Copyright © 2017-2025 TinLit
January 17 2019 - February 06 2019
Hello Tinlitians! to join the review contest, please review the story below. You can review one story or more
Ramli merasa ada yang aneh dari Ara. Dan keanehan yang saat ini Ramli rasakan, sebenarnya sudah Ramli rasakan dari beberapa hari yang lalu.
Bukannya Ramli bermaksud untuk mengatakan ‘aneh’ yang dalam artian jelek, tapi ‘aneh’ yang Ramli maksud seperti... hal yang tidak biasa, dan membuat Ramli merasa sedikit bingung dan tidak nyaman.
Ramli dan Ara adalah teman sekelas. Namun, selama ini hanya sebatas itu. Hanya teman sekelas dan tidak lebih. Palingan kalau lebih hanya sebagai ‘teman sekelompok’ dan itu saja. Mereka jarang berbicara, bahkan ketika bertemu di lorong waktu sepulang sekolah, mereka terasa sungkan bertegur sapa.
Tetapi beberapa hari belakangan—entah apa yang salah—Ramli merasakan sesuatu yang berbeda dari Ara. Ramli tak bisa menjelaskannya dengan detail, tetapi sesuatu yang berbeda itu terasa aneh bagi Ramli. Benar-benar aneh dan tidak biasa.
Seperti tadi, ketika Ramli ingin pergi ke kantin saat jam istirahat, tiba-tiba Ara memanggilnya dan berkata, “Ramli, mau kemana?”
Dan karena bingung dengan pertanyaan tiba-tiba itu, Ramli hanya menjawab dengan ragu, “Mau ke kantin.” Ramli terdiam sebentar. “Kenapa?” tanya Ramli, ingin tahu.
“Oh.” Ara melihat ke sekeliling kelas, dan baru menyadari bahwa sedari tadi hanya tersisa mereka berdua di dalam kelas. “Gue ikut, boleh gak?” pinta Ara yang membuat Ramli mengerutkan keningnya.
Itulah keanehan pertama.
Mengapa aneh? Karena sudah hampir satu semester mereka—Ramli dan Ara—sekelas, dan baru kali ini Ara ingin ke kantin bersama Ramli. Selama ini, tanpa Ramli sadari, diam-diam ia mengamati Ara, dan Ramli sadar jika Ara adalah tipe-tipe orang yang sangat jarang ke kantin.
Dan sekarang tiba-tiba Ara berkata bahwa ia ingin ke kantin (bersama dengan Ramli pula!), bagaimana mungkin Ramli tidak kaget dan merasa aneh?
“Boleh ‘kan, Ram?” tanya Ara yang membuat Ramli tersadar dari lamunannya.
“Boleh.” Merasa tak tega jika menolak, akhirnya Ramli setuju.
Tetapi penyesalan Ramli rasakan seiring mereka—Ramli dan Ara—berjalan menuju ke kantin. Ramli bukanlah tipe cowok yang supel. Ramli bukanlah tipe cowok yang dengan mudahnya dapat membuat topik pembicaraan. Dan sekarang, saat dia harus terjebak dengan Ara di dalam perjalanan menuju kantin, Ramli sadar kalau mereka setidaknya harus berbicara—tak peduli jika hanya satu atau dua patah kata.
“Lo gue perhatiin main hape terus, Ra,” ucap Ramli tiba-tiba. Dalam hati, Ramli langsung meringis.
Kenapa gue harus bilang itu?! Pasti Ara mikirnya gue suka merhatiin dia deh, aduh! Gerutu Ramli, dalam hati.
Ramli melihat Ara tersenyum riang. “Hehehe, soalnya gue lagi nonton drama korea, Ram. Dan drama korea-nya seru banget! Kan gue jadinya ketagihan. Apalagi cowoknya ganteng banget, Ram! Gue-nya kan jadi super duper ketagihan,” jelas Ara dengan menggebu-gebu.
“Tapi jangan sampe drama korea ngebuat lo jadi enggak fokus belajar, Ra. Nanti lo sendiri yang jadinya keteteran loh,” ujar Ramli.
Dan dalam hati, Ramli juga langsung meringis.
Aduh, kenapa gue jadi sok bijak gini sih?!
“Iya, lo tenang aja gue enggak bakal sampe keteteran elah,” kelit Ara. Beberapa detik kemudian, Ara menghentikan langkahnya dan menatap Ramli terang-terangan. “Lagian itu juga mumpung gue dapet wifi gratis. Enggak apa-apa kan?”
Perkataan Ara sukses membuat Ramli mengerutkan keningnya, lagi. Maksudnya Ara apa?
Namun, bukannya bertanya, Ramli malah menggendikan bahunya dan berkata, “iya enggak apa-apa kok.”
Dan mereka kembali melanjutkan langkah mereka menuju kantin. Dengan Ara yang sibuk menonton drama korea-nya melalui ponsel, dan juga Ramli yang dalam diam berpikir mengapa dia terus merasakan sebuah keanehan.
Tak biasanya Ramli melupakan keberadaan PR. Biasanya, Ramli akan selalu ingat akan setiap PR yang diberikan oleh gurunya. Bahkan tanpa dicatat pun, Ramli pasti akan ingat.
Tetapi—entah apa yang salah dengan Ramli—hari ini Ramli melupakan keberadaan PR Fisika. Hal itu membuat Ramli merasa bingung. Bagaimana mungkin Ramli dapat melupakan PR Fisika yang notabenenya adalah pelajaran kesukaannya, hanya karena memikirkan keanehan Ara semalaman?
Memang setelah keanehan pertama ketika Ara meminta untuk ke kantin bersama, keanehan kedua pun muncul. Dan keanehan kedua itu terjadi beberapa menit setelah bel pulang sekolah berbunyi, Ramli baru saja akan melangkahkan kakinya ke luar kelas ketika ia mendengar seseorang memanggil namanya.
Dan orang itu Ara.
Dan sekarang ternyata hanya tersisa mereka berdua di kelas.
“Hehehe, Ramli.” Sebuah cengiran terlihat di wajah Ara.
“Kenapa, Ra? Kok belum pulang?” tanya Ramli, merasa bingung.
Ara terlihat ragu selama beberapa saat, sampai akhirnya ia berkata, “Ramli, gue boleh pulang bareng sama lo, enggak?”
“Kenapa?” tanpa sadar Ramli lagi-lagi bertanya.
“Eh,” Ara mengedarkan matanya ke sekeliling kelas—pertanda jika ia sedang gugup, “kalau lo enggak mau juga gapapa, Ram.”
Merasa tidak enak, akhirnya Ramli mengangguk. “Tapi gue ada pertemuan dulu sama anak Rohis di Masjid sebentar, gapapa ‘kan?”
Wajah Ara terlihat bersemangat. “Iya gapapa kok!”
Dan itulah keanehkan kedua. Keanehan yang membuat Ramli berpikir keras semalaman. Kenaehan yang juga membuat Ramli lupa akan keberadaan PR Fisika.
Mengapa Ramli berpikir kalau itu aneh? Karena, mengapa tiba-tiba saja Ara mau pulang bareng dengan Ramli? Padahal Ara bisa saja pulang bareng dengan cowok lain—yang lebih dari Ramli.
Pemikiran itu terus bersarang di otak Ramli, bahkan sampai saat ini ketika Ramli sedang mengerjakan PR Fisika dengan terburu-buru. Saat Ramli ingin mengerjakan soal nomor 5, tiba-tiba saja Ramli mendengar suara pintu kelas terbuka, dan seseorang berkata:
“EH ADA YANG LIAT RAMLI?”
Dan tanpa melihat siapa yang berbicara, Ramli sudah dapat menebak dengan tepat siapa orang itu.
Itu Ara.
“EH INI BENERAN ENGGAK ADA YANG NGELIAT RAMLI?!” pekik Ara ketika tak ada satupun murid di kelas yang menjawab.
Tepat ketika Ramli berniat menjawab pertanyaan Ara, seseorang menjawab, “Itu, Ra, Ramli lagi di belakang. Dia lagi ngerjain PR Fisika.”
Dari tempatnya duduk sekarang, Ramli dapat mendengar suara langkah kaki Ara mendekat. Dan tanpa Ramli sadari, jantungnya berdegup lebih cepat dari biasanya. Ini aneh. Benar-benar aneh. Sejak kapan kehadiran Ara terasa seaneh ini?
Saat menyadari bahwa Ara sudah berada di dekatnya, Ramli mendongakkan kepalanya. “Kenapa nyariin gue, Ra?” tanya Ramli.
Namun, bukannya menjawab pertanyaan Ramli, Ara malah mengedarkan penglihatannya ke sekitar Ramli. Dan tiba-tiba ia bergumam, “Oh mati,” gumam Ara pelan. “Bolt lo mati tuh, Ram. Mau pake power bank gue?” tawar Ara tiba-tiba.
Mata Ramli langsung tertuju ke bolt-nya. “Boleh deh, Ra. Makasih ya,” ucap Ramli.
“Iya, sama-sama, Ram. Santai aja kali,” jawab Ara sambil menepuk pundak Ramli. Kemudian Ara berbalik menuju tempat duduknya untuk mengambil power bank nya.
Meninggalkan Ramli yang masih terdiam. Bahkan—untuk sejenak—Ramli melupakan PR Fisika yang sedari tadi ia kerjakan dengan terburu-buru. Ara aneh. Dan Ramli sendiri merasakan bahwa dirinya aneh. Like, kenapa tiba-tiba tadi Ramli merasakan sebuah keanehan di dalam tubuhnya ketika Ara menepuk pundaknya secara tiba-tiba?
Mengapa Ramli merasakan perasaan aneh itu? Rasanya seperti ada kupu-kupu berterbangan di perut Ramli. Dan itu terasa sangat aneh.
Tak terasa sekarang adalah jam istirahat kedua. Dan, sekarang, setelah menunaikan ibadah salat zuhurnya, Ramli dan salah satu teman lelakinya di kelas, Panji, memutuskan untuk makan di kantin. Mereka berdua memakan bakso-nya dalam diam, sampai tiba-tiba Ramli memutuskan untuk memecah keheningan.
“Lo ngerasa ada yang aneh sama Ara gak?” tanya Ramli tiba-tiba.
Panji, yang tiba-tiba ditodong pertanyaan tak terduga, langsung mengernyitkan alisnya. “Enggak tuh. Biasa aja. Emangnya kenapa?”
Sebelum berbicara, mata Ramli melirik ke kanan dan kekiri. Seolah-olah apa yang akan diucapkannya adalah rahasia negara. “Ara beberapa hari terakhir ini aneh, Ji.”
“Aneh gimana?”
Ramli menyeruput es teh manisnya, lalu berbicara, “Ya aneh aja gitu. Masa dia belakangan ini suka ngajakin gue ngobrol, terus nyariin gue mulu. Dan yang paling aneh tuh waktu kemaren dia bilang mau pulang bareng sama gue. Aneh banget gak sih, Ji?”
Selama beberapa detik, Panji terdiam berusaha meresapi perkataan Ramli.
“Itu enggak aneh sih menurut gue,” komentar Panji.
“Itu aneh, Ji. Maksud gue, kenapa tiba-tiba dia deketin gue gitu? Keliatannya dia ada maunya gitu.”
“Memang apa anehnya kalau Ara suka sama lo?”
Perkataan Panji sukses membuat Ramli tersedak. Dengan cepat, Ramli langsung meneguk habis es teh manisnya, lalu menatap Panji dengan mata melotot. “Apa maksud lo sih?”
“Ya ampun, lo emang bener-bener buta ya kalau masalah gini-ginian,” ledek Panji. “Dari Ara yang tiba-tiba ngedeketin lo, terus juga minta pulang bareng. Apa lo gak sadar kalau itu emang kode cewek kalau suka sama cowok?”
Ramli mengerutkan keningnya. “Emangnya iya ya?”
Tangan Panji menepuk pundak Ramli. “Nah sekarang giliran lo. Lo sendiri ngerasa ada yang aneh gak kalau Ara tiba-tiba nyamperin lo?”
“Tadi detak jantung gue berdegup lebih cepat waktu ngedenger suara langkah kaki dia,” jelas Ramli dengan suara pelan.
Dan suara tawa Panji langsung menggelegar seketika. “Astaga, masa denger suara langkah kaki Ara aja lo udah deg-degan?”
Tanpa menggubris pertanyaan Panji, Ramli kembali melanjutkan, “tadi gue juga ngerasa ada kupu-kupu di perut gue waktu Ara tiba-tiba nepuk pundak gue. Dan bener kata lo, itu semua emang aneh. Jadi menurut lo siapa yang aneh, Ji? Ara atau gue?”
“Enggak ada yang aneh dari antara kalian berdua, Ram,” jelas Panji dengan wajah bijak, “cuma cara kalian berdua menunjukkan rasa suka kalian aja yang aneh.”
Penjelasan Panji membuat Ramli terdiam.
Gue... suka sama Ara?
Bel pulang telah berbunyi sejak lima menit yang lalu, tetapi Ramli tak bergerak dari tempat duduknya sama sekali. Mata Ramli melirik seorang gadis yang juga masih diam di tempat sambil memainkan hape—yang Ramli tebak pasti gadis itu sedang menonton drama korea kesukaannya.
“Ara,” panggil Ramli sambil berjalan menuju gadis yang sedang fokus dengan hape-nya.
Ara mendongakkan kepalanya. “Kenapa, Ram?”
Setelah meyakinkan dirinya sendiri, Ramli menatap Ara tepat di manik matanya. “Gue tahu ini kecepetan, tapi gue suka sama lo,” ujar Ramli tegas. Ramli melihat ada raut kaget di wajah Ara, namun dia tetap melanjutkan, “dan gue juga sadar lo suka sama gue. Gue sadar ketika tiba-tiba lo ngedeketin gue, ngajakin pulang bareng, dan saat lo nyariin gue. Gue gak bakal nga—”
“Ramli,” Ara menyela perkataan Ramli, lalu bangkit dari kursinya.
Ramli menatap Ara dengan binar penuh harap.
“Gue ngedeketin lo karena gue make bolt lo,” jelas Ara pelan. Ara menarik nafas sebentar lalu kembali melanjutkan, “gue pikir lo tahu kalo gue deketin lo karena make bolt lo. Gue enggak mau jauh-jauh sama lo karena kalau kejauhan nanti loading nya lama. Gue juga minta pulang bareng sama lo soalnya gue mau download episode terakhir drama korea kesukaan gue. Soalnya wifi di rumah gue lagi rusak, Ram.”
Dan Ramli langsung merasakan degup jantungnya yang sedari tadi bergetar dengan cepat seketika terhenti.
“Lo...,” Ramli terdiam berusaha mencari kata-kata yang tepat, “manfaatin gue?”
Perasaan bersalah mengerumuni benak Ara. “Maaf.”
Terjadi keheningan selama beberapa menit. Ramli sendiri sedang berusaha mencerna semua ini. “Tahu password bolt gue dari mana?” tanya Ramli memecahkan keheningan.
“Lo sendiri yang nge-connect-in waktu kita kerja kelompok Bahasa Inggris minggu lalu.” Ara berkata sambil menunduk.
“Oh.” Mata Ramli menatap gadis yang saat ini sedang berdiri di depannya dengan pandangan sendu. “Pantesan kuota bolt gue banyak banget berkurangnya beberapa hari belakangan ini,” gumam Ramli pelan.
“Maaf, Ram. Tadinya gue pikir lo tahu.”
Senyum tipis tersungging di bibir Ramli. “Tadinya juga gue pikir lo suka sama gue, kenyataannya enggak.” Ramli memutarkan badannya lalu sambil berjalan ia berkata, “gue pulang dulu, Ra.”
Ramli tak tahu apakah Ara menjawab ucapan selamat tinggalnya atau tidak, yang Ramli tahu hanyalah ia merasa sebuah keanehan di dalam hatinya. Dan keanehan itu terasa sakit dan sedikit perih.
Ralat, tidak sedikit, tapi banyak.
“Kids are making sand castles, while their parents are sitting under the rainbow-colored umbrellas,” said a guy’s voice suddenly.
Why would a stranger say such ridiculous things out of nowhere? “Who are you?” I asked.
“The dad laughs very loudly; I bet his wife feels embarrassed from the way she wears her expression; she is all frowny.”
“The word ‘frowny’ is not even in the dictionary. Who are you?” I asked him once again. I started to get irritated by him not answering me, but his smell distracted me; jasmine. Never had I ever encountered a guy who smelled like flowers before.
“Woah what a Grammar Nazi!” He retorted, nudging my left shoulder lightly.
“Why are you talking to me? What do you want?”
“Can’t a guy talk to a girl without being questioned?” He asked.
“Well, guys rarely make a conversation with blind girls.” I answered shortly.
“Well it’s their loss; everyone has a story, and with them only talking to certain people, means less story for them to hear, less they know about life.”
“So you’re talking to me so you could hear my story?”
“Well that’s a part of it, but mostly because I just want to share what I see. The sun is setting, and the sky is pinkish. Pink is the color of people’s cheeks when they feel too many emotions. Birds are flying, waves are crashing …”
The description felt too much, and I didn’t like it. “Did you think telling me this would make me feel better? What if I wish I were deaf as well when people around me start describing the things that they just saw, all the beautiful things that took their breath away? You can’t just barge in, and act like you know everything!” How dare he? I got up, trying to brush off the sands on my pants.
“The palm trees are tall, and they sway as the wind blows. It’s peaceful. Can’t you feel it?” He didn’t even sound guilty, as if I didn’t just explode. I left the beach without saying anything back.
I honestly couldn’t believe that on my way back I kept thinking over what he described. What was wrong with me?
The next day I was on my way to the market when suddenly, someone gave me a cup of something hot.
“You’re welcome. I don’t know whether you like green tea or not, but I asked Google yesterday and it said that most girls liked green tea lattes. Like its name, green tea latte is green colored, like the leaves of palm trees at the beach yesterday. Green is also the color of your eyes… as green as nature would like it”.
And I did like green tea lattes.
Somehow this time, I didn’t wish I were deaf. I liked his descriptions; it somehow made me feel less blind. My mind suddenly was full with interest. “Tell me more,” I couldn’t believe what I said. Why did I just say that?
“The road that we walk on is grey, that’s how the sky looks like when it’s about to rain. Grey is brighter than the night sky, yet so dark next to white. White is the color of snow, the color of purity and the start of something new,”
And that day was the start of something new. Everyday he’d be right beside me, describing the beauty and the crudeness of this world.
“If miracle was a color, it’d be gold.” He said suddenly, holding my hand.
“Why would it be gold?”
“Because it’s worth that much. Wait never mind, it’s even more than gold; it’s beyond what colors could decipher,”
“Then that means you are beyond colors to me. I may not know how colors look like, but you sure do bring colors into my dark world,”
Then he hugged me and whispered, “I’ve got a good news…the hospital called me yesterday…they found eyes transplant for you”.
I was shocked; I had always wanted to be able to see, but the more time I spent with him, the less I wanted anything, because I already got the best thing in my life.
“Don’t say no, I can read it from your expression that you aren’t excited about it. Please do it; I want you to experience life, fully…accept this miracle.”
So I did.
Sometime after the surgery, the doctor finally opened the bandage on my eyes and I was slowly able to see, but I wasn’t thrilled at all. I didn’t smell any jasmine; that meant he wasn’t here. Why wouldn’t he be here?
After the doctor told me to have a rest and leave, suddenly my phone rang; I picked it up. “Hello?”
“I don’t want you to see me, because I’m neither beautiful nor I’m appealing. You’ll slowly realize that I don’t fulfill the society’s beauty standard and I don’t want to humiliate you. You’re as beautiful as a field of flower during twilight, and I’m better left in the dark.” It was him.
“Don’t assume things for me. Come here and let me make my own judgment!” I shouted to the phone angrily.
Then suddenly the door opened, and the room smelled like jasmine. A man with a big scar across his face, walked in. I went quiet.
“See? You got nothing to say,” he said.
“I may not know how beautiful looks like, but I’m certain of my feelings. The scenery you described, the colors you made me see from your description. I’ve felt beautiful things through you, but never once I experienced how I feel right now being able to see you brown eyes, you pink pouty lips, exactly how you described them to me. You are way more beautiful than all the striking things you defined for me. I do not care about the beauty standards, because I have my own standard, and you are on the highest scale,”
Then he smiled. I just knew that I would never see something more beautiful than that.
Review By Brigittam
One of the reasons why we like to read stories is that we can feel various kinds of feelings and see things from different perspectives. Same with "THROUGH YOU", we are able to experience things although we have different conditions from the characters.
"THROUGH YOU" tells the relationship between two different people, starting from the meeting until they feel comfortable with each other. Sometimes because we have often found this type of story, we can already guess what the storyline will be. But this short story offers quite different things through the characters told and the atmosphere that occurs throughout the story.
The storyline is quite clear, moving forward and immediately begins with a problem. But at the beginning of the story, the author does not adequately explain and tell a number of things, so the character and atmosphere depicted at the beginning are not intact and seemed too rushed so the reader is less eager to continue the story. While reading love stories, we hope to be able to feel various feelings that the characters experience, positive and negative ones. We do not want to be in a hurry like reading an action story but want to feel what the characters experience in the story, felt through various senses so as to make the story more complete.
The middle and end of the story also suffer from the same thing as the beginning of the story. Although the story concept is quite good, if it is not arranged well it will make the story less interesting. In addition, the beginning, middle, and end of the story feel completely separate. Because the beginning of the story is important to attract readers, the middle part is made to approach the main conflict, and the end of the story is used to resolve the conflict.
The characters also experience the same thing with plots, which are less explained. The main character is difficult to like because at the beginning of the story has been written with a bad impression. First impression matters, you like it or not. While the male characters also seem less intact. Dialogues and expositions that appear on the story cannot describe the characters properly so the character feels flat.
The writing style is quite good, the dialogue flows quite naturally. The depiction of the surrounding atmosphere is also quite good at the beginning of the story through dialogue between characters, but in the middle and end it seems that the atmosphere with the scene feels incomplete because it is less explained. Also, the middle and the end can be felt everywhere. Even though the background, both place, time and atmosphere, is very much related to the scene, especially in love stories because it will provide a different atmosphere, which matches the feeling you want to associate in the scene. For instance, the café atmosphere in the morning will certainly be different in the afternoon or evening.
In addition, the author of the missed situation by other senses. The main character is experiencing physical disability, the way he feels the atmosphere is a little different from the supporting characters by relying more on other senses. Authors also tend to be hasty in describing many things, especially in the middle to the end. It seems that the author is reluctant to describe and explain the situation that happened and immediately jumped to new things. This does not mean the author must explain everything that happens to the main character, of course, this will be boring.
Actually, the dialogue between the characters is flowing quite well. But at the end of the story, the main character speaks quite long but feels a little flat. The dialogue that contains a lot of feelings feels unnatural when spoken straight away without stopping as if giving a speech. There would be a nervous stop, perhaps seeing the expression of the guy to make the dialogue more natural.
Grammar is also quite good. Mistakes that can be understood as authors whose main language is not English. Indeed grammar is important in the story, but that is not everything. The most important story is well understood and there are no confusing typos. From this story, the author can string words together so that the story can flow quite well.
In general, this story is quite good. The concept offered is good, but the story still needs some things such as the depiction of the atmosphere and characters. In my opinion, this story is too short because the scene is not balanced with good resolution. Too bad, even though the concept is quite interesting.
|
Review By ShiYiCha
Ini salah satu cerpen paling unique yang pernah aku baca. Konflik yang diangkat bener-bener anti mainstream. Cewek yang pinjem bolt sampai ngikutin cowoknya kemana-mana. Waw... Peristiwa unik yang sama sekali gak pernah terbayang di kepalaku. Konflik yang gak pasaran tapi tetep segar dibaca. Acung jempol buat penulisnya, dah.
Sebenernya aku udah tahu ini masalah jaringan internet sejak Ara pengin ikut Ramli ke kantin. Tapi kemungkinan-kemungkinan yang diciptakan penulis setelahnya bikin aku tetep semangat untuk membuktikan hipotesa-ku. Intinya, good job. Bener-bener layak menjadi sorotan utama dalam kumcer LTAL Tinlit
|
Review By Inay
Pertama, aku sudah curiga saat Ara berkata tentang wifi gratis .-. Aku coba menebak-nebak apa hubungannya wifi gratis, drama korea dengan Ramli. Dan semakin aku yakin dengan pradugaanku saat membahas bolt Ramli yang lowbat. Secara keseluruhan ini memang klise. Hanya tentang kisah seorang yang mencintai dalam diam, tetapi yang menjadikan cerita ini terasa beda bahkan aku menganggap hal ini sebagai humor adalah pembawaan penulis untuk menyuguhkan sesuatu yang beda. Jadi, nggak terkesan ngenes banget untuk Ramli. Malah, jika pembaca sudah peka di awal, akan terasa lucu saja ke belakangnya. Karean peka tadi hehhe so, finally, aku rata-rata ngasih rate 4/5 karena cerpen one shoot ini cukup menarik untuk aku. Thanks. Untuk review yang lebih lanjut,bisa cek IG ku @ya_grey
|
Review By Rajuwita
Sebuah Kesadaran Terhadap Penyandang Disabilitas dalam Cerpen "Through You"
Saya dibuat penasaran dengan awal plot, menduga-duga arah lari cerita. Ketika saya mulai memahaminya, saya sebenarnya was-was karena jalan ceritanya hampir mirip dengan cerita yang pernah saya baca mengenai seorang penyandang tuna netra yang bertemu dengan seseorang yang menceritakan padanya dunia yang belum pernah dilihat oleh penyandang tuna netra tersebut sebelumnya. Saya takut kalau-kalau akhir ceritanya akan sama. Pada akhirnya, kekhawatiran saya tersebut tidak terbukti.
Gaya bercerita penulis sangat halus dan tidak monoton. Hampir membuat saya meragukan bahwa cerita ini ditulis oleh orang Indonesia karena kosa-katanya tidak sederhana, tapi juga tidak rumit. Pas.
Hal yang paling saya soroti adalah cerita ini melibatkan tokoh tuna netra. Penyandang disabilitas biasanya sering mengalami hal-hal yang kurang menyenangkan dalam hidup bermasyarakat. Banyak yang mencemooh, menghina, bahkan banyak juga yang tidak bisa mendapatkan pekerjaan yang layak akibat dari kekurangannya tersebut.
Cerita ini memberikan gambaran bahwa sebagai manusia, bagaimanapun juga kita tidak bisa mengenyahkan entitas penyandang disabilitas di dalam hidup kita. Kita hidup berdampingan sebagai sesama ciptaan Tuhan. Tokoh laki-laki di dalam cerpen ini seolah ingIn mengingatkan kita bahwa seorang tuna netra pun patut dihargai, diajak bicara, seperti orang "normal" lainnya.
Satu hal yang saya sedikit menyayangkannya adalah tokoh utama laki-laki yang memiliki luka gores di wajah. Seolah-olah karena mereka sama-sama memiliki kekurangan, maka mereka bisa saling menerima satu sama lain. Mungkin akan lebih baik apabila satu tokoh merupakan manusia yang secara fisik sempurna, tapi memiliki kekurangan di dalam hati. Sebab kekurangan tidak melulu dilihat secara fisik, tetapi juga perilaku dan moral. Mungkin dengan begitu, cerita akan lebih memiliki amanat yang lebih kuat.
Walaupun alurnya dapat ditebak, akhir ceritanya tidak. Membuat saya setidaknya dapat bernapas lega karena cerita ini tidak sama dengan cerita yang pernah saya baca. Namun, cerpen ini juga merupakan oase di tengah hiruk-pikuk cerita "mainstream" yang tokohnya hanya berkutat pada ketua OSIS ganteng, ketua basket tampan, dan sebagainya.
Bahasa yang mudah dipahami serta gaya bahasa yang variatif, membuat saya tidak bosan membacanya hingga tuntas. Bahasanua mengalir, menarik saya untuk membaca cerita sepenuhnya.
Saya merekomendasikan cerita ini untuk anak-anak remaja yang sedang menggandrungi romansa super romantis dari cerita-cerita yang banyak bertebaran di wattpad. Bahwa, tidak selamanya cerita romantis itu melulu datang dari tokoh yang tampan dan sempurna, serta perempuan cantik yang seksi.
|
Review By liafa__
Ceritanya cukup menghibur, ya. Diawali dengan kejanggalan yang dirasakan tokoh utama karena sikap tokoh sampingan terhadap dirinya, dilanjutkan dengan pengenalan tokoh lebih lanjut seiring berjalannya cerita. Tapi sayang plotnya mudah ketebak, atau mungkin yang difokuskan di cerita ini memang tokoh Ramli yang polos dan gak peka banget. Unik karena jarang ada karakter laki-laki senaif itu. Bahasa yang dipakai juga ringan dan mudah dimengerti, cuma gak ada kata ganti orangnya. Banyak pengulangan nama tokoh dalam satu kalimat yang bikin kurang enak dibaca.
Terus semangat ya ^_^
|
Review By liafa__
Aw this is so sweet and heartwarming. I like it so much. But I think the plot is so quick. It's about a stranger who describes things to a blind woman then he tells her about eyes transplant. Who is he actually? Is he someone important for her? After all, the meaning of this story is so deep. We can't judge something only by seeing them, but we must recognize them. We must feel them. It's very wondeful.
Keep your good work ^_^
|
Hai Guys, diawal tahun ini TinLit bikin event lagi.. Yuk ikutan, ‘TinLit Short Story Review Contest’.. Review lho review.. dan jangan berpikir mereview buku yang super tebel.. melainkan, C.E.R.P.E.N, asyik donk..
Hadiahnya?.. oooo pasti ada, masing-masing pemenang akan mendapatkan 2 novel spesial dari kami dan @naminabooks, plus jika kalian post review kalian juga di IG (tag @tinlit.official) dapat tambahan 1 buku, lumayan kan bisa nambah koleksi novel kalian!
Buruan ikutan, periode ‘TinLit Review Contest ’ 17 Jan. 2019 – 6 Feb. 2019, catat ya... Jangan ketinggalan.. ‘be there or be square!