AisahAmini

-Cinta sejati adalah ketika kita mengetahui kekurangan seseorang tetapi kita bisa lebih mencintainya dengan kekurangannya itu. -


Suara peluit dibunyikan. Pertandingan basket antar sekolah pun dimulai. Seperti biasa, aku duduk di depan kelasku yang berada di lantai dua. Di tempat inilah aku bisa menyaksikan dengan leluasa pertandingan persahabatan yang mempertemukan sekolahku dengan SMA Bhakti Jaya. Sedari tadi mataku hanya terpaku pada seseorang. Seseorang yang saat ini memegang ban kapten dari sekolahku. 

Dia adalah seseorang yang mungkin ditakdirkan oleh Allah untuk menghiasi hariku saat ini. Dan hadirnya sudah dua tahun menempati tempat khusus dalam hatiku. Aku sadar. Aku seharusnya tidak mempunyai perasaan lebih padanya. Seharusnya perasaan ini kuabaikan dan tidak membiarkannya dalam hati. Tetapi semakin aku melupakannya, perasaan itu justru semakin bertambah. Aku tahu. Dalam islam tidak ada yang namanya pacaran. Jangankan pacaran, memandang lawan jenis penuh nafsu pun sesuatu yang menimbulkan dosa. Aku berharap rasa ini semakin pudar seiring dengan berjalannya waktu. 

Aku mengurungkan niatku untuk menonton pertandingan itu hingga selesai saat jam sudah menunjukkan pukul 16. 00. Aku harus segera pulang. Ibu pasti sudah menungguku sedari tadi di rumah. 

Ketika sampai di rumah, ibu terlihat mondar-mandir di depan rumah.  Raut wajahnya terlihat cemas. Namun senyumnya langsung muncul setelah aku mengucap salam dan mendekatinya. Aku meraih punggung tangan ibu dan menciumnya. 

"Kamu kenapa pulangnya lama sekali? Ibu khawatir sama kamu," ujarnya saat aku melepas sepatu. 

"Iya tadi aku nonton pertandingan basket sebentar," jawabku sopan. 

"Ya sudah kamu mandi dulu. Ibu sudah siapkan makanan. Habis selesai makan, kamu bantuin ibu bikin kue ya. Hari ini ada pesanan banyak."

"Siap!"

Semenjak ayah meninggal beberapa tahun silam, aku hanya tinggal berdua dengan ibu. Kedua kakakku sudah sibuk dengan keluarganya. Hanya setahun sekali mereka mengunjungi ibu. Jarak mereka yang beda pulau membatasi kami untuk saling bersilaturahim. Untuk mencukupi kebutuhan kami, ibu bekerja sebagai penjual kue. Ibu akan membuat kue untuk pesanan warung. Hasilnya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari saja. Terkadang ibu bekerja sebagai buruh cuci untuk mencukupi kebutuhan sekolahku. Dia sosok ibu yang kuat bagiku. 

Hari ini ibu tak semangat seperti biasanya. Wajanya terlihat pucat dan lemas. Ia pasti kelelahan setelah seharian kemarin membuat kue dari jumlah biasanya. Aku sudah menyuruhnya berhenti bekerja dulu. Namun ia tetap bersikeras.

"Hari ini ibu ada janji sama bu Ayu untuk bekerja di rumahnya. Tidak enak jika menolak. Lagipula ibu masih kuat ko, Ven."

Begitulah kata-katanya saat aku memaksanya untuk beristirahat sehari. Dia ternasuk pribadi yang keras dan pejuang. Terlebih untuk anaknya. Jika sudah begini, aku tidak bisa memaksanya lagi. Aku hanya bisa berdoa agar dia baik-baik saja. 

Hari ini aku tidak bisa konsen belajar seperti biasa. Membiarkan ibu bekerja saat tidak sehat seperti ini benar-benar tidak membuatku tenang. Bagaimana jika terjadi apa-apa pada ibu? Aku menggelengkan kepala. Berusaha menepis pikiran buruk tentang ibu. 

***

Setelah menerima kabar buruk dari tetanggaku yang mengatakan jika ibu masuk rumah sakit, aku bergegas meminta izin untuk pulang lebih awal menuju rumah sakit tempat ibu dirawat. Sepanjang koridor rumah sakit, perasaanku campur aduk. Sedih, takut, gelisah semua bersatu padu. Aku takut sesuatu terjadi pada ibu. Hanya dia satu-satunya harta yang paling berharga yang aku punya. 

"Ibu!" aku berjalan mendekati ibu yang terbaring lemah di atas ranjang. Ia tersenyum melihatku. 

"Ibu tidak apa-apa, ko."

"Akukan udah bilang. Ibu jangan kerja dulu. Aku panik pas dengar ibu masuk rumah sakit," ujarku cemas. 

"Jadi anak ibu adalah Venny?"

Aku menoleh saat sebuah suara menyebut namaku. Mataku membola. Refleks terkejut menyadari seseorang yang aku kagumi berdiri di sini. "Hendra?"

Ia tersenyum. "Ibu kamu nggak apa-apa. Cuma kecapean aja."

"Kok kamu bisa di sini?" tanyaku masih berusaha menetralkan jantungku. 

"Tadi saat mau berangkat sekolah, saya melihat ibu kamu pingsan di jalan. Makanya saya langsung bawa ke rumah sakit."

"Jadi ibu sudah kenal sama Hendra?"

Hendra mengangguk. "Ibu kamu sering bantuin keluarga aku kalau lagi ada acara. Dia yang selalu bantu memasak."

Ibu sering membantu keluarga Hendra memasak saat ada acara? Aku masih tidak percaya dengan fakta yang terungkap ini. 

***

Hari ini tepat lima tahun aku dan Hendra tidak saling bertemu. Perpisahan kelas dua belas menjadi pertemuan terakhirku dengannya. Terakhir kabar yang kuterima dia melanjutkan studynya di negeri kincir angin. Sementara aku melanjutkan di Universitas Mercubuana. Kini aku telah lulus S1. Dan bekerja di salah satu perusahaan asing juga sebagai novelis. Sejak kecil, cita-citaku memang sebagai penulis. Kini cita-citaku telah terwujud. 

Hari ini hari launching novelku yang keempat. Setelah membutuhkan waktu beberapa bulan untuk menyelesaikan novelku di sela-sela kesibukan. Aku bersyukur. Semenjak aku duduk di bangku SMA hingga kini aku telah merilis empat novel. Ibu tidak lagi bekerja. Aku menyuruhnya untuk beristirahat dan berdiam diri saja di usianya yang sudah tua. Kami tidak lagi tinggal di rumah yang dulu. Aku telah berhasil membelikan rumah berkat hasil jerih payahku. Meski sederhana tetapi rumah ini jauh lebih bagus dari rumahku yang dulu. 

Hingga sore hari, acara ini belum selesai. Aku masih mengadakan sesi tanya jawab kepada mereka yang telah menyempatkan hadir. Merekalah yang selama ini setia mengapresiasi karya-karyaku. Tentu saja aku berterima kasih kepada mereka yang telah mendukungku. 

"Novel kamu yang ini tidak kalah bagus dengan novel yang sebelumnya." Perhatianku teralih pada seseorang yang baru saja menghampiriku. Ia tersenyum. 

"Hendra? Kamu datang?"

"Kamu hebat. Sudah mengeluarkan empat buku."

"Kok kamu bisa tahu?"

"Jelas aku tahu. Selama ini akukan menjadi pengagum rahasia kamu."

"Pengagum rahasia? Maksudnya?"

"Kamu pasti tahu kan surat-surat yang selalu datang ke kantormu dan bunga serta cokelat yang selalu kutitipkan pada ibu kamu."

Aku terkejut dengan pernyataan yang dilontarkan Hendra. Surat. Cokelat. Bunga. Semua itu memang kudapatkan setiap hari. Baik di kantor maupun di rumah. Jadi pengirim semua itu adalah Hendra? Orang yang selama ini kukagumi dalam diam. 

"Kamu serius?" tanyaku masih tidak percaya. 

"Kalau kamu nggak percaya. Kamu tanya saja sama ibu kamu."

"Jadi, ibu sudah tahu kalau kamu ada di sini?"

Hendra mengangguk. Aku tertawa seketika. Kenapa ibu selama ini tidak bercerita tentang Hendra? Kenapa ibu seolah-olah tidak tahu tentang apa yang terjadi. Tentang pengagum rahasia itu. Aku masih tidak menyangka. Semua ini benar-benar tidak ada di pikiranku. 

Setelah kami berbicara banyak hal, Hendra mengajakku untuk makan malam. Aku terpaksa menolaknya. Aku sudah punya janji dengan ibu untuk mengajaknya makan malam. Semenjak aku sibuk dengan pekerjaan aku hampir tidak mempunyai waktu luang bersama ibu. Ini adalah moment yang pas untuk merayakan berdua sama ibu. Sekaligus sebagai rasa syukur atas dukungannya selama ini. 

"Kalau gitu, kamu mau nggak nemenin aku keliling kota Jakarta? Lima tahun berada di negeri orang, aku sudah lupa dengan seluk-beluk ibu kota."

"Keliling Jakarta? Kamu serius ngajak aku?"

Hendra mengangguk. "Kenapa? Kamu sudah ada acara lain ya?"

Aku menggeleng cepat. "Nggak kok. Kebetulan aku punya waktu luang selama dua minggu. Memangnya kapan?"

"Minggu."

"Minggu? Dua hari lagi dong?"

"Iya. Kamu bisakan?"

"Insya Allah."

"Ya sudah. Aku pergi dulu ya. Nanti kita ketemuan lagi aja. Terserah kamu mau di mana tempatnya."

"Oke deh."

Aku masih tidak percaya. Hari ini kembali pertemuanku dengan Hendra setelah lima tahun hilang kontak. Dan sampai saat ini rasa ini masih menguasai. Lima tahun berpisah tidak serta merta membuat perasaanku hilang begitu saja. 

***

Ujian hidup saat ini tengah menerpaku. Dokter memvonisku lumpuh akibat insiden tabrak lari dua hari yang lalu. Saat itu aku tengah bersiap menemui Hendra. Aku sudah berjanji untuk mengajak Hendra keliling Jakarta. Aku yang memang sedang tidak enak badan sedari pagi memaksakan diri. Aku tidak mau membuat Hendra kecewa. Tapi aku tidak tahu jika ini justru berujung petaka. Sebuah mobil dengan kecepatan tinggi menabrakku yang setengah sadar akibat pusing yang mendera. 

Sempat aku menyalahkan takdir yang tidak bisa membiarkanku bahagia sebentar saja. Tetapi inilah hidup. Dan aku harus tetap menjalani hidup. Aku percaya Allah mempunyai rencana yang indah di balik ini. Dan alasanku tetap kuat hanyalah ibu. 

"Venny."

Aku menoleh. Sosok ibu menyembul dari balik pintu kamar. "Kenapa, bu?"

"Hari ini kita akan kedatangan tamu."

"Tamu? Siapa?"

"Nanti juga kamu tahu. Sekarang kamu siap-siap, ya. Dandan yang cantik ya."

Aku mengernyit. Sebenarnya siapa tamu yang akan datang? Mengapa ibu menyuruhku dandan yang cantik? Tetapi aku tetap menuruti perintah ibu. Dengan bantuan kursi roda aku berjalan menuju lemari. Memilah baju yang sekiranya sopan dan elegan untuk menemui tamu yang ibu maksud. 

Setelah rapi, aku menghampiri ibu yang juga sudah cantik. Raut wajahnya terlihat lebih muda dengan tampilan seperti ini. Ibu menyuruhku duduk di salah satu kursi kosong dan menunggu tamu yang sebentar lagi akan datang. 

"Assalamualaikum."

"Waalaikumussalam. Itu dia tamunya. Nak Hendra silahkan masuk."

Hendra? Jadi tamu yang akan berkunjung itu Hendra? 

"Bagaimana keadaan kamu, Venny?"

"Ya seperti yang kamu lihat. Maaf ya aku nggak bisa nepatin janji buat nemenin kamu keliling Jakarta."

"Nggak apa-apa kok, Ven. Justru aku yang minta maaf. Karena aku, kamu nggak bisa berjalan seperti dulu lagi dan harus memakai kursi roda."

"Ini bukan salah kamu. Mungkin ini teguran dari Allah agar aku bisa lebih punya waktu bersama ibu. Selama ini kan aku sibuk bekerja. Aku juga sudah menerima kondisiku yang seperti ini kok."

"Apapun itu. Aku minta maaf yang sebesarnya sama kamu. Dan tujuanku datang ke sini adalah untuk melamar kamu."

Mataku membola. "Me-lamar?"

Hendra mengangguk. "Iya. Maaf orang tuaku nggak bisa ke sini karena nenekku sedang sakit."

Aku terdiam sejenak. "Kamu yakin melamar aku dengan kondisi aku yang seperti ini?"

Hendra tersenyum. "Ven, cinta itu tulus. Cinta tidak pernah memandang malu, gengsi, kaya, miskin dan syarat yang lainnya. Cinta tidak pernah melihat kelebihan dan kekurangan pasangannya. Tetapi cinta adalah bagaimana caranya kita berkorban untuk kebahagiaan pasangannya. Itulah yang namanya cinta sejati. Dan aku nggak pernah melihat kamu lumpuh atau apapun itu. Bagiku kamu tetap cantik bagaimanapun kondisinya. Jadi bagaimana? Apa kamu mau menerima lamaran aku?"

Aku tersenyum haru mendengar perkataan Hendra. Sederhana tetapi mampu menyentuh hati. Aku terdiam sejenak lalu mengangguk. Menerima lamaran Hendra. Bagaimana aku bisa menolaknya? Sejak dulu aku selalu mengagumi Hendra. Dan aku tidak menyangka Allah mengabulkan permintaanku yang kesekian kalinya. Dan sebentar lagi aku resmi menjadi istri dari orang yang kukagumi."

Hari ini aku akan melangsungkan pernikahan tepat sebulan setelah aku menerima lamaran Hendra. Tepat pukul 09. 00 akad dimulai di masjid yang tidak jauh dari rumahku. Masjid ini selain luas juga memiliki pemandangan yang indah. 

Hendra telah mengucapkan ijab qabul dengan lancar. Kini aku resmi menjadi istrinya. Semua acara berjalan dengan baik. Malamnya, kami mengadakan resepsi di gedung yang telah ditentukan oleh Hendra. Tak banyak yang kami undang. Hanya teman SMP dan SMA saja. Aku yang menginginkan mengundang teman lama saja. 

"Selamat ya, Ven. Aku nggak nyangka cinta dalam diam kamu tidak bertepuk sebelah tangan. Kamu beruntung bisa mendapatkan Hendra," ujar salah satu teman SMA kami, Putri. Aku tersenyum. Benar katanya. Aku memang beruntung bisa mendapatkan cowo sebaik Hendra yang menerimaku apa adanya. 

***

Pagi ini aku bangun lebih pagi. Aku harus menyiapkan semua perlengkapan Hendra ke kantor. Meski sedikit kesulitan dengan memakai kursi roda namun aku tidak menyerah. Bagaimanapun aku sudah resmi menjadi istrinya. 

"Kamu nggak usah repot nyiapin ini. Aku bisa sendiri," ucap Hendra yang baru saja selesai mandi. 

"Nggak ngerepotin kok. Ini kan sudah menjadi kewajibanku," balasku tersenyum. 

"Kamu pernah nanya'kan sama aku, kenapa aku lebih memilih kamu sebagai istri kamu dibanding wanita yang lain? Lebih tepatnya,"

"Kemarin. Saat resepsi pernikahan," potongku. 

Hendra memegang jilbabku dan merapikannya. "Karena aku sudah mengagumimu sejak dulu."

Aku mengernyit. "Maksud kamu?"

"Aku tahu kamu selama ini selalu merhatiin aku dari lantai dua. Kamu selalu memperhatikan aku saat main basket."

"Kok kamu tahu?"

"Kamu tidak perlu tahu aku tahu darimana."

"Tapi akukan nggak sesempurna wanita lain. Bahkan untuk berjalan saja aku harus memakai tongkat."

"Justru aku menikahimu untuk melengkapi kekurangan kamu. Aku mau membuktikan cinta sejati itu memang ada. Bukan hanya sekedar melihat fisik."

"Aku bersyukur Hen. Karena yang saat ini menjadi imamku adalah kamu," ucapku. 

"Aku lebih bersyukur karena mempunyai kamu."

Hana

so sweet :)