tanya, jika aku menyatakan hal yang sama padamu waktu itu, apa yang membuatmu begitu yakin aku bisa bahagia, Nevan? Kamu tidak tahu apa-apa tentang kebahagiaan buatku.”

Nevan hanya terdiam dan rahangnya mengeras. “Tolong jangan kekanak-kanakan. Penolakan aku waktu itu semata-mata hanya ingin mempertahankan persahabatan kita. Aku tidak mau apa pun yang sudah kita lalui, rusak hanya karena adanya perasaan yang terselip,” kataku. “Dan dengan kamu yang menjauhi aku sebagai tanda kemarahanmu ini... ini tidak menolong sama sekali.”

Cowok itu menatapku dengan tatapan yang sulit diartikan. Ia membuka mulutnya seolah ingin mengatakan sesuatu, tapi kemudian ditutupnya lagi. Alih-alih, dia memutar badannya dan berjalan menuju tempat parkir. Meninggalkan aku sendirian di koridor yang sepi dengan kekosongan yang perlahan merayapi dadaku. Yang membuatku kesal, aku bisa merasakan tetesan air yang mulai berjatuhan di pipiku.

***

Aku hanya diam di kamarku sepanjang sore. Berpikir. Alih-alih menyiapkan barang untuk observasi nanti malam, aku malah bengong. Aku baru saja menyadari air mata yang aku tumpahkan di sekolah adalah simbol penyesalan. Aku merasa menyesal dan aku mengaku salah atas apa yang telah kukatakan pada Nevan saat itu. Jika saja aku tidak mengatakannya, pasti kita akan baik-baik saja. Pasti versi diriku di alam semesta lain sudah siap dengan barang-barangnya dan sedang menunggu Nevan menyelesaikan persiapannya.

Saat Nevan menyatakan perasaannya waktu itu. Aku tidak kaget. Jujur saja. Karena aku yakin lambat laun hal seperti ini akan terjadi juga. Karena aku merasakan hal yang sama. Sungguh klise. Ucapan orang-orang yang berkata bahwa persahabatan cewek-cowok tidak bisa bertahan lama ternyata benar.

Tapi aku tidak mau ikatan yang aku dan Nevan punya—apa pun ini—rusak. Jadi saat itu aku hanya berkata, “Perharps in the alternate universe, we would end up being lovers. Or maybe, we don’t even know each others’ existence at all.”

Saat itu Nevan menatapku tidak percaya. Aku tahu persepsi Nevan selama ini mengenai alam semesta paralel hanyalah sebatas fantasi belaka. Dan ternyata ia mengira aku juga berpikiran yang sama. “Aku lelah dengan semua teorimu. Kamu seolah membiarkan kebahagiaanmu terjadi di tempat lain, sementara orang-orang justru pasti akan selalu memilih kesempatan yang bisa mengarahkannya kepada kebahagiaan. Apa maksudnya? Aku tidak mengerti kenapa kau seperti ini.”

Kemudian, aku mengatakan hal yang kuduga—atau pastinya—menyakiti perasaannya. “Apa yang membuatmu berpikir dengan aku menyetujui hal itu bisa membuatku bahagia?” Nevan menggelengkan kepalanya. Selain menyakiti hati Nevan, aku membohongi diri sendiri. Tentu saja aku tahu apa yang bisa membuatku bahagia. Tapi masalahnya, aku hanya takut untuk membayangkan bagaimana akhirnya nanti.

Jadi, aku memutuskan untuk hadir pada observasi malam ini. Aku akan menjelaskan semuanya pada Nevan.

***

Sesampainya di sekolah, para anggota astronomi sedang menonton Interstellar. Saat melihatku, Nevan—surprisingly— langsung menarikku ke atap sekolah. Tempat langganan di mana biasanya kami melarikan diri jika salah satu guru mata pelajaran tidak hadir. Lampu kota terlihat mengagumkan dari sini.

 “I just want you to know, bahwa aku membuat jarak darimu bukanlah karena aku marah atau kesal,” katanya. Lalu ia memutar badan. “Tapi rasanya menyedihkan berada di dekatmu terus dan menyimpan perasaan seperti ini sendirian.”

Aku melongo. Tanganku berkeringat tanda cemas. “No.” Aku menggeleng tegas dan berjalan mendekatinya. “It is mutual,” ujarku pelan. Sial, aku benci hal-hal cheesy dan corny seperti ini. Dan untuk menyuarakannya seperti tadi, pipiku memerah.  

Aku bisa merasakan tubuh Nevan di sebelahku me-relax. Jadi selama ini dia sudah tahu, dan dia hanya menungguku mengakuinya. “Kau yakin?”

“Waktu aku berkata hal kejam itu... I was afraid,” aku mengakui. “But... uhm, oh my God, don’t make me say it. We can...

“Face it together?” Nevan menatapku menahan tawa.

Aku memutar bola mata. “Ya, semacam itu,” ujarku. “Because now I finally understand my happiness. Dan kali ini aku membiarkan versi Fiona di alam semesta ini yang merasakannya.”

Nevan tersenyum. Aku bersuara lagi, “Aku juga belajar bahwa kebahagiaan adalah pilihan. Ketika kau bertanya mengapa kebahagiaan tidak dirasakan oleh versimu di alam semesta ini? Justru kebahagiaan itu balas bertanya, ‘mengapa kau tidak mencariku?’”

Nevan mengangguk. “Aku tidak akan berkata-kata mutiara atau apa, tapi... jika kamu tahu dan sadar titik kebahagiaanmu itu berada di mana, datangilah. Apapun risiko yang datang setelahnya, pasti bisa kamu atasi. Aku yakin. Manusia berbuat kesalahan itu normal. Dan akan selalu begitu.”

Aku nyengir dan kemudian menatapnya. “Bagaimana dengan The Andromedans (makhluk dari Galaksi Andromeda)? Apa membuat kesalahan juga merupakan hal normal bagi mereka?” tanyaku iseng. “Karena kudengar, mereka adalah makhluk-makhluk bijaksana.”

 Nevan menatapku jenaka. Detik berikutnya, aku bisa merasakannya meremas tanganku hangat.

febyolanda13

I always love astronomy thingy like this. Pour astronomy into short story is amazing. I love your story. 😊 (I was searching for ideas to write when I found your story.)