Wijayanti

ada masanya kau harus meninggalkan zona nyaman dan beralih ke zona yang penuh perjuangan, maka bersiaplah dari sekarang karena tidak ada yang tau kapan dan dimana kau berada dalam kesusahan.

Berawal dari Keterpaksaan,

Aku dulu selalu menentang masuk pesantren. Berkali-kali bundaku memintaku mondok, berkali-kali pula aku selalu menolak. Dulu ketika aku akan melanjutkan studi ditingkat SMP, bunda menawariku mondok. Tapi aku beralasan “Aku masih terlalu kecil Bun.. Aku belum siap lepas dari ayah dan bunda.” Ketika itu orang tuaku masih memaklumi.

Ada banyak alasan mengapa aku menolak. Aku menginginkan menjadi apoteker seperti tanteku. Aku lebih menyegani matematika dan kimia dibanding ilmu balaghah dan tajwid. Aku lebih akrab dengan novel dan ensiklopedi daripada kitab kuning dan kitab tafsir. Aku tidak suka ditekan, apalagi hafalan. Aku tidak tahan dengan kerinduan. Sedangkan mondok menuntutku untuk jauh dari keluargaku. Sungguh kerinduan yang amat mematikan.

Sejak kecil apapun keiinginanku selalu terkabulkan. Apapun itu. Sampai-sampai kakak sulungku merasa iri padaku. Aku ingat waktu kecil aku menginginkan sepeda baru, dan kakak sulungku menginginkan jam tangan baru. Tapi ayah mendahulukan membelikanku sepeda dengan alasan sepeda lebih penting dari pada jam tangan. Walaupun ketika itu aku sudah mempunyai sepeda. Manja bukan.

Tiba saatnya aku akan melanjutkan studi ditingkat SMA, bunda menawari mondok lagi. Lalu aku beralasan “Aku mau sekolah di SMK Farmasi bun, bukan mondok.” Namun ketika pengumuman penerimaan siswa di SMK Farmasi, aku tidak lolos seleksi. Sungguh kenyataan yang amat pahit.

Kekecewaanku samasekali belum terurai. Batas penerimaan peserta didik baru segera berakhir. Tapi aku belum masuk di sekolah manapun. Keadaan ini membuat ayah dan bundaku khawatir.

Aku masih ingat, ketika itu aku dibangunkan bunda untuk sholat tahajud. Ku lihat jam dinding menunjukkan pukul 2.00 WIB.

“Haa... tumben sedini ini bunda membangunkanku, biasanya juga jam tiga.” Gerutuku dalam hati.

Hal yang paling aku ingat ketika itu aku bermaksud ke dapur untuk minum, lalu aku dapati sebuah koper besar dan dua tas jinjing yang amat berisi.

“ Ini siapa Bun yang mau pindahan? Apa ayah mau kerja diluar kota?”

Ketika itu bunda tidak menjawab apapun. Bunda hanya memberiku isyart agar duduk. Bunda berbicara amat pelan dan lembut. Disela tatapannya, aku melihat bola mata bening bunda berkaca-kaca.

“Bunda... ini ada apa siih? Bunda sakit?” Cemas dan bingung  terbaur menjadi satu.

Bunda megelus kepalaku, dan kulihat air mata yang tertahan dimata bunda kini membasahi pipinya. Bisa dibayangkan bukan, ketika dini hari bunda kita menangis tanpa kita ketahui penyebabnya.

Aku memeluk bunda erat-erat. Air mata bunda memecah keheningan malam, amat menyayat di hati.

“ Anakku... sekarang kamu sudah besar. Sekarang tiba saatnya kamu pisah dengan ayah dan bunda. Usia ayah dan bunda semakin hari semakin tua, kamu mau membahagiakan ayah dan bunda kan?” Ucap bunda dalam pelukan.

Aku tak berdaya untuk berkata. Tangisan bunda membawaku jauh dari titik sadarku. Aku hanya mampu menjawab dengan anggukan pasrah.

“Mondoklah sayang...”

‘Mondok’ Amat jelas ditelingaku. Seolah-olah aku mendengar berita bencana. Tidak mampu aku cerna dalam pikiranku. Hatiku menjadi keras bagaikan batu. Air mata yang aku tahan, kini tak mampu kuseka. Kulepaskan pelukan bunda, dan ingin berlari ke tempat yang sepi. Lalu berteriak dengan latang dan kutegaskan tidak ada kata ‘Mondok’ dalam agenda hidupku. Namun itu hanya halusinasi sesaat. Bunda menggengam kedua tanganku. Tatapan bunda seolah-olah memaksaku untuk menyetujui permintaannya.

“Sejak dulu ayah dan bunda ingin salah satu dari kamu dan kakak-kakakmu ada yang mondok. Tapi kakak-kakakmu sekarang sudah merantau semua. Tinggal kamu nak. Kamu mau kan mewujudkan impian ayah dan bunda?”

Aku tak mampu menatap bunda. Air mataku terus mengalir. Tidak ada kata yang ku ucapkan selain gelengan. Semakin tak tertahan. Dengan terpaksa aku melepas genggaman bunda dan meninggalkannya. Aku berlari ke kamar, menutup pintu rapat-rapat, dan meng-acuhkan bunda yang terus menggedor pintu kamarku. 

Mungkin sama rasanya, ketika keinginan kita tak sehaluan dengan keinginan orang tua kita. Ketika orang tua kita meminta melakukan hal yang paling tidak kita sukai. Dan yang paling berat untuk menolak, ketika mereka menyangkutkan dengan usia mereka. Jika suda menyangut usia, pasti kita sebagai anak akan ingat tentang perjuangan, pengorbanan, jasa-jasa dan kasih sayang orang tua kita.

***

Aku pasrah. Hanya satu keyakinan dalam benakku “Jika ini yang terbaik untukku, Allah akan mempermudah, jika ini sudah menjadi takdirku, Allah akan memberi berkah. Keinginan orang tuaku keinginan yang mulia, berbakti kepada orang tua adalah kewajibanku sebagai anaknya. Ridho Allah berada pada ridho orang tua, dan murka Allah berada pada murka orang tua. Jika dengan mondok ayah dan bunda bisa bahagia, akupun akan lebih bahagia.”

Ketika itu aku mulai tenang. Menarik nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan perlahan. Ku buka pintu kamarku. Ku lihat di ruang tamu ayah dan bunda sedang menungguku.

Tepat waktu subuh, aku memberikan persetujuan untuk mondok. Tak akan pernah luput dari ingatanku, senyuman ayah dan bunda yang menunjukkan kebahagiaan yang amat sempurna. Tidak dapat tertuang dalam kata-kata bagaimana bahagianya mereka. Ayah dan bunda memelukku dan mengecup keningku.

Setelah sholat subuh aku segera bersiap untuk berangkat ke pesantren. Walaupun berat hati, aku harus mantap dengan pilihanku dan berusaha istiqomah.

***

Setelah tiba di pesantren, ayah dan bunda melepasku. Lambaian tangan ayah dan bunda, serta senyuman mereka menghilangkan segala keraguan di benakku. Ku langgkahkan kakiku menuju penjara suci, pesantren. Dalam setiap langkahku ada sejuta semangat baru yang menggebu  “Aku jauh dari orang tuaku utuk tholabul ‘ilmi. Di sini aku harus bisa membenahi akhlakku. Dalam penjara suci ini aku harus memperkuat imanku. Dan dari keterpaksaan inilah menjadi warna baru dalam hidupku.”

Bermula di pesantren ini aku sadar, ternyata aku belum memiliki bekal apapun untuk masa depanku dan bekal kehidupan di akhirat kelak. Dari kisah ini banyak hikmah yang dapat ku ambil, bahwa “Siapapun kita dimasa lalu bukan berarti kita tidak berhak untuk menjadi muslim/muslimah yang baik...Maka mari berhijrah,dan berbenah. Walau hanya sejengkal demi sejengkal, jangan tunggu hari esok.”

 Hikmah lain yang mengantarkanku pada kebahagiaanku di pesantren dan melupakan kata keterpaksaan yaitu,  “Sesuatu yang tak disangka bisa jadi berjalan dengan lancarnya. Sesuatu yang tak terpikirkan sebelumnya bisa jadi berlaku atas nama takdir. Dalam dunia, banyak perkara yang tak kita sangka. Mungkin kenikmatan dan bahagia yang kita nikmati sekarang disebabkan kesabaran kita  atas sesuatu  itu sekian lama. Hikmah Allah, kadang misteri. Maka bersangka baiklah.” Dan yang paling penting ialah “Amarah tidak pernah menyelesaikan masalah. Dan awal dari kesuksesan kita adalah restu orang tua kita.”

 

***

Sekian sedikit cerita dari saya, semoga bisa memberi manfaat bagi para pembaca. Terutama bagi yang sedang berbeda pendapat dangan ayah dan bunda, insyaallah bisa jadi pertimbangan. Saya sendiri telah meraskan, bahwa pilihan orang tua pasti yang terbaik untuk anaknya.

Handayani

Tingkatkan!!


Nazala
Updated

Ceritanya menggambarkan pengalaman pribadi saya.. birrulwaalidain